Pengesahan
Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2018 tentang Baitalmal dinilai rancu oleh Muhammad
Syarif, SHI, M.H Sekjend DPP ISKADA, pasalnya Qanun ini merubah struktur
kelembagaan Baitul Mal Aceh (BMA) dan Baitul Mal Kab/Kota layaknya komisioner.
Kepemimpinannya kolegial, disampin itu syaratnya pun dikurangi pasing grade nya
menjadi lulusan SMA, ini tentu dinilai bermasalah kedepan saat implementasi dilapangan.
Termasuk mekanisme rekrutmennya yang berlapis diawali pembentukan Pansel, lalu
tim pansel menyampaikan kepada Kepala Daerah untuk selanjutnya Kepala Daerah
Provinsi/Kab/Kota meneruskan pada Anggota DPRK yang membidangi Lembaga
Keistimewaan sebagai saringan akhir dalam uji kompetensi/fit and proper test.
Soal lainya keberadaan Dewan Pertimbangan Syariah dilevel BMA, Dewan
Pengawas di Level BMK dan Dewan Penasehat dilevel BMG, relawan, tenaga teknis
tidak tetap atau pendamping tidak tetap serta tenaga profesional.
Ini
mengindikasikan adanya penggemukan struktur kelembagaan BMA/BMK. Konsekwensinya
akan terjadi pemborosan anggaran operasional BMA/BMK. Disamping itu juga adanya
kesan intervensi BMA/BMK terkait kebijakan sekretaraiat BMA/BMK. Hal ini
termaktub lahirnya frasa pengesahan Renstra Sekretariat BMA/BMK oleh Ketua
BMA/BMK.
Frasa
ini dikuatirkan akan terjadi tolak tarek antara BMA/BMK dengan Sekretariat
BMA/BMK. Padahal secara tupoksi Sekretariat BMA/BMK sebagai pelayanan
administratif. Kalau adanya kewajiban persetujuan dalam penyusunan Renstra
BMA/BMK menjadi konflik internal, mengingat Sekretariat BMA/BMK merupakan
jabatan struktural dan Organisasi Perangkat Daerah. Sementara BMA/BMK merupakan
lembaga independen (lembaga keistimewaan) yang berwenang mengelola zakat.
Muhammad
Syarif yang juga dosen legal drafting prodi Hukum Tata Negara UIN Ar-Raniry
menilai regeling yang diatur dalam Qanun Baitul Mal kurang tepat dan memunculkan
konflik internal lembaga, saat diskusi warung kopi bersama DPP ISKADA Aceh,
Senin 14 Oktober 2019 pukul 20.30 wib di Warkop Tepi Kali Banda Aceh.
Disamping
itu juga soal adanya kewenangan DPS untuk meminta lembaga audit independen
supaya melakukan audit keungan BMA/BMK. Lantas dimana fungsi Auditor Internal
pemerintah (Inspektorat). Ini dinilai akan banyak tumpang tindih tupoksi.
Apakah tidak cukup peran auditor internal pemerintah? Syarif menilai lahirnya
Qanun ini diyakini tidak efektif. Untuk itulah DPP ISKADA Aceh akan melakukan
bedah Qanun ini dalam waktu dekat dengan mengundang pihak-pihak yang terlibat
dalam pembahasan Qanun Baitul Mal, sehingga dipahami apa sesungguhnya makna filosofis
dan sosiologis yang menjiwai revisi Qanun Baitul Mal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar