Oleh: Muhammad Syarif,S.HI.,M.H*
Gaung reformasi yang didengungkan di
era 1998, ternyata belum mampu membawa arah baru dalam tatanan kehidupan
bernegara. Setelah mahasiswa mampu menumbangkan rezim politik orde baru,
ternyata gerakan reformasi legah dan belum mampu menata pemerintahan menjadi
lebih baik. Bahkan di Tahun 2013 penyelenggara pemerintahan baik ditingkat
Pusat maupun Daerah cendrung belum menunjukkan perubahan yang siknifikan.
Banyak pejabat tersangkut korupsi, bahkan orang-orang yang getol memperjuangkan
Gerakan perubahan dan anti korupsi ternyata tersandung dalam “buih”. Lantas apa
yang harus kita lakukan...?
Hasil survei Transparansi
Internasional, Tahun 2007 Indek Prestasi Korupsi (IPK) Indonesia berada
diurutan ke-126 dari 180 negara yang disurvei. Indonesia satu kelompok dengan
Negara Eritrea, Guyana, Honduras, Libya, Mozambik dan Uganda dengan IPK 2,6.
Sementara Negara yang memperoleh pridikat terkorup adalah Negara Somalia dengan
IPK 1 disusul Myanmar (1,3) dan Irak (1,3). Sementara 3 negara terbersih adalah
Denmark, Selandia Baru dan Swedia dengan IPK 9,3.
Reformasi Birokrasi merupakan
keharusan, jika Pemerintahan menuju
good governance and clear goverment. Sepertinya ada kecendrungan
model “birokrasi kerajaan baru” merambah pada tatanan pemerintahan baik dilevel
pusat maupun dilevel daerah. Model ini cendrung melanggengkan kekuasaan dengan
mengandalkan kolega untuk memimpin tampuk pemerintahan. Dimana kemampuan
akademik dan managerial bukan menjadi keharusan. Yang paling penting adalah
sepaham, se kampung, se partai. Ini patut menjadi bahan kajian kita semua.
Semangat model ini sepertinya sudah mendarah daging dan ini sangat bertolak
belakang dengan semangat reformasi sebagaimana yang diperjunangkan oleh
mahasiswa pada saat melengserkan Suharto dan kroni-kroninya.
Model “birokrasi kerajaan baru” ini
sepertinya punya kemiripan dengan Sistem birokrasi patrimonial sebagaimana
disinyalir oleh Max Weber. Lebih lanjut Weber berkeyakinan struktur birokrasi patrimonial
tidak akan mempu membawa arah kebaikan, bahkan suatu saat akan menuai
kebangkrutan. Dorajatun Kontjoro Jakti menyebutkan birokrasi patrimonial serupa
dengan lembaga kawula, dimana patron adalah gusti atau juragan dan klien adalah
kawula. Hubungan antara juragan dan kawula adalah bersifat ikatan pribadi
dengan loyalitas primordial sebagai dasar pertalian hubungan.
Mansyur Semman menegaskan bahwa
warisan birokrasi patrimonial modern dan masa feodallisme di Indonesia telah
menimbulkan birokrasi nepotisme yang memberikan jabatan atau jasa khusus kepada
sanak dan sahabat. Mencermati hal tersebut diatas sepertinya model birokrasi
patrimonial pperlu dikikis habis, jika inging menata pemerintahan lebih baik.
Potret Birokrasi Aceh
Aceh sebagai daerah Istimewa sesuai
dengan UU No.44 Tahun 1999 mestinya menjadi model baru dalam tatanan
pemerintahan, apalagi dengan diperkuat dengan UU No.11 Tahun 2006, mestinya dua
payung hukum ini menjadi pedoman utama dalam menjalankan roda pemerintahan.
Akan tetapi sayangnya kebanyakan pemimpin di Aceh belum memahi substansi hakiki
kedua UU tersebut. Pada tataran empirik kita melihat arah birokrasi Aceh
sepertinya masih terbelenggu bahkan cendrung dikontrol oleh kaum patrimonial.
Lebih parah lagi dibeberapa
Kabupaten/Kota termasuk Provinsi proses untuk mendapatkan jabatan disinyalir
dengan menyetor uang puluhan juta rupiah kepada pihak perantara alias agen
jabatan. Ini sungguh memalukan. Ada kawan secara terang-terangan menelpon saya
bahwa ditempat dia bertugas, beberapa jabatan dibandrol dengan harga dua puluh
juta rupiah. Maka dari itu, Aparatur dilingkungan Pemerintah Kota Banda Aceh perlu
berterimakasih dan memberikan apresiasi kepada Bapak Aminullah Usman dan Zainal
Arifin, atas komitmennya dalam setiap
pengangkatan dalam jabatan “zero money politik”.
Oleh karena itu wajar kalau diantara
jajaran Pemerintahan, Banda Aceh dibawah kepemimpinan Bapak Aminullah di Tahun
2018 terus menuai prestasi yang membanggakan sebut saja; Anugrah KASN 2018
terbaik Nasional, peringkat I Survey Penilaian Integritas dari KPK-RI, Anugrah
Pesona Indonesia katagori wisata halal
terpopuler, Kepala Daerah Pembina Pelayanan Publik terbaik Nasional dari
Kementrian PAN dan RB, Walikota Entrepreneur Award 2018. Hal ini terjadi karena
hampir dipastikan Birokrasi Patrimonial tidak dikenal. Untuk itu sudah saatnya
Kepala Daerah di Aceh perlu berguru pada bang carlos yang juga mantan Direktur
Bank Aceh selama hampir tiga puluh tahun. Wallahu `alam bishawab.
*Penulis adalah Direktur Aceh Research Institute (ARI) dan Dosen FSH UIN Ar-Raniry
Tidak ada komentar:
Posting Komentar