2 Jan 2014

Budaya Aceh; Ajang Kreatifitas Anak


Oleh Bung Syarif*

Iftitah:
 Dalam kultur adat Aceh, anak dalam rumah tangga atau keluarga dapat dilihat dari dua dimensi alamiah, yaitu : pertama, anak sebagai buah alami (sunnatullah), hasil kekuatan rasa kasih sayang suami isteri (mu’asyarah bil ma’ruf) sebagai mawaddah dan rahmat Allah SWT untuk memperkuat bangunan hubungan rumah tangga yang rukun damai, bahagia dan sejahtera sesuai dengan nilai-nilai Islami. Kedua, Anak sebagai kader penerus generasi, pelindung orang tua dikala lemah dan pelanjut do’a (ritual communication) manakala orang tuanya meninggal dunia memenuhi panggilan Khalik sebagai penciptanya.
Bagaimana hubungan naluri batiniah dan jasmaniah antara orang tua dengan anak-anaknya dapat ditemukan dalam nuansa ungkapan pantun-pantun kebiasaan rumah tangga orang Aceh di gampong-gampong antara lain sebagai berikut:

Jak kutimang bungong meulu, gantoe abu rayeek gata
Tajak meugoe ngon ta mu’u, mangat na bu tabrie keu ma
Jak kutimang bungong padei, beu jroeh piei oh rayeek gata
Beu Tuhan bri lee beureukat, ta peusapat puwoe keuma
Jak ku timang bungong padei, beu jroh piee rayeek gata
Tutoe beujroh bek roh singkei, bandum sarei ta meusyedara

Nyanyian pantun-pantun tersebut, bahkan banyak narit-narit maja lainnya, seperti ” Ta’zim keu gurei meuteumeung ijazah, ta’zim keu nangbah tamong syuruga”,yoh watei ubit beuna ta papah, beik jeut keu susah oh watei raya”. Biasanya narit maja disyairkan atau dilagukan oleh orang tua sejak anak dalam ayunan dengan suara yang merdu. Pesan dan bimbingan itu secara naluri membuat anak terbuai nikmat dalam ayunan. Nilai pesan itu mengandung makna bahwa seorang anak harus bersiap membangun hari depan dan bertanggung jawab dengan kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhinya kepada orang tuanya. Tali hubungan itu akan terbina akrab, manakala yang mengasuhnya adalah ibu kandung sendiri. Mungkin akan berbeda bila yang mengasuh itu orang lain di luar lingkungan budaya keluarganya, akan membuat si anak kehilangan korelasi dengan bangunan prilaku orang tuanya.
Pesan semacam itu memberi makna betapa besar rasa kasih sayang, tanggung jawab dan harapan orang tua dalam mengasuh anaknya, mengantarkan mereka sampai kejenjang kemampuan membangun kehidupan. Dengan demikian, diharapkan anak nantinya betul-betul menjadi pelindung dan membantu orang tuanya, dikala mereka berada dalam keadaan lemah dan uzur (hubungan vertikal timbal balik dan tidak ada elemen yang disia-siakan). Tanggung jawab orang tua terhadap anak adalah memelihara kesehatan dan membesarkannya, memberi pendidikan, mengasuh akhlak dengan ibadah dan pendidikan al-Qur’an, membimbing dan membina tatanan budaya adat sebagai patron pembangunan harkat dan martabat identitas keacehannya (identitas plus dan kompetitif dengan adat atau kultur lainnya). Tanggung jawab yang melekat pada orang tua, adalah sepanjang anak belum dewasa. Anak dewasa dalam kultur adat Aceh, apabila telah mampu mandiri atau telah berkeluarga.
 
Peranan Rumah Tangga Dalam Kehidupan Adat
Masyarakat adat hidup dalam ikatan kebersamaan (paguyuban dan komunal) sebagai ciri khas dan asas utama dalam pembinaan ketahanan hidup keluarga bahagia dan sejahtera dunia akhirat. Nilai-nilai dan asas kebersamaan itu mencakup sikap prilaku, sebagai berikut : (1) Terbina ikatan keluarga atau kaom atau kebanggaan kaum; (2) Sifat tolong menolong atau saling membantu, (3) Saling nasehat menasehati (4) Tanggung jawab moral bersama, (5) Ada panutan kepemimpinan keluarga (strata urutan kewibawaan keluarga).
Pembinaan asas kebersamaan ini, dalam kehidupan keluarga telah dimulai sejak proses pencaharian jodoh dalam hal perkawinan anaknya. Karena itu, dalam bangunan keluarga ada prosedur dan mekanisme yang dilakukan, yaitu : (a) Penilaian dan penentuan jodoh melalui musyawarah keluarga atau partisipasi orang tua; (b) Tahapan proses cah rot atau menyisir siapa calon; (c) Masa pertunangan; (d) Waktu pernikahan; (e) Khanduri atau walimatul ’ursi (pesta perayaan pernikahan); (f) Intat lintoe; (g) Tung dara baroe; (h) Masa intat boh kayee (ketika pengantin wanita hamil); (i) Masa upacara ba-bu atau meulineum (ketika memasuki usia kehamilan tujuh bulan); (j) Upacara cukoe oek (cukur rambut bayi yang baru lahir); (k) Upacara gidong tanoh (turun tanah bayi yang baru lahir di usia yang telah ditentukan).
Bahkan di beberapa wilayah adat masyarakat Aceh, hubungan anak dengan orang tua dapat dilihat dalam budaya adat, seperti: (1) Aneuk ikot ureung chik; (2) Adat hibah atau wasiat dari orang tua; (3) Adat peunulang, pemeukleih dari orang tua.

Sebagaimana dimaklumi, adat Aceh mengacu kepada nilai-nilai Islami: ”Hukom (agama) ngon adat, lagei zat ngon sifeut ”. Karena itu, tanggung jawab anak muthlak pada orang tua. Bila orang tua sudah tidak ada, maka tanggung jawab berpindah kepada : (1) walinya atau kaomnya; (2) orang tua kampung (Ureung tuha gampong); (3) masyarakat lingkungannya; (4) baitul mal atau pemerintah.
Bentuk tanggung jawab utama untuk anak menurut tatanan adat budaya, sampai anak menjadi dewasa adalah mendapatkan hak perlindungan dari orang tua, seperti : Tempat tinggal, pemeliharaan kesehatan, pendidikan, akhlak, ibadah dan al-Quran, kehormatan keluarga dan memelihara harta oleh walinya (bila orang tua meninggal)
 
Pergeseran budaya adat pemeliharaan anak
Pergeseran nilai-nilai budaya adat Aceh dalam hal pemeliharaan anak (sehingga bermasalah menimpa anak ) dapat terjadi, karena : (a) bencana alam tsunami dan bencana alam lainnya (sangat darurat); (b) dalam keadaaan perang atau krisis; (c) dalam keadaan orang tuanya miskin atau lemah; (e) usaha-usaha pihak tertentu untuk maksud tertentu (penculikan, penjualan anak); (f) hancurnya struktur dan kultur atau kehilangan nilai-nilai budaya.
Kondisi bencana atau hal-hal luar biasa dan sangat darurat tersebut, dapat menimbulkan berbagai permasalahan bagi anak, seperti: anak diambil orang atau diadopsi secara ilegal, anak diperas jadi pengemis, anak menjadi terlantar (anak jalanan), Anak dijual (traficking), anak diambil atau dihilangkan hak-hak propertinya terhadap harta benda peninggalan orang tuanya, adanya perlakukan kekerasan terhadap anak atau melanggar hak anak.
Menurut informasi yang berkembang, hal-hal tersebut diatas terjadi pada saat tsunami menimpa sebagian anak-anak Aceh. Untuk mengatasi hal-hal tersebut, disinilah peranan dan tanggung jawab orang tua, wali, masyarakat gampong atau masyarakat Aceh umunya serta pemerintah Aceh untuk menanggulanginya demi harkat dan martabat penyelamatan dan perlindungan anak-anak Aceh. Adat Aceh boleh dan dapat menerima bantuan dari siapapun (dalam atau luar negeri), namun perlindungan anak yang perlu diselamatkan adalah aqidah dan nilai-nilai keacehannya sebagai asas filosofi hidup (way of life) bagi kesejahteraan dunia dan akhirat.
Berapa ungkapan diatas, memberi gambaran, bahwa dalam tatanan budaya adat Aceh sangatlah menjunjung upaya perlindungan anak. Karena itu, dari aspek hukum adat atau adat istiadat, anak wajib mendapat perlindungan tentang hak-haknya. Menyangkut dengan anak-anak yang tidak lagi memiliki orang tuanya karena berbagai musibah seperti tsuami atau karena bencana alam lainnya, maka masyarakat atau Baitul Mal atau pemerintah berkewajiban untuk menempati fungsi orang tuanya bertindak untuk menjamin melindungi hak-haknya (termasuk perlindungan harta). Peranan Keuchik (kepala desa) dan Tuha Peut di gampong-gampong sangat menentukan. Sedangkan yang berwenang dalam melakukan penetapan hukum terhadap masalah ini adalah Mahkamah Syar’iyah.Kenyataan sekarang, banyak kasus di Aceh misalnya soal seseorang yang mengadopsi anak atau diadopsi lembaga ataupun secara personal oleh orang diluar Aceh telah merubah dan menggantikan nilai-nilai ke-Aceh-an, bahwa pola-pola adat ke-Aceh-an telah mulai ditinggalkan. Untuk ini, perlu upaya mencabut kembali anak tersebut untuk dikembalikan kehabitat budaya asal anak tersebut. Kalau perlu, upaya hukum dapat ditempuh dan siapapun pelanggar perlindungan anak, kepada mereka dapat dikenakan ancaman hukum postif sebagaimana diatur dalam KUHP atau dengan menggunakan undang-undang perlindungan anak. Adapun menyangkut dengan penetapan wali bagi anak dapat diajukan kepada Mahkamah Syar’iyah. ”Matei aneuk mupat jeurat, gadoh adat pat tamita”, ”akhei donya lee ureung dok, di meurampok peu-peu nyang na”. Semoga anak-anak Aceh kedepan dapat hidup dalam budaya dan adat Aceh yang sejatinya bertujuan membentuk pribadi yang cerdas, tangguh, beradab dan beriman. Wallahu’alam .

*Penulis adalah Dosen FSH UIN Ar-Raniry, Direktur Aceh Research Institute (ARI)

Tidak ada komentar: