Oleh Bung Syarif*
Iftitah:
Bagaimana hubungan naluri batiniah
dan jasmaniah antara orang tua dengan anak-anaknya dapat ditemukan dalam nuansa
ungkapan pantun-pantun kebiasaan rumah tangga orang Aceh di gampong-gampong
antara lain sebagai berikut:
Jak kutimang bungong meulu, gantoe abu rayeek gata
Tajak meugoe ngon ta mu’u, mangat na bu tabrie keu ma
Jak kutimang bungong padei, beu jroeh piei oh rayeek
gata
Beu Tuhan bri lee beureukat, ta peusapat puwoe keuma
Jak ku timang bungong padei, beu jroh piee rayeek gata
Tutoe beujroh bek roh singkei, bandum sarei ta
meusyedara
Nyanyian pantun-pantun tersebut, bahkan
banyak narit-narit maja lainnya, seperti ” Ta’zim keu gurei meuteumeung ijazah,
ta’zim keu nangbah tamong syuruga”,yoh watei ubit beuna ta papah, beik jeut keu
susah oh watei raya”. Biasanya narit maja disyairkan atau dilagukan oleh orang
tua sejak anak dalam ayunan dengan suara yang merdu. Pesan dan bimbingan itu
secara naluri membuat anak terbuai nikmat dalam ayunan. Nilai pesan itu
mengandung makna bahwa seorang anak harus bersiap membangun hari depan dan
bertanggung jawab dengan kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhinya kepada
orang tuanya. Tali hubungan itu akan terbina akrab, manakala yang mengasuhnya
adalah ibu kandung sendiri. Mungkin akan berbeda bila yang mengasuh itu orang
lain di luar lingkungan budaya keluarganya, akan membuat si anak kehilangan
korelasi dengan bangunan prilaku orang tuanya.
Pesan semacam itu memberi makna
betapa besar rasa kasih sayang, tanggung jawab dan harapan orang tua dalam
mengasuh anaknya, mengantarkan mereka sampai kejenjang kemampuan membangun
kehidupan. Dengan demikian, diharapkan anak nantinya betul-betul menjadi
pelindung dan membantu orang tuanya, dikala mereka berada dalam keadaan lemah
dan uzur (hubungan vertikal timbal balik dan tidak ada elemen yang
disia-siakan). Tanggung jawab orang tua terhadap anak adalah memelihara
kesehatan dan membesarkannya, memberi pendidikan, mengasuh akhlak dengan ibadah
dan pendidikan al-Qur’an, membimbing dan membina tatanan budaya adat sebagai
patron pembangunan harkat dan martabat identitas keacehannya (identitas plus
dan kompetitif dengan adat atau kultur lainnya). Tanggung jawab yang melekat
pada orang tua, adalah sepanjang anak belum dewasa. Anak dewasa dalam kultur
adat Aceh, apabila telah mampu mandiri atau telah berkeluarga.
Peranan
Rumah Tangga Dalam Kehidupan Adat
Masyarakat adat hidup dalam ikatan
kebersamaan (paguyuban dan komunal) sebagai ciri khas dan asas utama dalam
pembinaan ketahanan hidup keluarga bahagia dan sejahtera dunia akhirat.
Nilai-nilai dan asas kebersamaan itu mencakup sikap prilaku, sebagai berikut :
(1) Terbina ikatan keluarga atau kaom atau kebanggaan kaum; (2) Sifat tolong
menolong atau saling membantu, (3) Saling nasehat menasehati (4) Tanggung jawab
moral bersama, (5) Ada panutan kepemimpinan keluarga (strata urutan kewibawaan
keluarga).
Pembinaan asas kebersamaan ini,
dalam kehidupan keluarga telah dimulai sejak proses pencaharian jodoh dalam hal
perkawinan anaknya. Karena itu, dalam bangunan keluarga ada prosedur dan
mekanisme yang dilakukan, yaitu : (a) Penilaian dan penentuan jodoh melalui
musyawarah keluarga atau partisipasi orang tua; (b) Tahapan proses cah rot atau
menyisir siapa calon; (c) Masa pertunangan; (d) Waktu pernikahan; (e) Khanduri
atau walimatul ’ursi (pesta perayaan pernikahan); (f) Intat lintoe; (g) Tung
dara baroe; (h) Masa intat boh kayee (ketika pengantin wanita hamil); (i) Masa
upacara ba-bu atau meulineum (ketika memasuki usia kehamilan tujuh bulan); (j)
Upacara cukoe oek (cukur rambut bayi yang baru lahir); (k) Upacara gidong tanoh
(turun tanah bayi yang baru lahir di usia yang telah ditentukan).
Bahkan di beberapa wilayah adat
masyarakat Aceh, hubungan anak dengan orang tua dapat dilihat dalam budaya
adat, seperti: (1) Aneuk ikot ureung chik; (2) Adat hibah atau wasiat dari
orang tua; (3) Adat peunulang, pemeukleih dari orang tua.
Sebagaimana dimaklumi, adat Aceh mengacu kepada
nilai-nilai Islami: ”Hukom (agama) ngon adat, lagei zat ngon sifeut ”. Karena
itu, tanggung jawab anak muthlak pada orang tua. Bila orang tua sudah tidak
ada, maka tanggung jawab berpindah kepada : (1) walinya atau kaomnya; (2) orang
tua kampung (Ureung tuha gampong); (3) masyarakat lingkungannya; (4) baitul mal
atau pemerintah.
Bentuk tanggung jawab utama untuk
anak menurut tatanan adat budaya, sampai anak menjadi dewasa adalah mendapatkan
hak perlindungan dari orang tua, seperti : Tempat tinggal, pemeliharaan
kesehatan, pendidikan, akhlak, ibadah dan al-Quran, kehormatan keluarga dan
memelihara harta oleh walinya (bila orang tua meninggal)
Pergeseran
budaya adat pemeliharaan anak
Pergeseran nilai-nilai budaya adat
Aceh dalam hal pemeliharaan anak (sehingga bermasalah menimpa anak ) dapat
terjadi, karena : (a) bencana alam tsunami dan bencana alam lainnya (sangat
darurat); (b) dalam keadaaan perang atau krisis; (c) dalam keadaan orang tuanya
miskin atau lemah; (e) usaha-usaha pihak tertentu untuk maksud tertentu
(penculikan, penjualan anak); (f) hancurnya struktur dan kultur atau kehilangan
nilai-nilai budaya.
Kondisi bencana atau hal-hal luar
biasa dan sangat darurat tersebut, dapat menimbulkan berbagai permasalahan bagi
anak, seperti: anak diambil orang atau diadopsi secara ilegal, anak diperas
jadi pengemis, anak menjadi terlantar (anak jalanan), Anak dijual (traficking),
anak diambil atau dihilangkan hak-hak propertinya terhadap harta benda
peninggalan orang tuanya, adanya perlakukan kekerasan terhadap anak atau
melanggar hak anak.
Menurut informasi yang berkembang,
hal-hal tersebut diatas terjadi pada saat tsunami menimpa sebagian anak-anak
Aceh. Untuk mengatasi hal-hal tersebut, disinilah peranan dan tanggung jawab
orang tua, wali, masyarakat gampong atau masyarakat Aceh umunya serta
pemerintah Aceh untuk menanggulanginya demi harkat dan martabat penyelamatan
dan perlindungan anak-anak Aceh. Adat Aceh boleh dan dapat menerima bantuan dari
siapapun (dalam atau luar negeri), namun perlindungan anak yang perlu
diselamatkan adalah aqidah dan nilai-nilai keacehannya sebagai asas filosofi
hidup (way of life) bagi kesejahteraan dunia dan akhirat.
Berapa ungkapan diatas, memberi
gambaran, bahwa dalam tatanan budaya adat Aceh sangatlah menjunjung upaya
perlindungan anak. Karena itu, dari aspek hukum adat atau adat istiadat, anak
wajib mendapat perlindungan tentang hak-haknya. Menyangkut dengan anak-anak
yang tidak lagi memiliki orang tuanya karena berbagai musibah seperti tsuami
atau karena bencana alam lainnya, maka masyarakat atau Baitul Mal atau
pemerintah berkewajiban untuk menempati fungsi orang tuanya bertindak untuk
menjamin melindungi hak-haknya (termasuk perlindungan harta). Peranan Keuchik
(kepala desa) dan Tuha Peut di gampong-gampong sangat menentukan. Sedangkan
yang berwenang dalam melakukan penetapan hukum terhadap masalah ini adalah
Mahkamah Syar’iyah.Kenyataan sekarang, banyak kasus di Aceh misalnya soal
seseorang yang mengadopsi anak atau diadopsi lembaga ataupun secara personal
oleh orang diluar Aceh telah merubah dan menggantikan nilai-nilai ke-Aceh-an,
bahwa pola-pola adat ke-Aceh-an telah mulai ditinggalkan. Untuk ini, perlu
upaya mencabut kembali anak tersebut untuk dikembalikan kehabitat budaya asal
anak tersebut. Kalau perlu, upaya hukum dapat ditempuh dan siapapun pelanggar
perlindungan anak, kepada mereka dapat dikenakan ancaman hukum postif
sebagaimana diatur dalam KUHP atau dengan menggunakan undang-undang
perlindungan anak. Adapun menyangkut dengan penetapan wali bagi anak dapat
diajukan kepada Mahkamah Syar’iyah. ”Matei aneuk mupat jeurat, gadoh adat pat
tamita”, ”akhei donya lee ureung dok, di meurampok peu-peu nyang na”. Semoga
anak-anak Aceh kedepan dapat hidup dalam budaya dan adat Aceh yang sejatinya
bertujuan membentuk pribadi yang cerdas, tangguh, beradab dan beriman.
Wallahu’alam .
*Penulis adalah Dosen FSH UIN Ar-Raniry, Direktur Aceh Research Institute (ARI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar