Oleh Bung Syarif*
KAHMI
yang lahir sejak tanggal 17 September 1966 di Yogyakarta dengan pendirinya
antara lain; Prof. Dr. Baharuddin Lopa, Dr. Akbar Tanjung, Prof Dr. Nuchalis
Madjid, Prof. Dr. Mahadi Sinambela dan sejumlah Alumni HMI lainnya genap berumur
59 Tahun. Tapi kalau kita tarik garis panjang sejarahnya, sebenarnya jejak itu
lebih tua. Ia bisa ditelusuri sejak Jong Islamieten Bond (JIB) berdiri
pada 1925.
Adapun tujuan didirikannya KAHMI ada tiga yaitu; pertama, mempersatukan alumni HMI dalam satu wadah silaturrahmi dan perjuangan, kedua, menegakkan nilai-nilai ke Islaman dan keindonesiaan dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara, ketiga, memberikan kontribusi pemikiran dan Tindakan nyata dalam Pembangunan nasional.
Kenapa
saya katakan demikian? Karena baik JIB, HMI (lahir 1947), maupun KAHMI,
meskipun berbeda zaman dan redaksi, punya alur yang sama yaitu menghadirkan
Islam sebagai etika moral dalam kehidupan kebangsaan. Sejarawan Harry J. Benda
(1958) menulis, organisasi Islam awal abad 20 memang menjadi motor kesadaran
nasional modern.
HMI
melanjutkannya dengan sistem kaderisasi yang lebih rapi, dan KAHMI kemudian
hadir sebagai rumah alumni untuk menjaga kesinambungan.
Subkultur
atau Kultur Bangsa?
Pertanyaan
kritisnya apakah HMI dan KAHMI bisa disebut subkultur?
Dalam
kajian sosiologi, subkultur biasanya identik dengan kelompok yang punya gaya,
norma, atau simbol sendiri, berbeda dari arus utama. Dick Hebdige (1979)
menulisnya dalam Subculture: The Meaning of Style. Tapi justru uniknya, HMI dan
KAHMI tidak sekadar berbeda, malah ikut membentuk arus utama.
Robert
Hefner (2000) dalam bukunya Civil Islam menyebut, Islam Indonesia menemukan
wajahnya yang ramah demokrasi dan pluralisme. Nah, HMI dan KAHMI ikut memainkan
peran itu. Jadi, terlalu sempit kalau menyebutnya hanya subkultur. Ia lebih
tepat disebut bagian dari kultur bangsa itu sendiri.
Arena
Sosial dan Intelektual Subaltern
Di
sinilah pentingnya melihat KAHMI melalui lensa teori subaltern intelektual.
Ranajit Guha (1982) menekankan bahwa sejarah bangsa sering ditulis dari
perspektif elit, sehingga suara kelompok yang “di bawah” menjadi terpinggirkan.
Dalam konteks Indonesia, subaltern itu bisa berarti petani, buruh, masyarakat
adat, atau komunitas miskin kota—semua yang jarang hadir dalam narasi resmi
pembangunan.
Sementara
itu, Antonio Gramsci (1971) berbicara tentang organic intellectual—intelektual
yang lahir dari rahim rakyat dan berbicara dengan bahasa rakyat, bukan
intelektual yang hanya bergaul di menara gading.
Dimana
posisi KAHMI
KAHMI
jelas sudah menjadi bagian dari elit bangsa. Banyak alumninya duduk di
birokrasi, politik, dan bisnis. Itu prestasi, tetapi sekaligus jebakan. Sebab
semakin dekat dengan pusat kuasa, semakin mudah pula melupakan suara subaltern.
Jika itu terjadi, KAHMI berhenti jadi “intelektual organik” dan berubah menjadi
“intelektual istana.”
Padahal,
tugas historis KAHMI mestinya justru menjadi jembatan antara elit dan rakyat.
Dalam bahasa Guha, KAHMI harus membantu menghadirkan “suara yang tak terdengar”
ke meja kebijakan. Kalau tidak, organisasi ini hanya mengulang pola hegemoni
lama—ramai di atas, sunyi di bawah.
Tantangan
itulah yang terasa nyata di usia 59 tahun. Banyak warga KAHMI lebih sibuk pada
romantisme masa lalu, reuni, dan nostalgia, ketimbang menjawab krisis hari ini:
ketimpangan ekonomi, kerusakan lingkungan, dan disrupsi teknologi. Anthony
Giddens (1991) menyebut, organisasi modern harus reflektif—kalau tidak, ia akan
ditinggalkan zaman.
Refleksi
ini makin relevan kalau kita kaitkan dengan subaltern. Selama rakyat kecil
terus terpinggirkan, selama suara masyarakat adat tidak terdengar, selama kaum
miskin kota hanya jadi angka statistik—selama itu pula peran KAHMI sebagai
intelektual organik dipertanyakan.
Jalan
ke Depan: Revolusi KAHMI
Reposisi
KAHMI sudah mendesak. Ada tiga hal yang bisa menjadi jalan revolusi.
Pertama:
memperkuat basis intelektual. Forum alumni harus jadi ruang lahirnya gagasan
baru, bukan sekadar nostalgia. KAHMI perlu tampil sebagai intelektual organik
yang mampu menyerap pengalaman rakyat dan mengubahnya menjadi wacana kebijakan.
Kedua:
menghidupkan kembali semangat pemberdayaan sosial. Alumni yang tersebar di
berbagai profesi bisa bekerja sama menciptakan program konkret: pendampingan
UMKM, literasi digital, Gerakan wakaf, beasiswa kader muda. Semua itu penting
agar KAHMI tidak hanya bicara dari atas, tetapi juga bekerja di bawah.
Ketiga:
meneguhkan etika politik baru. Politik bukan sekadar rebutan kursi, tapi ruang
pengabdian. Dengan jejaring elitnya, KAHMI bisa menjadi contoh etika politik
yang inklusif—politik yang mendengar suara subaltern, bukan politik yang hanya
melayani oligarki.
Milad
ke-59 mestinya bukan sekadar perayaan, tetapi ruang refleksi. Menyebut KAHMI
hanya sebagai subkultur jelas terlalu sempit, tapi menganggapnya sekadar
jaringan silaturahmi juga merendahkan. Ia adalah bagian dari kultur
keindonesiaan yang punya beban sejarah besar. Karna itulah sejatinya insan yang
berhimpun di KAHMI harus benar-benar memberikan kontribusi dalam berbagai
aktivitas dan profesinya. Karna orang-orang yang masuk dalam maqam KAHMI
sejatinya sudah mapan dalam bayak hal, mapan dalam ide dan karya, mapan dalam jaringan
dan intelektual. Syukur-syukur mapan dalam cuan, hehe.
**Penulis adalah Magister
Hukum Tata Negara USK, Kabid SDM dan Manajemen Disdik Dayah Kota Banda Aceh, Dosen
Legal Drafting FSH UIN Ar-Raniry, Aktivis LBH Darul Misbah, Aktivis`98, Ketua
Komiter Dayah Terpadu Inshafuddin, Wali Santri Dayah Ruhul Islam Anak Bangsa
(RIAB), Direktur Aceh Research Institute (ARI), ICMI Kota Banda Aceh, KAHMI
Aceh, Fungsionaris DPD KNPI Aceh, Sekretaris PC HIPSI Kota Banda Aceh, Wakil
Sekretaris PW Syarikat Islam Aceh, Mantan Ketum DPD Jaringan Nusantara Aceh,
Mantan Ketum Remaja Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, Mantan Sekjen DPP
ISKADA Aceh, Wakil Ketua DPD BKPRMI Banda Aceh

Tidak ada komentar:
Posting Komentar