Oleh Bung Syarif*
Salam super buat “Lima Delta Delta, Bravo Oscar Sera, Alpha Sera Tanggo, Bravo Wiski Max”. Istimewa buat “Carli Indian Tanggo (Muallem)” yang insya Allah akan dilantik sebagai Gubernur Aceh periode 2025-2030 pada tanggal 7 Februari 2025, semoga Aceh lebih baik sesuai yang dicita-citakan saat kampanye dulu, Amiin.
Kali ini kita mengupas pakem jinayat “Liwath”. Diawali dulu terminologi Liwath yaitu perbuatan seseorang laki-laki dengan cara memasukkan zakarnya kedalam dubur laki-laki yang lain dengan kerelaan kedua belah pihak
Adapun pakem laranganya dan jenis uqubat sebagaimana diatur dalam Qanun Jinayat (Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014) adalah sebagai berikut;
Pertama: Setiap orang yang sengaja melakukan jarimah liwath diancam dengan `uqubad cambuk 100 kali atau denda paling banyak 1000 gram emas murni atau penjara paling lama 100 bulan (baca pasal 63 ayat (1)
Kedua: Setiap orang yang mengulangi perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diancam dengan `uqubat cambuk 100 kali dan dapat ditambah dengan `uqubat ta`zir denda paling banyak 120 gram emas murni dan/ atau penjara paling lama 12 bulan.
Ketiga: Setiap orang yang melakukan liwath dengan anak, selain diancam dengan `uqubatta`zir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditambah dengan cambuk paling banyak 100 kali atau denda paling banyak 1.000 gram emas murni atau penjara paling lama 100 bulan.
Oya, dapat kami jelaskan sobat yang super, sesuai Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2013 tentang Acara Jinayat seluruh proses hukumnya sangat ditentukan oleh alat bukti permulaan yang cukup minimal 2 alat bukti.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 181 ini, alat bukti yang sah antara lain:
a. Keterangan saksi
b. Keterangan ahli
c. Barang bukti
d. Surat
e. Bukti elektronik
f. Pengakuan terdakwah
g. Keterangan terdakwah.
Qanun ini juga sangat terang benderang menyebutkan; “Kepolisian yang ada di Aceh dapat menjadi penyidik dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan uqubat jinayat. Jadi sangat rancu dan lucu jika semua kasus dilimpahkan pada PPNS yang ada pada Praja Wibawa (Satpol PP dan WH Kab/Kota), udah paham belum? atau pura-pura tak paham.
Dalam Pasal 8 Qanun ini disebutkan Penyidik terdiri dari Pejabat Polri dan PPNS tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang dan/atau Qanun. Ini bermakna tak ada ruang bagi Penyidik pada Kepolisian/Penyidik Polri untuk mengabaikan setiap pelanggaran Qanun Jinayat, justru Penyidik Kepolisian menjadi terhormat dan berwibawa jika menegakkan hukum Allah di Bumi Iskandar Muda.
Fakta empiris penulis selama 6 bulan mengabdi sebagai Kabid Penegakan Syariat Islam pada Praja Wibawa/Satpol PP dan WH Kota Banda Aceh, ada kesan semua kasus jinayat dilimpahkan kepada Praja Wibawa, ini terbukti banyak personil Polri menelpon kami saat kasus Jinayat di grebek warga. Mestinya kasus jinayat tersebut dapat di proses di wilayah hukum masing-masing Polsek yang ada di Kota Banda Aceh. Ini penting mengingat regeling Jinayat memungkinkan untuk itu.
**Penulis
adalah JZ01CPR, Magister Hukum Tata Negara USK, Mantan Kabid PSI pada Praja
Wibawa Kota Banda Aceh, Mantan Aktivis`98, Sekretaris Forum Muda Lemhannas
Aceh, Dosen Legal Drafting Prodi
Hukum Tata Negara dan Hukum Pidana Islam pada Fakultas Syariah dan Hukum (FSH)
UIN Ar-Raniry, Pengurus ICMI Kota Banda Aceh periode 2024-2029, Ketua Komite
Dayah Terpadu Inshafuddin periode 2023-2026, Mantan Sekjen DPP ISKADA Aceh,
Mantan Ketum Remaja Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, Mantan Ketum DPD
Jaringan Nusantara Aceh, KAHMI Aceh, Fungsionaris DPD KNPI Aceh, PW Syarikat
Islam Aceh, Direktur Aceh Research Institute (ARI), Fasilitator Pro DAI
YaHijau-UNICEF, Kabid SDM dan Manajemen Disdik Dayah Kota Banda Aceh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar