Oleh Bung Syarif *
Dalam Term Kementrian Agama Republik Indonesia keberadaan Lembaga Pendidikan Keagamaan (Dayah/Pesantren atawa sebutan lain) memiliki peran strategis dalam pembinaan wawasan kebangsaan dan wawasan kemadanian (baca keadaban, dan itelektual jimnastik). Dalam konteks ke Acehan dikenal dengan Istilah Dayah. Berdasarkan literatur klaisik, keberadaan Dayah di Aceh muncul sekitar Tahun 800 M.
Keberadaan Dayah atawa Pesantren telah melahirkan para Tokoh Agamawan dan cendikiawan yang berwawasan Internasional. Beberapa Dayah tertua di Aceh sebut saja Dayah Darussalam Labuhan Haji, Aceh Selatan, Dayah Tanoeh Abe, Seulimun Aceh Besar dan beberapa Dayah (Zawiyah) lainnya di Aceh dapat dilacak pada manuskrip Abad ke-17 SM yang kini tersimpan dengan rapi di Dayah Tanoh Abe.
Dayah sebagai Pusat Pendidikan Keagaman, Ekonomi, Gerakan Dakwah bahkan Pusat Kajian Ilmiah, sejatinya menjadi landasan Pilosofis, para Tgk. Waled, Aboen atawa sebutan lain yang melekat pada Pimpinan Dayah di Aceh.
Alumni Dayah masa lalu, menjadi panutan masyarakat. Yang menjadi soal sekarang, akankah kemuliaan dan kemasyuran Alumni Dayah dapat terus bertahan hingga kondisi kekinian? tentu jawabannya ada pada pihak-pihak yang bersentuhan dalam pengelolaan Dayah itu sendiri. Mulai dari Guru, Pimpinan dan stakeholders yang diberi kewenangan dalam melakukan pentadbiran tatakelola Dayah.
Harus diakui polarisasi dan hujjah Pimpinan Dayah, melekat dengan baik bagi santri yang lama mondok di Dayah. Adakalanya Hujjah itu bertranspormasi menyesuaikan dengan kondisi kekinian, bahkan terkadang alergi dengan kemajuan kekinian. Setidaknya pengalaman penulis saat melakoni tugas pentadbiran tatakelola Dayah se-Aceh pasca Rehab Rekontroksi NAD-Nias, dibawah bendera INSEP-Jakarta menjadi efisode empiris yang dapat dijadikan salah satu referensi.
Pengalaman mengelola pentabdiran Dayah se-Aceh menjadi inspirasi dan pemantik tersendiri dalam menghadaip berbagi argumen dan logika pemantik yang terkadang harus urut dada dalam menghadapi berbagai fenomena empiris. Ada yang bahagia bahkan ada yang kurang bahagia.
Dalam konteks ke- acehan, Dayah dikenal tiga Jenis yaitu; Modern (Terpadu), Tradisional dan Madrasah Ulumul Qur`an/Tahfidz. Tulisan ini tidak bermaksud menjelaskan 3 model Dayah yang berkembang di Aceh, akan tetapi lebih melihat sisi kesamaan dalam mengelola pendidikan Keagamaan Nusantara.
Ketiga model Dayah yang berkembang di Aceh bahkan nusantara punya misi yang sama yaitu Gerakan Dakwah, Sosial, Keadaban, Ekonomi serta Pusat Pemurnian Ilmu keagamaan. Inilah menjadi cita-cita utama sang Murabbi pada pengikutnya.
Suplemen keagamaan tentu menjadi pondasi utama. Untuk itulah pemaknaan akan gizi keagamaan harus dipahami dalam makna yang lebih luas, sehingga disinilah tercipta nuansa keadaban dan kesantunan serta keluhuran budi pekerti alumninya. Itu semua akan terwujud jika sistem (kurikulum, guru) dan instrumen yang bersentuhan dengan pengelolaan Dayah berjalan Dengan baik.
Setidaknya saya mencoba menawarkan satu konsep sederhana guna mewujudkan Dayah sebagai pusat Peradaban Nusantara antara lain;
Pertama; Saatnya Pengelola Dayah membuat standarisasi kurikulum dan sapras termasuk didalamnya peningkatan kualitas capasity buiding pengelolaa Dayah.
Kedua: Dayah juga harus diperkuat dengan program Tahfidz Al-Qur`an, karena Al-Qur`an sebagai kalam Ilahi sarat dengan keberkahan dan kemulian serta keilmuan. Untuk itu prasyarat Alumni naik maqam menjadi murabbi harus Tahfidz yang pada akhirnya melahirkan Insan Qur`ani.
Ketiga: Dayah juga harus terbuka dengan setiap kemajuan Zaman termasuk kemampuan dalam mengelola media massa dan teknologi. Karenanya mustahil Alumni bisa melakukan gerakan dakwah kalau anti terhadap kemajuan Teknologi. Disinilah Tata kelola Dayah, butuh juru bicara dalam melantunkan melodi dakwah “bansigoem donya” termasuk pemenuhan ketrampilan berbahasa asing (arab dan inggris).
Keempat: Dayah juga harus konsern dalam aspek penguatan ekonomi. Sehingga Alumni tidak merasa minder apalagi masuk Dayah menjadi pilihan terakhir. Gagasan menjadikan Dayah menuju kemandirian Ekonomi harus mendapat respon semua pihak, termasuk pemerintah, sehingga para alumni Dayah memiliki bekal yang cukup. Stop santri meminta-minta dijalan atas nama pembangunan.
Kelima: Tradisi Diskusi Ilmiah sesama Pimpinan atawa Santri Dayah dalam mengupas problem aktual dimasyarakat harus digalakkan. Jangan hanya memberikan pertimbangan pendapat berlandaskan emosinal ansich, tanpa refensi yang cukup. Disamping itu tradisi penghargaan atas beda pendapat perlu juga disikapi dengan bijak, asal cukup referensi. Jangan cepat menkafirkan atawa mencap sebagai wahabi.
*Penulisa adalah Kabid SDM dan Manajemen Disdik Dayah Banda Aceh, Pengurus ICMI Kota Banda Aceh periode 2024-2029, Dosen Legal Drafting FSH UIN Ar-Raniry
Tidak ada komentar:
Posting Komentar