4 Mar 2023

Politik Hukum Sertifikasi Halal

Oleh Bung Syarif*


Pelaksanaan sertifikasi halal dibidang makanan, minuman, kosmetik bukanlah barang baru. Gagasan ini berkembang di Tahun 1980-an disaat muncul isu lemak babi terdapat dalam peredaran makanan, minuman dan obat-obatan. Gagasan ini diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Munculnya lemak babi mendorong umat Islam mempersoalkan ke halalan produk makanan, minuman dan kosmetik yang beredar di pasar. Produk tersebut perlu diteliti dan dinyatakan halal serta diumumkan kepada publik. Dasar ini pula menjadi lahirnya gagasan sertifikasi halal secara sukarela. Tim yang digagas MUI melakukan penelitian berbagai produk yang dikonsumsi oleh umat muslim di nusantara. Sifatnya masih sukarela, produsen boleh menolak kehadiran tim MUI kala itu.

Kesadaran itu muncul bukan semata-mata berasal dari isu lemak babi, akan tetapi sertifikasi halal muncul, atas kesadaran umat muslim setelah trend globalisasi perdagangan, tingkat kemajuan pendidikan. Karna kemapanan dalam beragama merubah pola pikir dan tindakan bernegara. Sehingga muncul gagasan baru, produk yang dikonsumsi oleh manusia terutama umat mayoritas tidak saja baik dari segi kesehatan akan tetapi juga halal dan bersih dari anasir-anasir yang megandung potensi tidak halal. Perkembangan sosial dan trend global melahirkan pertanyaan umat Islam tentang indentitas diri mereka. Karna ajaran Islam telah memberikan rambu-rambu agar setiap yang dikonsumsi jelas kehalalannya.

Tentu ikhtiar mewujudkan sertifikasi halal patu kita dukung bersama. Walau terdapat pandangan yang berbeda para ulama dalam memberikan konklusi tentang konsep halal. Dalam bidang makanan produk yang disepakati haram adalah daging babi. Sedangkan organ tubuhnya seperti tulang dan lemaknya tidak disepakati. Ada yang mengatakan halal dan ada juga yang tidak. Dalam hal minuman yang disepakati haram adalah khamar. Tetapi ulama berbeda pendapat mengenai pengertian khamar. Abu Hanifah berpendapat khamar adalah perasan anggur, sehingga minuman lain sekalipun memabukkan (beralkohol) tidak haram selama tidak memabukkan. Sedangkan ulama yang lain berpendapat khamar berarti setiap minuman yang memabukkan, baik perasan anggur maupun bukan. Perbedaan ini memberikan kelonggaran bagi umat Islam untuk memilih pendapat mana yang palih ia yakini. Sehingga menyebabkan kadar amalannya sesuai keyakinannya masing-masing.

Berdasarkan Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat disebutkan khamar adalah minuman yang memabukkan dan atau yang mengandung alkohol dengan kadar 2 % atau lebih. Jika tuan dan puan meminum tuak atau minuman yang beralkohol kadarnya 2 persen atau lebih maka dikualifikasi khamar. Semangat Qanun ini dalam rangka melihat trend sosiologi hukum di nusantara. Jadi jelas sudah sertifikasi halal merupakan dinamika hukum di nusantara.

Kementrian Agama Republik Indonesia merilis masa penahapan pertama kewajiban sertifikat halal akan berakhir 17 oktober 2024 berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 beserta turunannya. Ada tiga kelompok produk yang harus ada sertifikat halal seiring dengan berakhirnya penahapan pertama yaitu:

Pertama: produk makanan dan minuman, kedua; bahan baku, bahan tambahan pangan dan bahan penolong untuk produk makanan dan minuman dan ketiga; produk hasil sembelih dan jasa penyembelihan. Tiga kelompok produk ini harus sudah bersertifikat pada 17 oktober 2024, kalau belum bersertifikat dan beredar di masyarakat akan dikenakan sanksinya, ungkap Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halam (BPJPH), Muhammad Aqil Irham di Jakarta (Sabtu, 7/1/2023). Adapun sanksi yang akan diberikan mulai peringatan tertulis, denda administratif, hingga penarikan barang dari peredaran. Ini sesuai dengan ketentuan yang ada dalam PP Nomor 39 Tahun 2021, ujarnya.

Saat ini kementrian Agama juga memfasilitasi pengurusan Sertifikasi Halal Gratis (SEHATI). Tentunya program “SEHATI” ini harus dimamfaatkan oleh pelaku usaha UMKM. Ayo sukseskan program SEHATI dengan membuka laman halal.go.id atau mengikuti berbagai informasi SEHATI di medsos resmi BPJPH. Jika tuan dan puan masih ragu silahkan bertanya pada Kanwil Agama Provinsi dan Kab/Kota se-Indonesia guna mendapatkan berbagai informasi tentang syarat dan mekanisme mengurus sertifikat halal.

*Penulis adalah Aktivis Lembaga Bantuan Hukum, Sekretaris Forum Muda Lemhannas Aceh, Dosen Legal Drafting Prodi Hukum Tata Negara (HTN), Hukum Pidana Islam (HPI), Hukum Keluarga (HK) pada Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) UIN Ar-Raniry, Mantan Aktivis`98, Fungsionaris KAHMI Aceh

 

Tidak ada komentar: