Di ISKADA kita diajarkan Iklas dalam berdakwah. Selalu rendah hati, suka menolong sesama dan berani menyampaikan kebenaran walaupun itu pahit.
Setidaknya itulah yang terlihat dari output perkaderan ISKADA setiap levelnya mulai Latihan Kader Dakwah Tingkat Dasar (LKD), Latihan Kader Menengah (LKM) dan Latihan Kader Instruktur (LAKID). Jenjang kader itu hanya proses dialektika keilmuan dalam berorganisasi
Melatih kecerdasan akal (otak) itu bagus. Sebab, banyak sekali lalu lalang para penipu di muka bumi. Kalau akal tak hidup, bisa kena tipu anda. Pun dengan hidupnya akal, pertanda sah kita jadi manusia (jadi hewan berakal, hayawanun nathiq). Untuk kaya raya dan sukses berkuasa, terkadang kita juga harus panjang akal (menguasai ilmu pengelolaan dunia materi, semacam bisnis dan politik).
Tapi, jika kita kembali kepada hakikat kemanusiaan, esensi beragama bukan untuk kritis. Bukan untuk menguasai atau memiliki. Tapi untuk tunduk dan patuh. Berserah diri. Melepaskan semuanya. Mengosongkan diri. Pasrah. Taslim. Itu hanya mungkin terjadi, jika kader sudah mengenal Allah. Makrifah. Jika tidak, pasti semuanya dilawan. Dikritisi. Karena dianggap tak ada unsur Tuhannya.
Untuk tembus ke “langit” (dimensi ukhrawi/Tuhan) kita butuh sesuatu yang lain selain akal. Karena itulah kita temukan, banyak filsuf muslim pada akhirnya larut dalam sufisme (Irfan). Otaknya sudah lelah “mengkritisi” alam dan Tuhan. Mereka menemukan kedamaian justru saat menyelami dirinya sendiri. Pintu-pintu langit (latifah) terbuka saat mereka mengakses unsur terdalam dari jiwanya sendiri.
Kalau konsep perkaderan kita umpakan sebagai kalimah: “La ilaha – illa Allah”. Maka ber-ISKADA hanya mengajarkan “La Ilaha” saja, secara filosofis. Bukan menunjukkan yang mana Allah (illa Allah). Makanya tingkat liberalisme kita sangat tinggi. Kepatuhan kita rendah. Suka melawan. Bahkan melawan orang yang lebih tua (senior). Disatu sisi, metodologi pendidikan semacam ini sangat bagus. Karena segalanya dianggap tidak suci. Bukan Tuhan. Semua setan. Lalu ditentang habis-habisan. Tapi disisi lain, ia tidak pernah melihat dan merasakan Wajah Tuhan yang Maha Suci itu sendiri.
Boleh dikatakan, kita ini mirip-mirip Yahudi yang cerdas akal. Banyak membantah dan suka berdebat. Sehingga membuat para nabi (orang-orang yang sudah berjumpa Tuhan) kewalahan meladeni rasionalitas kita.
Harusnya, kita para kader punya kemampuan menjelma menjadi para nabi. Para wali. Menjadi orang-orang yang mampu berinteraksi secara langsung dengan Allah dan para malaikatnya. Jangan terus-terusan menjadi insan pendebat, suka mengkritik tapi mininim aksi (karya)
Ber-ISKADA sejatinya menjadi insan yang senantiasa menjadikan Tuhan sebagai benteng kehidupan, melakukan pengabdian dengan tulus, tidak itung-itung berapa dapat syafaat (insentif) finansial, sandaran kitab suci (Al-Qur`an) sebagai pedoman hidup, Al Hadits sebagai kompas kedua setelah Al-Qur`an. Kader ISKADA harus ditonjolkan maqam Ilahiyah sebagai Ruh dalam berdakwah sehinga gerakan dakwah yang dibangun penuh keiklasan. Tak ada yang ditakutkan selain Allah. Tak ada penghabaan pada makhluk. Tak ada kalkulasi materi. Jika ada ya syukuri saja, tidak mematok standar harga (amplop) dalam berdakwah.
Merujuk kepada Power Vs. Force (David R.Hawkins, 2014); menjadi seorang intelek, nilai kemanusiaannya itu sudah positif. Namun masih berkisar pada angka 400-499. Sementara nilai 500 ke atas, itu sudah masuk pada ranah alam spiritual (revealation/transfiguration/ilumination/pure concsiousness). Nilai 500 ke atas, itu sudah memasuki alam vibrasi kewahyuan dan dimensi ketuhanan. Itulah mengapa, secerdas-cerdasnya Einstein, ia mandek di dunia materi.
Elemen-elemen inti keislaman (seperti love, joy, peace and enlightenment; semuanya merupakan bagian dari bentuk-bentuk rasa ridha dan keridhaan Ilahi) itu bisa ditemukan secara hakiki pada jenjang training 500 ke atas. Ridha Allah (yang merupakan cita-cita HMI) bisa diperoleh secara konfirmatif pada saat adanya koneksitas dan aksesibilitas secara langsung terhadap entitas Ar-Ruh, dengan Tuhan itu sendiri.
Oleh sebab itu, tujuan perkaderan sejatinya bukan untuk “mengasah intelektual ansich” (ego) kita. Bukan menjadi pembangkang seperti iblis. Tapi untuk “memperbudak” diri menjadi hamba Allah, sekaligus menjadi insan yang iklas dan tulus dalam berdakwah. Dan itu hanya akan terjadi jika kita bersedia menempuh jalan Ilaiyah dari setiap jenjang perkaderan baik formal maupun informal. Mulai dari level aqliyah sampai ruhiyah. Di masing level ini tentu harus dibimbing oleh seorang murabbi. Tanpa murabbi yang handal, training akan menjadi training buta. Karnanya dalam ber ISKADA kita butuh guru (trainer) yang baik, guru yang sama antara cakap dengan perbuatan, bukan guru yang pinter cakap tapi perbuatannya banyak menyimpang.
Kita tidak butuh maqam senior dan yunior, yang dibutukan adalah kesadaran dan ketulusan dalam pengabdian. Jangan ujub-ujub mengaku kader saat konstestasi Politik saja. Tahniah Milad ISKADA ke- 48 Tahun (5 Februari 1973-5 Februari 2021)
*Penulis adalah Sekjen DPP ISKADA Aceh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar