Ultra petita merupakan
penjatuhan putusan oleh hakim atas perkara yang tidak dituntut atau
“hakim menjatuhkan putusan melebihi dari yang diminta.”
Ketentuan ultra petita diatur dalam Pasal 178 ayat (2) dan (3) Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR)
serta padanannya dalam Pasal 189 ayat (2) dan (3) RBg yang melarang
seorang hakim memutus melebihi apa yang dituntut (petitum). HIR adalah
hukum acara yang berlaku di pengadilan perdata di Indonesia.
Dalam
hukum perdata berlaku asas “hakim bersifat pasif,” artinya ruang
lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan kepada hakim untuk
diperiksa pada asasnya ditentukan pihak yang berperkara. Hakim hanya
menimbang hal-hal yang diajukan para pihak dan tuntutan hukum yang
didasarkan kepadanya.
Salah satu lembaga penegak hukum yang putusannya kerap dinilai ultra
petita adalah Mahkamah Konstitusi. Ini, misalnya terjadi ketika Mahkamah
Konstitusi membatalkan kewenangan Komisi Yudisial mengawasi hakim
agung. Dalam putusan pada 23 Agustus 2006, Mahkamah juga menyatakan
Komisi tak berwenang mengawasi hakim konstitusi -hal yang tak diminta
pemohon.
Putusan ultra petita Mahkamah Konstitusi lainnya adalah
ketika memutus uji materi atas UU No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Ketika itu pemohon meminta Mahkamah
membatalkan tiga pasal. Tapi, dalam putusannya Mahkamah Konstitusi
justru membatalkan seluruh undang-undang tersebut.
Sejumlah pakar
hukum menyatakan, berbeda dengan pengadilan perdata yang melindungi
perorangan, obyek hukum Mahkamah Konstitusi adalah hukum publik,
melindungi orang banyak, dalam hal ini seluruh rakyat Indonesia.
Pertimbangan
Mahkamah Kosntitusi dalam memutus melebihi permohonan pada pokoknya
sebagai berikut: 1) Undang-undang yang diminta diuji merupakan “jantung”
UU sehingga seluruh pasal tidak dapat dilaksanakan; 2) praktik ultra petita oleh
MK lazim di negara-negara lain; 3) perkembangan yurisprudensi
pengadilan perdata ultra petita diijinkan; 4) pengujian UU menyangkut
kepentingan umum akibat hukumnya bersifat erga omnes, berbeda dengan
hukum perdata (privat); 5) kebutuhan kemasyarakatan menuntut ultra petita
tidak berlaku mutlak; 6) jika kepentingan umum menghendaki hakim tidak
boleh terpaku pada permohonan (petitum); 7) permohonan keadilan (ex aequo et bono) dianggap secara hukum diajukan pula dan mengabulkan hal yang tidak dimintakan putusan melebihi putusan.
Sumber:hukum.tempo.co
Tidak ada komentar:
Posting Komentar