Oleh
: Abi Azka
Sistem
pemerintahan pada umumnya terbagi atas dua sistem utama, yaitu sistem presidensiil dan sistem parlementer. Di luar dari kedua sistem tersebut dinamakan
sistem "campuran", dapat pula berbentuk kuasi presidensiil atau kuasi
parlementer.
Namun,
ada juga yang menyebut sistem referendum, yaitu sistem yang badan eksekutifnya
merupakan bagian dari badan legislatif, atau yang biasanya disebut sebagai
badan pekerja legislatif.
Secara teoritis, kedudukan presiden dalam sistem
pemerintahan presidensiil sangat kuat dibandingkan dengan kedudukan perdana
menteri dalam sistem pemerintahan parlementer. Hal itu wajar, karena dalam
sistem presidensiil dimaksudkan dan diharapkan untuk melahirkan suatu
pemerintahan yang relatif stabil dalam jangka waktu tertentu (fix term
office periode). Presiden hanya dapat dimakzulkan. dalam masa jabatannya
apabila melakukan pelanggaran hukum yang secara tegas diatur dalam konstitusi
setiap negara.
Berbeda dengan sistem pemerintahan parlementer, kepala
pemerintahan atau perdana menteri yang mempimpin kabinet setiap saat dapat
dijatuhkan oleh parlemen dengan mosi tidak percaya.
Berkaitan dengan hal diatas dalam sistem ketatanegaraan dikenal juga tentang ketatanegaraan islam biasanya sistem ini di terapkan di negara negara timur tengah dengan
mengkodifikasikan tata hukumnya dengan hukum islam.
Banyaknya upaya yang telah dilakukan para ulama dalam
rangka pencarian format relasi agama dan negara, pada dasarnya mengandung dua
maksud. Pertama, untuk menemukan idealitas Islam tentang negara
(menekankan aspek teoritis dan formal), yaitu dengan menjawab pertanyaan,
"Bagaimana bentuk negara dalam Islam?".
Pendekatan ini bertolak pada suatu asumsi bahwa Islam
memiliki konsep tertentu tentang negara. Kedua, untuk melakukan
idealisasi dari perspektif Islam terhadap proses penyelenggaraan negara
(menekankan aspek praktis dan substansial), yakni mencoba menjawab pertanyaan,
"Bagaimana bentuk negara menurut Islam?" Istilah relasi, diartikan
sebagai "hubungan"; "perhubungan", dan
"pertalian". Sedangkan "Agama" mengandung pengertian bahwa
ia adalah suatu perarturan yang mengatur kehidupan manusia agar tidak acak
kadud alias kacau. Sedangkan negara, secara terminologi diartikan dengan
organisasi tertinggi diantara satu kelompok masyarakat yang mempunyai cita-cita
untuk bersatu, hidup di dalam daerah tertentu dan mempunyai pemerintahan yang
berdaulat.
Pengertian ini mengandung nilai konstitutif dari
sebuah negara yang meniscayakan adanya unsur dalam sebuah negara, yakni adanya
sebuah masyarakat (rakyat), adanya wilayah (daerah), dan adanya pemerintah yang
berdaulat. Definisi di atas, tampaknya dapat dijadikan sebagai langkah awal
dalam penulisan ini guna melacak istilah negara dalam khazanah Islam. Sebab, dalam kajian Islam (Islamic studies),
istilah negara bisa bermakna daulah,
khilafah, imamah,hukumah, dan kesultanan.
Dari berbagai istilah di atas, penyebutan negara dalam
Islam memiliki beragam corak. Jika melihat sejarahnya istilah-istilah di atas
pernah dipraktekkan oleh umat Islam di berbagai Kawasan terutama di timur
tengah. Relasi di sini berarti sebuah hubungan, yang kemudian melahirkan
beberapa pertanyaan seperti Apakah negara harus tunduk di bawah ajaran agama?
apakah agama harus terkooptasi oleh negara? Apakah negara dan agama harus
berhadapan secara frontal, tanpa harus saling mencampuri? Apakah agama dan
negara di posisikan dalam ruang yang berbeda, namun saling menguntungkan? Atau
agama dan negara harus dipersatukan? Inilah yang kemudian banyak melahirkan
polemik sepanjang sejarah.
Indonesia sendiri sebagai negara dengan mayoritas
penduduk islam pada prinsipnya dalam aspek ketatanegaraanya lebih berciri
sistem ketatanegaraan atau mengikuti pemikir-pemikir dari barat misalnya kita
merupakan negara dengan sistem pemerintahan presidensiil (dalam bayak referensi
dibaca presidensial) berbeda dengan negara-negara islam khusnya timur tengah
yang mengikuti ketatanegaraan Islam disana tidak dikenal presiden akan tetapi
raja atau sultan. Hukum Islam sendiri dalam ketatanegaraan Indonesia tercantum
dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD 1945) Eksistensi Hukum Islam termanifestasi
di dalam konstitusi Negara Indonesia yang lazim dikenal dengan UUD 1945
sebagaimana tercantum pada alinea keempat pada Pembukaan UUD 1945 yang
berbunyi, "Ketuhanan Yang Maha Esa" Ahmad Sukardja
menyimpulkan apabila dibandingkan materi antara Piagam Madinah dengan UUD 1945,
maka UUD 1945 mengandung unsur islami. Karena itu peluang berlakunya Hukum
Islam secara yuridis konstitusional sangat terbuka lebar dan penerapan syariat
Islam semakin tinggi.
Karakteristik Pemikiran Kenegaraan Dalam Islam
Sejarah perkembangan ilmu ilmu politik,
konsep negara merupakan konsep yang dominan, sehingga bila membicarakan ilmu
politik berarti membicarakan negara dan segala sesuatu yang berhubungan
denganya. Pada awalnya ilmu politik mempelajari masalah negara. Dengan itu,
pendekatan yang muncul dalam ilmu politik adalah pendekatan legal-formal, yaitu
suatu pendekatan yang memahami ilmu politik dari sudut formal legalistik dengan
melihat lembaga-lembaga politik sebagai obyek studinya, termasuk didalamnya
masalah negara. Konsep negara selalu mendapatkan tempat yang istimewa, hal itu
terjadi sejak zaman yunani bahkan sampai sekarang. Banyak gagasan yang telah
dikemukakan dalam kurun waktu tersebut tentang konsep negara.
Seperti yang kita
ketahui para pemikir yunani kuno, seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles dalam
karya-karyanya membicarakan tentang konsep negara. Dalam ranah pemikiran
politik Islam mengenai dasar negara maupun politik sudah muncul sejak abad
klasik, abad pertengahan dan sampai modern. Seperti Al-Farabi, Al Mawardi, Al Ghazali yang mampu menjadi pemikir politik di abad klasik dan
pertengahan, sedangkan di abad
modern yang terkenal seperti, Muhammad
Abduh, Muhammad Rasyid Ridha, Muhammad Iqbal dan tokoh-tokoh yang
lain. Rasyid Ridha, seorang ulama terkemuka Islam, yang dianggap paling
bertanggung jawab dalam merumuskan konsep negara Islam modern, menyatakan bahwa
premis pokok dari konsep negara Islam adalah syariah, menurut beliau syariah
merupakan sumber hukum paling tinggi. Dalam pandangan Rasyid Ridho, syariah
harus membutuhkan bantuan kekuasaan untuk tujuan mengimplementasinya, dan
mustahil untuk menerapkan hukum Islam tanpa adanya Negara Islam. Karena itu,
dapat dikatakan bahwa penerapan hukum Islam merupakan satu-satunya kriteria
utama yang sangat menentukan untuk membedakan antara suatu negara Islam dengan
negara non-Islam.
Sedangkan Fazlur Rahman, tidak menyatakan secara jelas
pendapatnya mengenai konsep Islam mengenai negara, memberikan definisi negara
Islam
secara fleksibel, tak begitu ketat dengan syarat-syarat tertentu. Fazlur Rahman menilai negara Islam adalah suatu negara yang didirikan atau dihuni oleh umat Islam dalam rangka memenuhi keinginan mereka untuk melaksanakan perintah Allah melalui wahyu-Nya. Tentang bagaimana implementasi penyelenggaraan negara itu, Fazlur Rahman tidak memformat secara kaku, tetapi elemen yang paling penting yang harus dimiliki adalah syura sebagai dasarnya. Dengan adanya lembaga syura itu sudah tentu dibutuhkan ijtihad dari semua pihak yang berkompeten. Dengan demikian, kata Fazlur Rahman, akan sangat mungkin antara satu negara Islam dengan negara Islam yang lain, implementasi syariah Islam akan berbeda, oleh karena tergantung hasil ijtihad para mujtahid di negara yang bersangkutan.
secara fleksibel, tak begitu ketat dengan syarat-syarat tertentu. Fazlur Rahman menilai negara Islam adalah suatu negara yang didirikan atau dihuni oleh umat Islam dalam rangka memenuhi keinginan mereka untuk melaksanakan perintah Allah melalui wahyu-Nya. Tentang bagaimana implementasi penyelenggaraan negara itu, Fazlur Rahman tidak memformat secara kaku, tetapi elemen yang paling penting yang harus dimiliki adalah syura sebagai dasarnya. Dengan adanya lembaga syura itu sudah tentu dibutuhkan ijtihad dari semua pihak yang berkompeten. Dengan demikian, kata Fazlur Rahman, akan sangat mungkin antara satu negara Islam dengan negara Islam yang lain, implementasi syariah Islam akan berbeda, oleh karena tergantung hasil ijtihad para mujtahid di negara yang bersangkutan.
Salah satu pemikir berpengaruh di dunia Islam, Ibnu
Khaldun, membagi proses pembentukan
kekuasaan politik (siysah) atau pemerintahan menjadi tiga jenis.
Pertama, politik atau
pemerintahan yang proses pembentukannya didasarkan atas naluri politik manusia untuk bermasyarakat dan membentuk kekuasaan.
Kedua, politik atau
pemerintahan yang proses pembentukannya didasarkan atas pertimbangan akal semata dengan tanpa berusaha mencari petunjuk
dari cahaya ilahi. Ia hanya ada dalam spekulasi pemikiran para filosof. Ketiga, politik atau
pemerintahan yang proses pembentukannya dilakukan dengan memperhatikan kaidah-kaidah agama yang telah digariskan oleh syari'ah.
Politik ini didasarkan atas keyakinan bahwa Tuhan sebagai pembuat shariah
adalah yang paling tahu maslahat yang diperlukan manusia agar mereka
bisa bahagia di dunia dan akhirat. Ibnu
Khaldun menyebut jenis yang pertama
dengan sebutan al-mulk al-thabi'iy yang kedua dengan sebutan al-siysah
al- madaniyah dan yang ketiga dengan sebutan al-siyasah al-diniyah atau
syar'iyyah.
Pada perkembangan berikutnya, kajian-kajian tentang
negara dan kaitannya dengan agama, selalu mendapat porsi lebih khusus. Inilah
yang menyebabkan munculnya kesepakatan para ulama yang mewajibkan adanya
pemerintahan, mekipun kajian klasik dan kontemporer punya pendapat yang beragam
mengenai bentuk pemerintahan itu. Kewajiban ini didasarkan pada :
- Ijma shahabat
- Menolak bencana yang ditimbulkan oleh keadaan yang kacau balau akibat
tidak adanya pemerintahan
- Melaksanakan tugas-tugas keagamaan
- Mewujudkan keadilan yang sempurna.
Mengenai relasi agama dan negara, Islam sejak awal
tidak memberikan ketentuan yang pasti tentang bagaimana konsep dan bentuk
negara yang dikehendaki. Dalam konsep Islam, dengan mengacu pada al-Quran dan
al-Hadits, tidak ditemukan rumusan tentang negara secara eksplisit, hanya di
dalam kedua sumber hukum Islam itu terdapat prinsip-prinsip dasar dalam
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, di antaranya adalah:
- Keadilan: (QS. 5:8) Berlaku adillah kalian karena adil itu lebih
dekat kepada taqwa.
- Musyawarah: (QS. 42:38) Sedang urusan mereka diputuskan dengan
musyawarah di antara mereka.
- Menegakkan kebaikan dan mencegah kemungkaran: (QS.3:110) Kamu adalah
umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang
ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, dan berimanlah kepada Allah.
- Perdamaian dan persaudaraan: (QS. 49:10) Sesungguhnya
orang-orang yang beriman adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara
kedua saudaramu dan bertaqkwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.
- Keamanan : (QS. 2:126) Dan ingatlah ketika Ibrahim berdo'a, Ya
Tuhanku jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa.
- Persamaan: (QS. 16:97 dan 40:40) Barang siapa yang mengerjakan amal
saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka
sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (QS. 16:97).
Secara historis, cikal
bakal negara Islam, meski dalam bentuk yang sangat sederhana dan tidak
tersebut secara yuridis formal, dapat dirunut sejak pasca lahirnya perjanjian Hudaybiyah II (Piagam
Madinah). Meskipun pendirian negara, termasuk agama negara, tidak
diartikulasikan secara tegas oleh nabi, persyaratan sebagai negara telah
terpenuhi: wilayah, pemerintahan, rakyat, kedaulatan, dan konstitusi. Yang
penting untuk digarisbawahi adalah, bahwa tidak adanya penyebutan Negara
Madinah pada saat itu sehingga banyak kalangan yang menyebut perjanjian itu
sebagai bentuk kerjasama antar berbagai elemen masyarakat di sebuah wilayah.
Inilah yang hingga saat ini masih menjadi perdebatan dan bahan kajian untuk
mencari formulasi apa yang disebut sebagai negara Islam. Kontemporer islam
tidak ada kesepakatan yang bulat di kalangan pakar politik Muslim modern
tentang apa sesungguhnya yang terkandung dalam konsep negara Islam. Kenyataan
mudah terlihat dengan begitu beragamnya sistem negara dan pemerintahan di dunia
ini yang menganggap dirinya sebagai negara Islam.
Walaupun memang dalam sistem bernegara harus mengakui
kedaulatan negara apakah dia negara islam murni atau negara islam yang
mempunyai ciri ini tidak terlepas dari rentang sejarah masing-masing negara
contohnya adalah negara-negara seperti Saudi Arabia, Iran, Pakistan atau Sudan
yang menerapkan sistem pemerintahan berdasarkan Islam tetapi apakah negara itu
wajib dijadikan contoh? Sedangkan dalam islam tidak mengatur secara spesifik
sistem bernegara atau, dalam pertanyaan yang berbeda, bisakah negara yang hanya
mengimplementasikan nilai-nilai universalitas Islam itu disebut sebagai Negara
Islam?
Konsep pemerintahan Islam sama ada dalam bentuk
khilafah maupun negara Islam itu sendiri pada asasnya tidak dapat lari daripada
peristilahan negara Islam. Hakikatnya, istilah negara Islam (daulah
Islamiyyah) sendiri baru dikenali pada abad ke-20 seiring dengan
kemerdekaan negara-negara Islam yang dijajah kuasa Barat dan masuknya fahaman
nasionalisme yang dibawa oleh penjajah. Dalam khazanah dan pemikiran ahli hukum
Islam (fikah), istilah yang lebih dulu dikenali ialah Dar al-Islam (wilayah
Islam) bagi merujuk sesebuah wilayah yang dikuasi oleh umat Islam. Bertentangan
dengan istilah Dar al-Islam yang mempunyai makna negara aman, istilah Dar
al-Harb (wilayah peperangan) ialah bagi merujuk negara yang dikuasai oleh
bukan Islam. Istilah lain bagi merujuk kategori negara bukan Islam ialah Dar
al-Muahadah yiaitu negara bukan Islam yang mengikat perjanjian dengan
negara umat Islam.
Sedangkan Fazlurrahman, kendati tidak menyatakan
secara gamblang pendapatnya mengenai konsep Islam mengenai negara, memberkan
definisi negara Islam secara fleksibel, tak begitu ketat dengan syarat-syarat
tertentu. Rahman menilai negara Islam adalah suatu negara yang didirikan atau
dihuni oleh umat Islam dalam rangka memenuhi keinginan mereka untuk
melaksanakan perintah Allah melalui wahyu-Nya. Tentang bagaimana implementasi
penyelenggaraan negara itu, Rahman tidak memformat secara kaku, tetapi elemen
yang paling penting yang harus dimiliki adalah Shura sebagai dasarnya.
Dengan adanya lembaga Shura itu sudah tentu dibutuhkan ijtihad dari
semua pihak yang berkompeten. Dengan demikian, kata Rahman, akan sangat mungkin
antara satu Negara Islam dengan Negara Islam yang lain, implementasi shariah
Islam akan berbeda, oleh karena tergantung hasil ijtihad para mujtahid di
negara yang bersangkutan.
Istilah lain yang dikenali bagi merujuk negara Islam
ialah istilah khilafah. Istilah khilafah digunakan terutama merujuk kepada era
kepemimpinan khulafaurrasyidin, selain juga bersumber kepada istilah
yang jelas termaktub di dalam al-Qur'an. Manakala istilah daulah merujuk
kepada era pemerintahan daulah Umayyah, daulah Abbasiyah dan Usmaniyah.
Bagaimanapun, istilah daulah pada asalnya bukan diartikan sebagai negara
akan tetapi mempunyai dua makna iaitu bergilir-gilir dan peredaran.
Istilah
negara Islam turut mendapat perhatian dalam kalangan ahli hukum Islam (ahli
fikah) bagi merumuskannya. Abu Hanifah pengasas mazhab Hanafi mentakrif negara
Islam dengan meletakkan rasa aman dan bebas daripada ancaman musuh sebagai ciri
utamanya. Selain itu beliau juga mensyaratkan segala aktifitas dan kegiatan
Islam dapat dijalankan tanpa ada gangguan. Sekalipun negara itu tidak
mengamalkan undang-undang Islam, akan tetapi majoriti penduduknya beragama
Islam dan ketua negara dipegang oleh umat Islam, maka negara tersebut layak
disebut sebagai negara Islam. Dalam kalangan mazhab Syafii, salah seorang
tokohnya Mohammad Abu Zahrah
berpendapat bahwa negara Islam ialah
pemerintahan, kekuatan dan pertahanan negara dikuasai umat Islam. Beliau turut
mensyaratkan bahawa negara itu tidak melaksanakan amalan riba, arak, judi dan
penduduknya tidak memakan babi.
Bentuk Ideal Relasi Agama dan Negara Dalam
Ketatanegaraan Indonesia
Dalam sejarah Islam, ada tiga tipologi hubungan antara
agama dan negara. Din Syamsudin membaginya sebagai berikut: Pertama,
golongan yang berpendapat bahwa hubungan antara agama dan negara berjalan
secara integral. Domain agama juga menjadi domain negara, demikian sebaliknya,
sehingga hubungan antara agama dan negara tidak ada jarak dan berjalan menjadi
satu kesatuan. Tokoh pendukungan gerakan ini adalah al-Maududi. Kedua,
golongan yang berpendapat bahwa hubungan antara agama dan negara berjalan
secara simbiotik dan dinamis-dialektis, bukan berhubungan langsung, sehingga
kedua wilayah masih ada jarak dan kontrol masing-masing, sehingga agama dan
negara berjalan berdampingan. Keduanya bertemu untuk kepentingan pemenuhan
kepentingan masing-masing, agama memerlukan lembaga negara untuk melakukan
akselerasi pengembangannya, demikian juga lembaga negara memerlukan agama untuk
membangun negara yang adil dan sesuai dengan spirit ketuhanan. Tokoh Muslim
dunia dalam golongan ini di antaranya adalah Abdullahi Ahmed An-Na'im, Muhammad
Syahrur, Nasr Hamid Abu Zaid, Ketiga,
golongan yang berpendapat bahwa agama dan negara merupakan dua domian yang
berbeda dan tidak ada hubungan sama sekali. Golongan ini memisahkan hubungan
antara agama dan politik negara. Oleh sebab itu, golongan ini menolak
pendasaran negara pada agama atau formalisasi norma-norma agama ke dalam sistem
hukum negara.
Diskursus reposisi agama dan negara yang fundamen
untuk dimasukkan pada bab agama di dalam UUD 1945, dalam catatan sejarah
konsepsi mengenai agama dan negara yang didalamnya termaktub kebebasan beragama
yang tanpa disadari telah di mulai sebelum Indonesia merdeka, yaitu pada tahun
1940, ketika muncul polemik mengenai hubungan antara negara dan agama yang
memperhadapkan dua tokoh pejuang kemerdekaan terkemuka, yakni Soekarno dan
Natsir. Polemik itu di picu oleh artikel Bung Karno yang di muat di majalah
Panji Islam, berjudul "Memudahkan Pengertian Islam". Menurut
Soekarno, demi kebaikan (agama dan negara), maka keduanya harus di pisahkan.
Soekarno menyatakan kekaguman dan dukungannya terhadap
apa yang dilakukan oleh Kemal Attaruk di Turki pada tahun 1928, ketika pemimpin
Turki itu menghapus isi konstitusi yang menjadikan Islam sebagai agama negara
untuk kemudian menjadikan agama sebagai urusan perseorangan. Menurut Soekarno,
penghapusan itu justru dimaksudkan agar Islam menjadi lebih maju dibawah orang
yang menganutnya, bukan di bawah negara, dengan kata lain menyerahkan urusan
agama kepada masing-masing pemeluknya. Oleh sebab itu menanggapi ungkapan
Soekarno, Natsir terang-terangan menyatakan mengikuti pendapat bahwa negara
tidak dapat dipisahkan dari agama sesuai dengan bunyi bahwa jin dan manusia di ciptakan tiada lain kecuali untuk beribadah
sehingga setiap muslim memiliki cita-cita untuk menjadi hamba Allah yang
sepenuhnya untuk mencapai kebahagiaan dunia akherat. Negara memiliki arti
sangat penting bagi Islam, sebab Qur'an dan Sunnah tidak berkaki sendiri untuk
menjaga peraturan-peraturannya agar ditaati sebagaimana mestinya. Berawal dari
Natsir yang mengkritik Kemal Attaturk yang dianggap mencampakkan Islam dari
konstitusi di Turki hanya karena masyarakat yang tidak Islami. Kemdian polemik
tersebut berlanjut hingga di sidang BPUPKI dan PPKI pada waktu itu.
Umat Islam pada umumnya mempercayai watak kholistik
Islam. Dalam persepsi mereka, Islam sebagai instrument ilahiyah untuk
memahami dunia, seringkali dipandang sebagai lebih dari sekedar agama. Beberapa kalangan malah
menyatakan bahwa Islam juga dapat di pandang sebagai agama dan negara. Namun
artikulasinya pada tingkat praksis menjadi persoalan yang problematik, Hal ini
antara lain disebabkan oleh ciri umum sebagian besar ajaran Islam yang
memungkinkan multi intepretasi sesuai dengan situasi yang dihadapinya.
Kemudian masuk ke peristiwa yang paling bersejarah yakni pertemuan pertama PPKI
pada tanggal 18 Agustus 1945.
Pada saat itu suasana kebatinan dan situasi
politik Indonesia berubah secara dramatis, menyusul proklamsi kemerdekaan
Indonesia 17 Agustus 1945. Pada tgl 18 Agustus 1945 PPKI memilih Soekarno dan
Muhammad Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Pada
saat yang sama, PPKI menyetujui naskah Piagam Jakarta sebagai pembukaan UUD
1945, kecuali tujuh kata di belakang sila ketuhanan, 7 kata Piagam Jakarta yang
termaktub dalam Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 "Negara berdasarkan
ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya", yang telah memunculkan kontroversi terpanas dalam
sesi terakhir persidangan BPUPK. Dicoret lantas diganti dengan kata-kata Yang
Maha Esa. Sehingga, selengkapnya menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebagai
konsekuensi dari pencoretan tujuh kata ini, dalam batang tubuh UUD 1945,
disetujui pula Pasal 6 ayat 1 :
"Presiden ialah orang Indonesia asli, tidak ada
tambahan kata-kata yang beragama Islam."
Demikian pula, bunyi Pasal 29 ayat 1 menjadi: negara
berdasar atas ketuhanan yang maha esa, tanpa disertai tujuh kata dibelakangnya.
Gejolak perdebatan antara "golongan kebangsaan" dan golongan
Islam". Berlanjut pada seorang Tan Malaka, dalam kapasitannya sebagai
pemimpin komunis, mempunyai kepedulian yang tinggi untuk merukunkan antara
komunisme dan Islamisme. Pada Konggres Komintrn keempat, November 1922, Tan
Malaka terang-terangan mengecam sikap permusuhan komintrn terhadap
Pan-Islamisme, karena hal itu dipandang sebagai cerminan kekuatan borjuis yang
tidak bisa dipercaya. Dia juga menekankan potensi revolusioner dalam Islam di
daerah-daerah jajahan dan kebutuhan partai-partai komunis untuk bekerja sama
dengan kelompok-kelompok radikal Islam.
Kedua golongan yang berseberangan antara kebangsaan
dan Islam masing-masing di internal golongan tersebut terjadi perdebatan
pandangan. Internal golongan Islam satu pihak menginginkan tidak sepenuhnya
menghendaki penyatuan agama dan negara, demikian juga golongan kebangsaan yang
tidak menginginkan pemisahan sepenuhnya dari urusan negara dengan urusan
negara. Betapapun mereka berbeda pandangan melalui konfrontasi mengenai relasi
agama dan negara, namun tidak ada penolakan terhadap nilai-nilai ketuhanan
dalam persidangan pertama BPUPK karena ketuhanan sebagai fundamen
yang penting bagi negara Indonesia merdeka.
Kendati demikian bahwa ketuhan menjadi fundamen dalam
sebuah negara, perbenturan dua paham terus berlanjut. sulit untuk menemukan
kemungkinan lain dalam melihat hubungan negara dan agama diluar pola penyatuan (fusion)
dan pemisahan (separation). Percobaan untuk mencari
formula alternatif dilakukan secara konseptual. Sebenarnya Soekarno tidak terlalu setuju dengan penyatuan Islam dan Negara dapat dilihat dalam pidatonya pada 1 Juni, ketika menguraikan apa yang disebutnya sebagai Philosofische grondslag, dia tidak mendukung gagasan Islam sebagai dasar negara, tetapi memberi peluang bagi golongan Islam untuk mengorganisasikan diri secara politik yang akan mempengaruhi keputusan-keputusan politik di lembaga perwakilan.
formula alternatif dilakukan secara konseptual. Sebenarnya Soekarno tidak terlalu setuju dengan penyatuan Islam dan Negara dapat dilihat dalam pidatonya pada 1 Juni, ketika menguraikan apa yang disebutnya sebagai Philosofische grondslag, dia tidak mendukung gagasan Islam sebagai dasar negara, tetapi memberi peluang bagi golongan Islam untuk mengorganisasikan diri secara politik yang akan mempengaruhi keputusan-keputusan politik di lembaga perwakilan.
Secara historis-faktual, penerimaan ulama terhadap
eksistensi Pancasila sebagai ideologi negara didasari oleh fakta bahwa warga
negara Indonesia bersifat majemuk, sehingga persatuan dalam keragaman menjadi
lebih utama dalam merebut kemerdekaan. Kegagalan negara-negara Eropa seperti Jerman karena menjadikan
budaya Jerman sebagai kiblat dari semua budaya lainnya yang hidup di Jerman.
Arogansi inilah yang menyebabkan Jerman gagal dalam proses integrasi yang
diterapkan kebijakan Kementerian Dalam Negeri Jerman. Fakta tersebut berbeda
dengan kondisi di Amerika yang sejak awal sudah membangun budayanya berdasarkan
prinsip melting pot atau peleburan dari berbagai budaya masyarakat
lainnya. Oleh sebab itu, menjadikan budaya lokal dan kearifan lokal secara
proporsional dalam kehidupan Indonesia menjadi pilihan tepat. Usaha kompromi
yang telah dilakukan tentunya telah final degan pilihan bahwa Pancasila sebagai
filosofi sekaligus sebagai idiologi negara. Apakah Idiologi pancasila itu
sesungguhnya makna lain kompromi kenegaraan kala itu, dimana warganya sangat
majemuk?. Mungkinkah Idiologi pancasila di racik ulang pasca terpilihnya anggota Parlemen yang baru hasil pemilu legislatif serentak 2019? Wallahu `alam binshawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar