Oleh: Muhammad Syarif, SHI.M.H*
Berbagai upaya dilakukan oleh negera, guna mewujudkan
tata kelola pemerintahan yang baik. Pembentukan Institusi, regulasi serta
pendidikan anti korupsi terus didengungkan. Meskipun tak dapat dipungkiri pembuat
regulasi dan pengendali negeri terkadang masuk “jebakan batman” akibat
prilakunya yang korup.
Untuk itulah sejatinya seluruh stakeholder perlu
melakukan “gerakan anti korupsi”. Gerakan ini harus massif dan terus
digulirkan, sehingga setiap penggunaan uang negara dapat dipertangungjawabkan
secara transparan dan akuntabel.
Sejak Tahun 2013, Pemerintah Kota Banda Aceh melakukan
gebrakan dengan meletakkan pondasi Wilayah Bebas Korupsi (WBK) bagi SKPD. Landasan pijaknya adalah
Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor
60 Tahun 2012. Sejalan dengan itupula Pemko Banda Aceh membentuk Tim Zona
Integritas yang bertugas melakukan penilaian Wilayah Bebas Korupsi pada
SKPD.
Pencangangan Gerakan WBK ini telah dimuali oleh
Pemerintah Kota Banda Aceh sejak Tahun 2013 dalam rangka mewujudkan good governance and clear goverment. Langkah
ini pula di teruskan tradisinya oleh Bapak Aminullah Usman, Wali
Kota Banda Aceh, dengan menandatangani Pencanangan Zona Integritas Wilayah
Bebas Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih Melayani (WBBM) di ruang
sidang Pengadilan Negeri (PN) Kelas I A Banda Aceh, Selasa (12/3/2019).
Selain
Wali Kota, penandatanganan zona integritas wilayah bebas korupsi ini juga
dilakukan Ketua PN Banda Aceh, Suwono, Kapolresta Banda Aceh, Kombes Pol Trisno
Riyanto dan Kajari Banda Aceh, Erwin Desman.
“Saya
pikir ini kerjasama yang baik, langkah strategis dan sangat penting dalam
mewujudkan good governance,” ujar
Aminullah usai menandatangani zona integritas WBK dan WBBM.
Meski
survey penilaian integritas KPK tahun lalu menempatkan Banda Aceh sebagai yang
terbaik di Indonesia dengan nilai 77,39, Wali Kota tidak berpuas diri dan
memandang pencanangan zona integritas WBK dan WBBM oleh Pengadilan Negeri
menjadi sebuah hal yang lebih menguatkan Pemko dalam mewujudkan pemerintah yang
bersih dari korupsi dan juga benar benar mampu menghadirkan layanan publik
dengan baik kepada warga kota.
Tahun
2018, Banda Aceh memperoleh prediket tertinggi survey integritas KPK dengan
nilai 77,39. Apa yang kita lakukan hari ini tentunya lebih menguatkan lagi
komitmen kita dalam menghadirkan pemerintahan bersih bebas dari korupsi,”ungkap
Aminullah.
Lanjutnya,
dalam hal pengelolaan keuangan daerah, Banda Aceh juga telah mencatat prestasi fenomenal
dimana telah berhasil meraih opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) 10 kali
berturut turut dari BPK. “Meskipun telah meraih sejumlah prestasi tersebut,
bukan berarti kita tidak memiliki kekurangan. Momentum hari ini kita manfaatkan
untuk mendapatkan masukan masukan dalam memperbaiki kinerja guna mewujudkan
Banda Aceh Gemilang dalam Bingkai Syariah.
Sementara
itu, Ketua PN Banda Aceh, Suwono mengatakan menyebutkan bahwa pola pikir dan
budaya kerja di lingkungan instansi pemerintah diharapkan bisa berubah sehingga
mampu pemposisikan diri sebagai pelayan masyarakat yang lebih baik.
Untuk
itu, lanjutnya, perlu adanya penataan organisasi dan budaya kerja yang
mendukung. Zona Integritas (ZI) ini merupakan tindak lanjut dari Peraturan
MENPANRB RI Nomor 52 tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan Zona Integritas
menuju Wilayah Bebas Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih Melayani (WBBM)
di lingkungan instansi Pemerintah.
Dalam melakukan penilaian WBK ada 3 aspek penilaian
yaitu indikator mutlak, indikator operasional dan indikator kinerja organisasi.
Masing-masing indikator tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pertama: Indikator mutlak berdasarkan
aspek integritas dalam pengelolaan keuangan, yang dihitung selama 2 tahun
terakhir, dan mengacu pada LHP/LHA dari BPK, BPKP dan APIP. Opini BPK sekurang-kurangnya
WDP, persentase jumlah maksimum kerugian negara (KN) yang belum diselesaikan;
persentase jumlah maksimum temuan ineffektiveness;
persentase jumlah maksimum temuan inefficiency; jumlah maksimum
pegawai yang dijatuhi hukuman disiplin karena penyalahgunaan pengelolaan
keuangan. “Selain itu, tidak ada pegawai yang menjadi tersangka korupsi, dan
tidak ada pegawai yang terlibat kasus suap dan pungutan liar.
Kedua: Indikator operasional, yakni
indikator program pencegahan korupsi (komitmen pimpinan) yang memiliki bobot 40
persen. Di sini terdiri dari penandatanganan dokumen pakta integritas,
kebijakan pimpinan yang tertuang dalam keputusan pimpinan, ketaatan dalam
menyusun renstra, SAKIP/LAKIP, laporan keuangan. Selain itu juga adanya jenis/bentuk
kegiatan pencegahan korupsi yang dilaksanakan, misalnya kode etik, whistle
blower system, program pengendalian gratifikasi, kebijakan anti conflict
of interest, dan program inisiatif anti korupsi.
Ketiga: Indikator kinerja organisasi yang memiliki
bobot 60 persen. Unsur-unsurnya terdiri dari keberhasilan pelaksanaan
tugas dan fungsi, tingkat kepatuhan menyampaikan LHKPN, nilai evaluasi SAKIP,
jumlah pengaduan masyarakat yang dapat diselesaikan dalam waktu setahun, indeks
kepuasan masyarakat (IKM), dan indeks integritas. Ketiga indikator tersebut
nantinya diakumulatif menjadi indikator proses dan hasil sesuai format
penilaian dari Kementrian PAN dan RB.
*Penulis adalah TIM WBK
Banda Aceh Tahun 2013-2015 serta Dosen Hukum Tata Negara UIN Ar-Raniry.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar