Oleh:
Muhammad Syarif, SHI.,M.H*
Panggung
Peringatan Hari Santri Nasional (HSN) sesungguhnya wujud dari pengakuan negara
atas eksistensi kaum kiya (Tokoh Agama) atau sebutan lain dalam memperjuangkan
kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sejarah mencatat para santri telah
mewakafkan hidupnya dalam memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia dari
kolonialisme.
Resolusi
jihad yang dipelopori oleh KH. Hasyim As`ari yang merupakan tokoh pendiri
Nahdatul Ulama (NU), berhasil membangkitkan semangat jihad santri nusantara
dalam mengusir penjajahan Belanda. 22 Oktober 1945 merupakan Ikhtiar dari
gerakan jihad akbar santri. Revolusi ini pula membakar para santri
arek-arek surabaya melawan tentara kolonial Belanda NICA yang dipimpin
oleh AWS. Mallaby dalam peperangan yang besar selama tiga hari berturut (27-29
oktober 1945), yang pada akhirnya Malllaby tewas.
Gerakan
Resolusi jihad ini pula mengilhami dan menyemangati Tentara Nasional Indonesia
bersatu padu dengan para santri guna mengusir penjajahan. Itu artinya TNI dan
Rakyat (baca santri) kala itu menyatu. Saat ini kita tentu tidak menarasikan
nostalgia akan eksistensi peran santri masa lalu dalam ruang hampa. Akan tetapi
menjadikan momentum resolusi jihad sebagai gerakan membangun narasi mimpi besar
santri Aceh.
Dalam
konteks Aceh potensi sumber daya santri sangat besar, lebih kurang 7000 santri
di Aceh teregister pada Dinas Pendidikan Dayah Aceh. Angka ini tentu bukan
hanya kalkulasi dalam ruang hampa. Jika dikapitalisasi dalam makna yang positif
dalam kontek politik, ekonomi, sosial budaya dan pendidikan. Maka kalkulasi ini
menjadi senjata pamungkas guna “meraih kekuasan”.
Akan
tetapi memang harus diakui, kalkulasi santri yang besar belum mampu mewarnai
perubahan pundamental tatanan kehidupan masyarat Aceh yang berjulukan serambi
mekkah. Sejatinya santri Aceh harus memiliki empat prinsip utama dalam
membangun mimpi besarnya, antara lain:
Pertama;
Santri harus memiliki sifat pelopor kebaikan (saafiqul khair). Dimanapun ia berada, santri
harus menjadi pemantik pelopor kebaikan. Tuturkata, tindakan dan karakter
sebagai pendakwah harus benar-benar dijalankan dengan baik. Semangat berbuat
kebajikan harus dominan. Kurangi dosis saling mengklaim kebenaran apalagi
menganggap diri paling benar dan hebat.
Kedua:
Santri harus berperan sebagai penerus ulama (naasibul
`ulama). Santri merupakan kader para ulama masa depan Aceh. Dengan
kapasitas keilmuannya harus mewarnai seluruh sendi kehidupan bernegara.
Disinilah butuh standarisasi dan pengakuan akan ijazah alumni dayah. Tidak
mungkin kompetensi santri diakui jika ijazah yang dikeluarkan oleh Dayah
sebagai lembaga yang mencetak kader ulama belum memiliki legal standing. Oleh
karenanya Dinas teknis dalam hal ini Dinas Pendidikan Dayah mendorong agar
dayah menerapkan kurikulum/silabus yang telah disusun oleh para Pimpinan Dayah
yang kini menjadi konsensus bersama. Sayangnya dokumen itu hanya menjadi kitab
yang tersusun rapi pada arsip dan lemari yang terpajang pada Dinas Pendidikan
Dayah Aceh dan Dinas Pendidikan Dayah Kabupaten/Kota.
Ketiga:
Santri harus benar-benar meninggalkan kemaksiatan. Dimana dengan kapasistas
ilmu yang diterimanya selama modok atau bermukim di dayah/pondok pesantren,
harus mampu menjadi insan yang tawadhuk, santun dan berbudi luhur. Santri harus
benar-benar menjadi pendakwah yang baik.
Keempat:
Setiap tindakan yang dilakukannnya harus mendapat ridha Allah. Apabila
keridhaan Ilahi telah diperolehnya maka akan ada keberkahan dalam segenap
aktifitasnya.
Santri
Aceh wajib miliki mimpi besar
Meraih
mimpi besar itu, tentu bukanlah sesuatu yang mustahil. Jika ada keinginan, maka
tentu ada jalannya. Untuk itulah butuh sinergisitas lintas stakeholders. Landasan
idiologis yang tertanam pada santri aceh harus benar-benar dimamfaatkan dengan
baik. Jangan adalagi diksi agama dan politik dibenturkan, karena itu warisan
kolonial. Kaum santri wajib terjun dalam bidang politik tentu harus disiapkan
amunisi yang matang. Jangan apriori dengan politik, karena merebut kekuasaan
dalam iklim demokrasi lewat instrumen politik.
Gagasan
melakukan konsolidasi kebatinan antara santri atau alumni santri dayah se-Aceh
harus diinisiasi oleh Ikatan Sarjana Alumni Dayah Aceh (DPP ISAD-Aceh) yang
menjadi organisasi pemikir kedepan. DPP ISAD Aceh harus menjadi organisasi soft skill yang mampu
mendorong berbagai kebijakan pemerintah Aceh dan Kabupaten/Kota guna
peningkatan sumber daya manusia yang berbasis religius. Apalagi personil ISAD
Aceh yang baru-baru dilantik oleh Kepala Dinas Pendidikan Dayah Aceh diisi oleh
orang-orang yang profesional dibidangnya. ISAD adalah organisasi paling tepat
dalam mendorong cara berpikir santri menuju post
modern.
Tidak
boleh ada lagi anggapan politik itu kotor, diksi yang dibangun kedepan oleh
santri atau Alumni santri Dayah “wajib kuasai semua lini” diantaranya;
birokrat, pengusaha, politikus, banker, cendikiawan, TNI/Polri. Kekuasaan itu
harus diraih tentu sesuai mekanisme konstitusi. Karenanya santri Aceh tidak
boleh lagi merasa paling hebat, akan tetapi harus terbuka dan elegan dalam
menerima perubahan untuk kemajuan.
Pendalaman
kitab kuning harus benar-benar menjadi tradisi santri dalam setiap halaqahnya.
Debat ilmiah dan menulis gagasannya harus benar-benar menjadi vitamin baru bagi
santri zaman now, jika tidak, kita cendrung menjadi lebih hebat dari orang
lain. Santri juga harus diasah ketrampilan menulis. Tentu proses kearah itu
butuh komitmen bersama antara Disdik Dayah dan Pimpinan Dayah agar tidak
terjadi benturan. Jangan lagi menganggap. Santri itu hanya belajar ilmu agama an sich. Santri juga harus
memiliki berbagai ketrampilan sesuai telentanya dan kebutuhan zaman.
Ketrampilan
yang dimilik santri sesuai bakat yang ada,nantinya menjadi modal besar dalam
membangun peradaban Aceh yang bermartabat. Krue semangat. Selamat memperingati
Haris Santri Nasional ke-4. Jayalah santri, jayalah Indonesia.
*Penulis adalah Kabid SDM dan Manajemen Dinas
Pendidikan Dayah Kota Banda Aceh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar