Oleh Bung
Syarif
Dalam rangka
mewujudkan Kota Banda Aceh yang bersih indah dan nyaman, Dinas Kebersihan dan
Keindahan Kota terus berupaya meningkatkan tingkat dan cakupan pelayanan
sehingga pelayanan kebersihan dapat dinikmati oleh seluruh warga Kota Banda
Aceh tanpa ada kecuali.
Seiring dengan pesatnya pertumbuhan ekonomi dan bertambahnya jumlah penduduk, mengharuskan Pemerintah untuk terus menaikkan anggaran pengelolaan sampah setiap tahunnya. Disisi lain, Pemerintah Kota Banda Aceh memiliki keterbatasan anggaran untuk mampu membiaya biaya pengeloaan sampah yang terus naik tersebut. Untuk itu perlu dipikirkan langkah-langkah strategis dalam rangka menyeimbangkan anata pengeluaran dengan pemasukan.
Anggaran yang cukup berat ini dapat ditanggung bersama oleh Pemerintah Kota dan masyarakat. Masyarakat dapat memberikan kontribusi dengan membayar retribusi. Kewajiban masyarakat membayar retribusi sendiri sudah diatur dalam Qanun Kota Banda Aceh Nomor 13 Tahun 2007 tentang Retribusi Pelayanan Persampahan.
Tujuan Penerapan Qanun Nomor 13 Tahun 2007, agar masyarakat mau membayar retribusi kepada Pemerintah Kota Banda Aceh sebagai bentuk konpensasi atas pelayanan pengelolaan sampah yang telah diberikan Pemerintah Kota Banda Aceh melalui Dinas Kebersihan dan Keindahan Kota.
Selama ini kesadaran masyarakat dalam membayar retribusi sudah mulai ada, terbukti di tahun 2008 tidak kurang dari Rp. 1,1 milyar uang retribusi telah berhasil dikumpulkan dari masyarakat. Namun jumlah ini masih jauh dari harapan karena biaya yang dikeluarkan Pemerintah Kota Banda Aceh setiap tahunnya 16 kali lipat dari penerimaan retribusi (lebih dari Rp. 17,6 milliar) untuk membiayai pengelolaan sampah di Kota Banda Aceh. Untuk itulah di butuhkan strategi yang jitu dalam mengelola retribusi sampah sehingga menjadi Potensi Pendapatan Asli Daerah.
Berdasarkan data jumlah rumah yang dihimpun dari Kecamatan di seluruh Kota Banda Aceh, diketahui bahwa terdapat potensi wajib retribusi di sektor rumah tangga sebesar 45.166 objek. Bila diasumsikan coverage ratio sebesar 90% (10% terdiri dari warga rumah tangga miskin/kurang mampu), maka jumlah wajib retribusi rumah tangga sebesar 40.649 objek. Dengan asumsi pula bahwa setiap rumah tangga membayar rata-rata Rp.7.500/rumah/bulan (tarif minimum untuk rumah tangga sesuai yang tertera dalam Qanun Nomor. 13 Tahun 2007), dengan collection ratio 80% (asumsi 20% masyarakat yang mampu menolak untuk membayar retribusi karena merasa tidak dilayani langsung), maka potensi penerimaan mencapai Rp. 2.926.728.000,-/tahun.
Bila diterapkan pola kerjasama antara Pemerintah Kota dengan Gampong dengan hisbag Bagi Hasil 70:30 (70% untuk PAD dan 30% untuk upah pungut dan kas Gampong), maka potensi PAD yang bisa diperoleh sebesar Rp. 2.048.709.600,-. Angka ini tentunya akan lebih besar bila di sektor rumah tangga diambil tarif yang lebih moderat (range tarif untuk rumah tangga ditetapkan dalam qanun antara Rp. 7.500 s/d Rp. 15.000/rumah/bulan).
Lain halnya dengan Sektor Komersial. Berdasarkan data potensi retribusi sektor komersial/institusi diketahui bahwa jumlah objek retribusi yang aktif adalah 6.637 objek dengan potensi retribusi mencapai Rp. 2.491.440.000,-. Bila diasumsikan coverage ratio 90% dengan adanya penambahan jumlah petugas di lapangan, serta collection ratio 85% (10% lebih tinggi dari tahun 2008, dengan asumsi sanksi hukum/sosial/administrastif memberikan kontribusi kenaikan 10%), maka potensi penerimaan PAD mencapai Rp. 1,905.951.600,-
Angka diatas diperoleh berdasarkan data potensi yang aktif di tahun 2008, sedangkan kondisi ini banyak berubah di tahun 2010. Secara kasar, bila kita memperhitung semua objek yang terdata di tahun 2008 sudah aktif semua, maka potensi yang ada di sektor komersial sebesar Rp. 3.159.120.000,-. Dengan asumsi yang sama maka potensi PAD yang bisa diperoleh sebesar Rp. 2.416.726.800,-.
Melihat angka diatas, potensi yang ada dari kedua sektor ini ternyata tidak mencapai Rp, 5 milliar, tetapi hanya Rp. 4.465.435.400,-/tahun. Data tahun 2008 ini berpotensi sekali untuk berubah seiring dengan pesatnya laju pembangunan di kota Banda Aceh, oleh karena itu pendataan ulang dan update data menjadi sangat penting karena kalau tidak dilakukan kemungkinan besar banyak sekali objek retribusi yang luput dari pendataan sehingga tidak tertagih.
Untuk mencapai target Rp. 5 milliar di tahun 2012, maka setiap 2 tahun sekali perlu dilakukan pendataan ulang secara menyeluruh dan setiap tahun bisa dilakukan secara parsial. Penerimaan di tahun 2008 sebesar Rp. 1.109.267.500,-, 90% berasal dari sektor komersial/institusi sedangkan sektor rumah tangga hanya memberikan kontribusi sebesar 10% yang bersumber dari 9 desa pilot proyek retribusi. Selama Januari s/d Juli 2009 baru ada tambahan satu desa yang menandatangani MoU kerjasama dengan Dinas Kebersihan dan Keindahan Kota yaitu Desa Ceurih dan sudah melakukan setoran pertama di bulan Juni.
Dengan demikian hingga saat ini sudah ada 10 desa pilot proyek, akan tetapi 2 dari 10 desa tersebut sudah tidak lagi menyetor retribusi, yaitu Desa Lambhuk dan Kelurahan Ateuk Pahlawan.
Saat ini sedang digarap untuk melakukan kerjasama dengan 4 desa di sepanjang zona 2 saluran (Gp Pande, Punge Jurong, Merduati dan Lampaseh Kota), 3 desa di pilot proyek Bandaraya (Geuceu Komplek, Geuceu Ineum dan Geuceu Kayee Jathoi), serta desa Peulanggahan dan Keudah. Kondisi ini sangat berpeluang karena adanya dukungan tambahan armada berupa 18 unit becak motor bantuan Muslim Aid.
Di sektor komersial/institusi potensi yang ada mencapai 6.589 objek, namun coverage ratio-nya hanya 45,53% (2008), terbukti dengan hanya mampu dikeluarkan SKR sebanyak 3.000 lembar. Dari 3.000 SKR yang dikeluarkan tersebut hanya 2.263 wajib retribusi yang membayar (collection ratio 75,4%), artinya ada 737 wajib retribusi yang tidak membayar. Melihat Potensi PAD dari Sumber Retribusi Sampah cukup siknifikan, maka sudah sepantasnya Dinas Kebersihan dan Keindahan Banda Aceh memikirkan salah satu pola yang jitu dalam mengelola Manajemen Retibusi Sampah antara lain menjalin kerjasama dengan Gampong dalam upaya memaksimalkan Retibusi Sampah dengan Skim Bagi Hasil Pungutan atau menjalin kerjasama dengan BUMN/BUMD dengan Pola Pencantelan pada Rekening Listrik atau Rekening PDAM. Pola ini sudah dijalankan oleh Kota Bandung dan Malang, bagaimana dengan Banda Aceh?
Seiring dengan pesatnya pertumbuhan ekonomi dan bertambahnya jumlah penduduk, mengharuskan Pemerintah untuk terus menaikkan anggaran pengelolaan sampah setiap tahunnya. Disisi lain, Pemerintah Kota Banda Aceh memiliki keterbatasan anggaran untuk mampu membiaya biaya pengeloaan sampah yang terus naik tersebut. Untuk itu perlu dipikirkan langkah-langkah strategis dalam rangka menyeimbangkan anata pengeluaran dengan pemasukan.
Anggaran yang cukup berat ini dapat ditanggung bersama oleh Pemerintah Kota dan masyarakat. Masyarakat dapat memberikan kontribusi dengan membayar retribusi. Kewajiban masyarakat membayar retribusi sendiri sudah diatur dalam Qanun Kota Banda Aceh Nomor 13 Tahun 2007 tentang Retribusi Pelayanan Persampahan.
Tujuan Penerapan Qanun Nomor 13 Tahun 2007, agar masyarakat mau membayar retribusi kepada Pemerintah Kota Banda Aceh sebagai bentuk konpensasi atas pelayanan pengelolaan sampah yang telah diberikan Pemerintah Kota Banda Aceh melalui Dinas Kebersihan dan Keindahan Kota.
Selama ini kesadaran masyarakat dalam membayar retribusi sudah mulai ada, terbukti di tahun 2008 tidak kurang dari Rp. 1,1 milyar uang retribusi telah berhasil dikumpulkan dari masyarakat. Namun jumlah ini masih jauh dari harapan karena biaya yang dikeluarkan Pemerintah Kota Banda Aceh setiap tahunnya 16 kali lipat dari penerimaan retribusi (lebih dari Rp. 17,6 milliar) untuk membiayai pengelolaan sampah di Kota Banda Aceh. Untuk itulah di butuhkan strategi yang jitu dalam mengelola retribusi sampah sehingga menjadi Potensi Pendapatan Asli Daerah.
Berdasarkan data jumlah rumah yang dihimpun dari Kecamatan di seluruh Kota Banda Aceh, diketahui bahwa terdapat potensi wajib retribusi di sektor rumah tangga sebesar 45.166 objek. Bila diasumsikan coverage ratio sebesar 90% (10% terdiri dari warga rumah tangga miskin/kurang mampu), maka jumlah wajib retribusi rumah tangga sebesar 40.649 objek. Dengan asumsi pula bahwa setiap rumah tangga membayar rata-rata Rp.7.500/rumah/bulan (tarif minimum untuk rumah tangga sesuai yang tertera dalam Qanun Nomor. 13 Tahun 2007), dengan collection ratio 80% (asumsi 20% masyarakat yang mampu menolak untuk membayar retribusi karena merasa tidak dilayani langsung), maka potensi penerimaan mencapai Rp. 2.926.728.000,-/tahun.
Bila diterapkan pola kerjasama antara Pemerintah Kota dengan Gampong dengan hisbag Bagi Hasil 70:30 (70% untuk PAD dan 30% untuk upah pungut dan kas Gampong), maka potensi PAD yang bisa diperoleh sebesar Rp. 2.048.709.600,-. Angka ini tentunya akan lebih besar bila di sektor rumah tangga diambil tarif yang lebih moderat (range tarif untuk rumah tangga ditetapkan dalam qanun antara Rp. 7.500 s/d Rp. 15.000/rumah/bulan).
Lain halnya dengan Sektor Komersial. Berdasarkan data potensi retribusi sektor komersial/institusi diketahui bahwa jumlah objek retribusi yang aktif adalah 6.637 objek dengan potensi retribusi mencapai Rp. 2.491.440.000,-. Bila diasumsikan coverage ratio 90% dengan adanya penambahan jumlah petugas di lapangan, serta collection ratio 85% (10% lebih tinggi dari tahun 2008, dengan asumsi sanksi hukum/sosial/administrastif memberikan kontribusi kenaikan 10%), maka potensi penerimaan PAD mencapai Rp. 1,905.951.600,-
Angka diatas diperoleh berdasarkan data potensi yang aktif di tahun 2008, sedangkan kondisi ini banyak berubah di tahun 2010. Secara kasar, bila kita memperhitung semua objek yang terdata di tahun 2008 sudah aktif semua, maka potensi yang ada di sektor komersial sebesar Rp. 3.159.120.000,-. Dengan asumsi yang sama maka potensi PAD yang bisa diperoleh sebesar Rp. 2.416.726.800,-.
Melihat angka diatas, potensi yang ada dari kedua sektor ini ternyata tidak mencapai Rp, 5 milliar, tetapi hanya Rp. 4.465.435.400,-/tahun. Data tahun 2008 ini berpotensi sekali untuk berubah seiring dengan pesatnya laju pembangunan di kota Banda Aceh, oleh karena itu pendataan ulang dan update data menjadi sangat penting karena kalau tidak dilakukan kemungkinan besar banyak sekali objek retribusi yang luput dari pendataan sehingga tidak tertagih.
Untuk mencapai target Rp. 5 milliar di tahun 2012, maka setiap 2 tahun sekali perlu dilakukan pendataan ulang secara menyeluruh dan setiap tahun bisa dilakukan secara parsial. Penerimaan di tahun 2008 sebesar Rp. 1.109.267.500,-, 90% berasal dari sektor komersial/institusi sedangkan sektor rumah tangga hanya memberikan kontribusi sebesar 10% yang bersumber dari 9 desa pilot proyek retribusi. Selama Januari s/d Juli 2009 baru ada tambahan satu desa yang menandatangani MoU kerjasama dengan Dinas Kebersihan dan Keindahan Kota yaitu Desa Ceurih dan sudah melakukan setoran pertama di bulan Juni.
Dengan demikian hingga saat ini sudah ada 10 desa pilot proyek, akan tetapi 2 dari 10 desa tersebut sudah tidak lagi menyetor retribusi, yaitu Desa Lambhuk dan Kelurahan Ateuk Pahlawan.
Saat ini sedang digarap untuk melakukan kerjasama dengan 4 desa di sepanjang zona 2 saluran (Gp Pande, Punge Jurong, Merduati dan Lampaseh Kota), 3 desa di pilot proyek Bandaraya (Geuceu Komplek, Geuceu Ineum dan Geuceu Kayee Jathoi), serta desa Peulanggahan dan Keudah. Kondisi ini sangat berpeluang karena adanya dukungan tambahan armada berupa 18 unit becak motor bantuan Muslim Aid.
Di sektor komersial/institusi potensi yang ada mencapai 6.589 objek, namun coverage ratio-nya hanya 45,53% (2008), terbukti dengan hanya mampu dikeluarkan SKR sebanyak 3.000 lembar. Dari 3.000 SKR yang dikeluarkan tersebut hanya 2.263 wajib retribusi yang membayar (collection ratio 75,4%), artinya ada 737 wajib retribusi yang tidak membayar. Melihat Potensi PAD dari Sumber Retribusi Sampah cukup siknifikan, maka sudah sepantasnya Dinas Kebersihan dan Keindahan Banda Aceh memikirkan salah satu pola yang jitu dalam mengelola Manajemen Retibusi Sampah antara lain menjalin kerjasama dengan Gampong dalam upaya memaksimalkan Retibusi Sampah dengan Skim Bagi Hasil Pungutan atau menjalin kerjasama dengan BUMN/BUMD dengan Pola Pencantelan pada Rekening Listrik atau Rekening PDAM. Pola ini sudah dijalankan oleh Kota Bandung dan Malang, bagaimana dengan Banda Aceh?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar