2 Feb 2013

Prinsip Hukum Waris Adat


Oleh  Muhammad Syarif, S.HI,M.H*


Menurut hukum kewarisan islam ( hukum faraidh ), pengertian hukum waris menurut istilah bahasa ialah takdir ( qadar / ketentuan, dan pada sya’ra adalah bagian-bagian yang diqadarkan / ditentukan bagi waris. Dengan demikian faraidh adalah khusus mengenai bagian ahli waris yang telah ditentukan besar kecilnya oleh sya’ra Kemudian ditinjau dari Hukum Adat, pengertian hukum waris adalah : “Aturan-aturan yang mengenai cara bagaimana dari abad ke abad penerusan dan peralihan dari harta kekayaan yang berwujud  dan tidak berwujud dari generasi pada generasi.
Menurut Supomo Hukum Adat Waris menurut peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoper barang-barang yang tidak berwujud benda (IMMATERIELE GOEDEREN) dari suatu angkatan manusia ( generasi ) kepada turunannya.
Sedangkan Kitab Undang-undang hukum perdata ( BW ) juga memberikan batasan tentang pengertian dan defenisi hukum waris sebagai suatu pedoman, adapun pengertian tersebut, adalah seperti terurai dibawah ini. Menurut Pasal 830 BW. “ Pewarisan hanya berlangsung karena kematian “. Pasal 832 BW mengatakan : “ Menurut Undang-undang yang berhak untuk menjadi ahli waris ialah, para keluarga sedarah baik syah maupun luar kawin dan si suami atua isteri yang hidup terlama, semua menurut peraturan tertera dibawah ini, dalam hal bilamana baik keluarga sedarah maupun yang hidup terlama diantara suami isteri tidak ada, maka segala harta peninggal si yang meninggal menjadi milik negara yang mana wajib melunasi segala utangnya , sekedar harga harta peninggalan mencukupi untuk itu .

 

Hukum Waris  di Indonesia

Hukum warisan di Indonesia sejak dahulu sampai saat ini masih beraneka
ragam bentuknya, masing-masing golongan penduduk tunduk kepada aturan-aturan hukum yang berlaku kepadanya sesuai dengan ketentuan Pasal 163 IS Yo. Pasal 131 IS.
Golongan penduduk tersebut terdiri dari :
-          Golongan Eropa dan yang dipersamakan dengan mereka
-          Golongan Timur Asing Tionghoa dan Non Tionghoa
-          Golongan Bumi Putera.
Berdasarkan peraturan Perundang-undangan R. I. UU No. 62 / 1958 dan Keppers No. 240 / 1957 pembagian golongan penduduk seperti diatas telah dihapuskan tentang hukum waris ini dapat dilihat di dalam Hukum Kewarisam Islam, Hukum Adat dan Kitan Undang-Undang Hukum Perdata ( BW ).
Ketiga sistem hukum ini memiliki karakteristik dan ciri khas masing-masing mengakibatkan terjadinya perbedaan antara yang satu dengan lainnya. Namun demikian apabila berbicara persoalan hukum waris, maka tidak terlepas dari 3 ( tiga ) unsur pokok yaitu ; adanya harta peninggalan atau kekayaan pewaris yang disebut warisan, adanya pewaris yaitu orang yang menguasai atas memiliki harta warisan dan adanya ahli waris yaitu orang yang menerima pengalihan atau penerusan atau pembagian harta warisan .
Dalam bidang hukum waris ada, adanya pluralisme pada umumnya disebabkan oleh adanya pengaruh dari susunan kekeluargaan/ kekerabatan yang dianut di Indonesia. Adapun susunan tersebut antara lain :
-          Pertalian keteurunan menurut garis laki-laki ( Patrilineal )
Contoh : Umpamanya : Batak , Bali , Ambon
-          Pertalian keturuman menrut garis perempuan ( matrilineal )
Contoh : Minangkabau, Kerinci ( Jambi ), Semendo- ( Sumetera Selatan )
-          Pertalian keturunan menurut garis Ibu dan bapak ( Parental / Bilateral )
Misalnya : Melayu, Bugis, Jawa, Kalimantan ( Dayak ) , dll.

Disamping itu, dalam hal sistem pewarisanyapun bermacam-bermacam pula, yakni terbagi atas 3 ( tiga ) bagian yaitu :
  1. Sistem Pewarisan Individual
Misalnya : Pada susunan kekeluargaan bilateral ( jawa ) dan susunan
kekeluargaan patrilineal ( Batak )
2.  Sistem Pewarisan Kolektif
Misalnya : Harta pusaka tinggi di Minangkabau, Tanag dati di Ambaon.
3.  Sistem Pewarisan Mayorat
Misalnya : di Bali , Lampung, dan lain-lain

Harta Warisan dan Masa Pembahagiannya

Di dalam hukum adat pengertian warisan adalah soal apakah dan bagaimanakah berbagai hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.[1]
Dalam hukum ada pengertian warisan memperlihatkan adanya tiga unsur yang masing-masing merupakan unsur yang esensial, yaitu:
1.      Seorang peninggal warisan yang pada wafatnya meninggalkan harta warisan.
2.      Seorang atau beberapa orang ahli waris yang berhak menerima kekayaan yang ditinggalkan itu.
3.      Harta warisan, yaitu ujud kekayaan yang ditinggalkan dan sekali beralih kepada ahli waris.
ad. 1. Seorang peninggal warisan, akan menimbulkan persoalan bagaimana dan sampai dimana hubungannya dengan kekayaan itu dipengaruhi oleh sifat lingkungan kekeluargaan, di mana si peninggal warisan berada.
ad. 2. Seorang atau beberapa orang ahli waris, akan menimbulkan persoalan bagaimana dan sampai di mana hubungan tali kekeluargannya dengan si peninggal warisan sehingga kekayaan tersebut dapat beralih kepada ahli waris.
ad. 3. Pada harta warisan akan menimbulkan masalah bagaimana dan sampai di mana wujud kekayaan yang beralih itu dipengaruhi oleh sifat lingkungan kekeluargaan di mana si peninggal warisan dan ahli waris berada.[2]
Di samping tiga unsur tersebut di atas, hukum warisan adat sangat berhubungan erat dengan sifat kekeluargaan serta pengaruhnya terhadap kekayaan dalam suatu masyarakat. Dari sifat kekeluargaan akan menentukan batas-batas yang berada dalam tiga unsur penting tersebut di atas.
Masyarakat Indonesia dalam garis besarnya dibagi dalam tiga macam sifat kekeluargaan, yaitu:
1.      Sifat kebapakan
2.      Sifat keibuan dan
3.      Sifat keibu bapaan.[3]
Hukum adat waris sangat dipengaruhi oleh prinsip garis keturunan yang tersebut di atas, terutama dalam penetapan ahli waris, maupun bahagian harta peninggalan.
Di Indonesia dikenal tiga sistim kewarisan, yaitu:
1.      Kewarisan individual, yang merupakan sistim kewarisan di mana para ahli waris mewarisi secara perorangan, misalnya di Batak, Jawa, Sulawesi dan lain-lain.
2.      Kewarisan kolektif, dimana para ahli waris secara bersama-sama mewarisi harta peninggalan yang tidak dapat dibagi-bagi kepada ahli waris, terdapat di Minangkabau.
3.      Kewarisan Mayorat:
a.      Mayorat laki-laki, yaitu apabila anak laki-laki tertua pada saat pewaris meninggal atau keturunannya laki-laki merupakan ahli waris tunggal, seperti di Lampung.
b.      Mayorat perempuan, yaitu anak perempuan tertua pada saat pewaris meninggal adalah ahli waris tunggal, misalnya terdapat pada masyarakat di Tanah Semendo (Sumatera Selatan).[4]

Ahli Waris dan Penggantian Tempat Waris

Pada umumnya yang menjadi ahli waris adalah para warga yang paling dekat hubungannya dengan si pewaris. Anak-anak dari yang meninggal merupakan ahli waris yang utama.
Dalam masyarakat yang sistim kekeluargaannya bilateral, anak laki-laki dan perempuan merupakan ahli waris dari orang tuanya yang meninggal. Di dalam masyarakat yang susunan kekeluargaannya bersifat unilateral anak-anak dari yang meninggal terkadang tidak menjadi ahli waris.[5]
Di Minangkabau (Sumatera Barat) dengan sifat kekeluargaannya yang matrilineal, jika yang wafat suami, maka anak-anaknya tidak merupakan ahli waris, sebab anak-anak itu berada dalam clan ibunya, sedang ayahnya masih tetap tinggal dalam clannya sendiri. Ahli warisnya adalah saudara-saudara kandungnya.
Di Bali dengan sifat kekeluargaan kebapaan yang menjadi ahli waris hanya anak laki-laki yang tertua saja, dengan kewajiban membiayai adik-adiknya dan mengawinkan mereka. Di Batak dan Lampung, anak perempuan yang sudah kawin secara jujuran, karena ia sudah terlepas dari keluarga ayahnya, maka ia tidak mendapat warisan dari ayahnya. Demikian pula halnya di Gayo, jika anak perempuan itu dikawinkan secara “Juwelen” (jujuran) tidak merupakan ahli waris lagi dari ayahnya, akan tetapi bila anak perempuan itu dikawinkan secara “Angkap”, anak perempuan itu tetap dalam lingkungan keluarga orang tuanya, maka anak perempuan itu menerima warisan bersama-sama dengan ahli waris lainnya.[6]
Menurut hukum adat warisan di Jawa, anak yang lahir di luar perkawinan hanya menjadi waris di dalam harta peninggalan ibunya maupun di dalam harta peninggalan kerabat dari pihak ibu. Karena anak yang demikian dianggap tidak mempunyai bapak dan oleh karenanya tidak memiliki hubungan kekeluargaan pihak bapak.[7]
Anak angkat di Jawa merupakan ahli waris dari orang tua angkatnya, dengan syarat bahwa harta itu bukan berasal dari warisan yang diterima dari orang lain. Di Aceh karena pada umumnya hukum adat mengenai warisan sama dengan hukum Islam, maka anak angkat tidak menjadi ahli waris.[8]
Mengenai anak tiri, tidak mewarisi dari ibu atau dari ayah tirinya, tetapi akan mendapat sebahagian dari harta ibu kandungnya. Seorang janda atau duda yang akan menjadi ahli waris sangat tergantung pada sistem kekerabatan dari masyarakat yang bersangkutan dan bentuk perkawinan yang dilakukan yaitu:
1.      Pada masyarakat patrilinial
2.      Pada masyarakat matrilinial
3.      Pada masyarakat parental
Ahli waris lain baru berhak menerima harta peninggalan, jika yang meninggal tidak mempunyai anak. Apabila seorang anak lebih dahulu meninggal dunia dari si peninggal warisan dan anak tersebut meninggalkan anak-anak, maka cucu dari si peninggal warisan itu menggantikan orang tuanya.
Apabila peninggal warisan tidak meninggalkan anak atau cucu dan keturunannya, orang tuanya berhak menerima warisan bersama jandanya jika ada. Apabila orang tua itu telah wafat lebih dahulu, maka harta warisannya jatuh kepada saudara-saudaranya sekandung.
Penggantian dapat juga terjadi jika saudara itu meninggal lebih dahulu daripada si pewaris, maka ia diganti oleh anak-anaknya. Apabila anak saudara itu juga sudah meninggal, maka ia diganti oleh anaknya pula dan demikian seterusnya.[9]
Ini hanya berlaku di Jawa, sedang di Aceh karena hukum adatnya mengenai warisan adalah hukum Islam, maka orang tua tetap menjadi ahli waris meskipun pewaris meninggalkan anak, hanya saja bahagian orang tua sedikit, yaitu seperenam.

Cara Pembahagian Harta Warisan

Menurut Wirjono Prodjodikoro, dalam pembahagian harta warisan hukum adat melihat pada wujud barang-barang yang ditinggalkan oleh si pewaris, maka pembahagian harta warisan biasanya merupakan penyerahan barang warisan tertentu kepada seorang ahli waris tertentu pula, seperti sebidang tanah atau sawah diserahkan kepada ahli waris “A” dan sebidang pekarangan atau rumah diberikan kepada ahli waris “B”, keris diserahkan kepada ahli waris “C” (biasanya seorang laki-laki), dan subang atau kalung diserahkan kepada ahli waris si “D” (biasanya seorang perempuan).[10]
Jika terjadi perselisihan, pihak yang tidak puas menggugat ke pengadilan. Hakim harus mengusahakan memperdamaikan terlebih dahulu. Hakim harus mengusahakan memperdamaikan terlebih dahulu, apabila tidak tercapai perdamaian, maka hakim harus mengambil keputusan menurut hukum yang berlaku di daerah itu.[11]
Dari keterangan di atas dapat diambil beberapa kesimpulan tentang cara pembahagian harta warisan menurut hukum adat, antara lain:
1.      Tidak adanya suatu ketentuan bahagian ahli waris dalam menerima harta pusaka, melainkan menetapkan dasar persamaan hak bagi setiap para ahli waris.
2.      Proses pembahagian harta warisan sangat memperhatikan keadaan-keadaan para ahli waris.
3.      Tidak ada ketentuan agar harta pusaka tersebut harus segera dibagi-bagi terhadap ahli waris, tetapi dapat ditunda, kecuali ada di antara para ahli waris minta supaya dibagi.



Kesimpulan
1.      Menurut hukum adat, harta peninggalan tidak semuanya dapat dibagi-bagi, kemungkinan ada harta tersebut karena sifatnya tidak dapat dibagi atau pembahagiannya ditangguhkan untuk sementara.
2.      Umumnya yang menjadi ahli waris adalah para warga yang paling dekat hubungannya dengan si pewaris. Anak-anak dari yang meninggal merupakan ahli waris yang utama. Dalam masyarakat yang sistim kekeluargaannya bilateral, anak laki-laki dan perempuan merupakan ahli waris dari orang tuanya yang meninggal. Di dalam masyarakat yang susunan kekeluargaannya bersifat unilateral anak-anak dari yang meninggal terkadang tidak menjadi ahli waris.
3.      Cara pembahagian harta warisan menurut hukum adat, antara lain: Tidak adanya suatu ketentuan bahagian ahli waris dalam menerima harta pusaka, melainkan menetapkan dasar persamaan hak bagi setiap para ahli waris. Proses pembahagian harta warisan sangat memperhatikan keadaan-keadaan para ahli waris serta tidak ada ketentuan agar harta pusaka tersebut harus segera dibagi-bagi terhadap ahli waris, tetapi dapat ditunda, kecuali ada di antara para ahli waris minta supaya dibagi.

* Penulis Adalah Direktur Aceh Research Institute (ARI)


[1] R. Wijono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, Cet. VI, Sumur Bandung, 1990, hal. 8
[2] Ibid., hal. 9
[3] H. Ismuha (haji Ismail Muhammad Syah), Penggantian Tempat Dalam Hukum Waris Menurut KUH Perdata, Hukum Adat dan Hukum Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1998, hal. 35.
[4] Soejono Soekanto dan B.Taneko, Hukum Adat Indonesia, Rajawali, Jakarta, 1998, hal. 185-186
[5] R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, Cet. VI, Sumur Bandung, 1990, hal. 8
[6] Ibid., hal. 39
[7] Ibid., 72
[8] Ibid., 41
[9] Ibid, hal. 42
[10] Ibid, hal. 45
[11] Ter Haar , Bzn, B. MR, Asas-Asas Dan Susunan Hukum Adat, terjemahan Soebakti Poesponoto, K. Ng, Pradnya Paramita, Jakarta, 1990.

Tidak ada komentar: