31 Des 2017

Meurah Pupok, Putra Mahkota Yang Gagal Naik Tahta



Top of Form
Bottom of Form
Mer

Makam Meurah Pupok
Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam adalah seorang pribadi yang kuat dalam arti yang sebenarnya secara fisik dan mental. Seorang bangsawan yang cerdas serta tegas. Negarawan yang agung dan adil sekaligus politisi dan diplomat yang ulung. Ia adalah Sultan terbesar Aceh yang mampu membawa Aceh Darussalam mencapai kejayaan dan menjadi kerajaan yang disegani.


Keperkasaannya tidak saja diwujudkan dalam menaklukkan musuhnya, tetapi mampu menaklukkan dirinya sendiri ketika harus mengeksekusi  putra mahkotanya sendiri karena suatu kesalahan. Terlebih lagi ia telah dipersiapkan menjadi putra mahkota.
Dalam kurun hampir 30 tahun masa pemerintahannya, Sultan Iskandar Muda telah berhasil menyempurnakan Qanunul Asyi Ahlussunah Wal jamaah yang terdiri dari 500 ayat Al-Quranul Karim, 500 Hadis Rasulullah, Ijma’ Sahabat rasulullah, Qiyas Ulama Ahlussunnah Wal Jamaah. Kemudian dilengkapi pula dengan Qanun Putroe Phang suatu aturan yang mampu memberikan perlindungan kepada Kaum Wanita.

Iskandar Muda adalah cucu Sultan Alaiddin Riayat Syah Saidil Mukamil (1588-1604). Dari hasil perkawinannya dengan putri raja Lingga, Iskandar Muda memiliki  seorang anak laki-laki yang bernama Meurah Pupok.
Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda inilah dikenal sebuah Kata Filosofis Rakyat Aceh : Adat bak Poteu meureuhom, Hukom bak Syiah Kuala, Qanun bak Putroe Phang, reusam bak Laksamana.

Kata Filosofis ini menjadi pedoman hidup bagi kerajaan dan masyarakatnya untuk mengatur tata kehidupan dalam menegakan kebenaran dan keadilan demi kesejahteraan masyarakat.
Ditengah perenungannya didalam Istana, Sultan mulai memikirkan kederisasi kepemimpinannya. Ia membutuhkan seorang penerus kerajaan yang kuat yang mampu merpertahankan kekuasaannya dan menjaga Kerajaaan Aceh dan daerah taklukannya agar tidak tunduk pada kekuasaan asing, terutama Portugis dan Inggris yang saat itu terus melakukan provokasi di Selat Malaka.

Putra Mahkota
Terlintaslah pandangannya pada wajah Sang Putra Mahkota – Meurah Pupok – yang digelari Sultan Muda atau Poteu Cut. Anak kesayangannya ini berwajah gagah mewarisi ketampanan wajah sang ayah. Putra Mahkota atau Poteu Cut ini memang masih belia, minim pengalaman.

Menuju Makam Meurah Pupok
Sultan merencanakan untuk memberikan beberapa tanggung jawab kepada Putra Mahkota agar ia belajar dan berpengalaman. Sebelum nantinya memegang tampuk kerajaan.  Maka ia berencana menyerahkan tanggung jawab keamanan Negara Termasuk diantaranya tugas tempur untuk memimpin Armada Laut terbesar Kerajaan yaitu Armada Cakra Donya.
Kalau sekarang  ya dicalonkan jadi Kapolri, atau Panglima TNI , semacam itulah. Para pembesar kerajaan semua sudah setuju, majelis rahayat agung pun sudah merestui dengan aklamasi pula.

Ditengah perenungannya itulah datang  seorang  rakyat  yang berhiba-hiba. Namun ditangannya tergenggam sebilah keris yang berdarah .Pemandangan yang cukup aneh. “Ampun Baginda, mohon hamba dimaafkan, ” rengek rakyat kecil yang bersujud di kaki Sultan Iskandar Muda. ” Apa yag terjadi hambaku. Dan keris itu……..” titah sang raja.Belum tuntas sang baginda bertanya  si rakyat jelata menyambung.

Kisah Pilu Anak Raja
“Hamba baru membunuh seseorang Baginda. Mohon hamba diadili,” sahut si rakyat kecil terbata-bata.” Siapa yang kau bunuh dan salah apa dia…” Tanya Baginda
”Saya baru saja membunuh isteri saya, Baginda,” jawabnya. Kali ini cukup tegas jawabnya tidak lagi terbata-bata.
Mengelus janggutnya yang tidak begitu panjang Sultan menarik nafas. Tentu ada alasan kuat sehingga rakyat kecil ini melakukan. Belum terucap pertanyaan untuk menyingkap awal sebabnya si rakyat melanjutkan.

” Saya pulang ke rumah dari menjala ikan di laut, saya dapati isteri saya berzina dengan seseorang di rumah Baginda., “katanya dengan lancar.
” Oo… ,” nada suara Baginda kendor penuh pengertian.
” Tentu kau  bunuh pula si lelakinya khan…..” lanjut Baginda enteng.
 Kali ini si rakyat kecil tidak segera menyahut, tetapi malah kelihatan gemetar.
”Tidak …Baginda,:” suaranya  lirih menyiratkan ketakutan yang amat sangat….
“Mengapa……mengapa tidak kau bunuh sekalian,” Tanya Baginda. Pertanyaan ini sampai dua kali , sebelum si rakyat kecil berhasil mengumpulkan keberanian untuk memberikan keterangan.

”Karena… si lelaki adalah orang yang saya hormati dan semua rakyat juga menjunnjung tinggi  kehormatannya Baginda….,” jawab rakyat nelayan itu  nyaris merintih.” Siapa…..Siapa ….sebutkan ,” kini Baginda Sultan Iskandar berkata dengan suara meninggi. Cukup lama sebelum si nelayan menjawab dan Baginda mengendorkan suaranya ” Sebutkan”.

”Ampun Baginda dia adalah Sang Putra Mahkota – Si Meurah Pupok…”  kata itu terlepas bersama dengan lepasnya beban puluhan ton diatas pundaknya.Beban tersebut langsung menimpa Sultan Iskandar di singgasananya. Ia terlonjak sambil duduk karena beratnya fakta didepan matanya.

Menuju makam meurah Pupok

Saat itu Sultan Iskandar membuktikan keperkasaan dirinya. Menyerahkan perkaranya kepada qadli untuk mengadili anaknya dan menghukum mati. Persoalan timbul lagi karea tidak seorang pun algojo bersedia melaksanakan hukuman mati tersebut.
Menteri kehakiman yang bergelar Sri Raja Panglima Wazir berusaha membujuk, tetapi sultan tetap pada keputusannya. Sultan sendiri dengan tegas mengatakan apabila tidak ada seorang pun yang mau melakukan hukuman ini maka ia sendiri yang akan melakukannya. Sultan Iskandar Muda mengatakan, “aku akan menerapkan hukum kepada Putra Mahkota yang seberat-beratnya. Dengan tanganku sendiri akan kupenggal leher putraku karena telah melanggar hukum dan adat negeri ini.”

Rehat di Komplek Makam Belanda (1/1/2018)
Suatu peristiwa yang mengharukan dan menggetarkan setiap jiwa, ketika Sultan Iskandar Muda mengeksekusi mati anaknya sendiri (Meurah Pupok) sesuai dengan vonis pengadilan.
Dari peristiwa inilah muncul ungkapan masyhur: mate aneuk mupat jeurat, gadoh adat pat tamita (‘mati anak jelas kuburannya, hilang adat (hukum) ke mana hendak dicari’), maksudnya menegakkan hukum yang adil tanpa pilih tebang.

Meurah Pupok
"Siputra mahkota yang gagal naik tahta"
Abad 17 Kerajaan Aceh Darussalam.

Kisah pilu antara kesalahan fatal dan intrik politik begitu kuat, hingga ada sebuah kata ungkapan "kalau mau belajar politik datanglah ke Kerajaan Aceh". Sebuah Fakta yang menempatkan hukum sebagai panglima, hanya ada di Aceh, kala itu.

*Komplek Keerkhof Peutjut /Perkuburan Tentara Belanda, belakang Museum Tsunami Aceh





Tidak ada komentar: