20 Apr 2016

Menyoal Hari Kartini


Oleh: Muhamamd Syarif, S.HI.M.H*

Ilustrasi Sosok Kartini dalam Wujud lain
Wahai ibu kita kartini, putri sejati, putri Indonesia harum namanya. Inilah penggalan lagu yang diajarkan pada saat saya mengenyam pendidikan Sekolah Dasar di Meukek Aceh, Selatan, 24 Tahun yang lalu. Saat itu memang belum ada terpikirkan ingin menggungat; benarkan Ibu Kartini itu, Putri sejati yang pada akhirnya Negara Indonesia member gelar Pahlawan Nasional. Lalu bagaimana dengan Cut Nyak Dien, Cut Mutia, Laksamana Malahayati dan putri-putri yang lainnya. Adakah penambalan gelar pahlawan bagi Kartini sarat dengan muatan politis kenegaraan..? ini perlu kajian yang dalam bagi penggiat sejarawan.

Raden Ajeng Kartini (RA) Kartini, lahir pada tanggal 21 April 1879 di Kota Jepara berasal dari keluarga Bangsawan. Ayahnya bernama RM. Sosroninggrat, putra dari pangeran Ario Tjondronegoro IV, seorang bangsawan yang menjabat sebagai bupati jepara. Beliau ini merupakan kakek dari RA Kartini. Ayah RA Kartini merupakan orang yang terpandang sebab menjabat sebagai kepala Daerah dikala itu.
Ibunya bernama MA. Ngasirah, anak seorang Kiyai (guru) agama di Telukawur, Kota Jepara. Ada yang bilang Kartini merupakan keturunan Sri Sultan Hamangkubuwono VI, ada juga yang mengatakan bahwa garis keturunan Ayahnya berasal dari Kerajaan Majapahit.
Tentu garis nasab tidak menjadi menarik untuk dikupas dalam tulisan ini. Yang menjadi soal adalah apa sesungguhnya peran dan kontribusi RA Kartini bagi Negara dan Bangsa Indonesia. Sehingga setiap 21 April dijadikan sebagai hari Kartini.
Berdasarkan bacaan yang saya peroleh RA Kartini, lebih banyak melakukan gerakan korespodensi atau surat menyurat dengan temannya yang berada di Belanda. Beliau juga lebih banyak menulis tentang Emansipasi Wanita, Persahabatan, gender dan tema-tema sosial tentang perjuangan akan marwah wanita. Gerakan yang dilakukan justru lewat tulisan di berbagai media di Eropa. Kemampuan Bahasa Asingnya yang mempuni terutama bahasa Belanda, membuatnya dikenal secara meluas. Ketajaman Pikirannya dan produktifitas menulis membuat Negara tertarik dan simpati kepada RA Kartini.
 Disinilah beda RA Kartini dengan Cut Nyak Dien,Cut Mutia dan Laksamana Malahayati. Kemampuannya menguasai Bahasa Asing dan gerakan menulisnya di berbagai media internasional ternyata jauh lebih dahsyat dalam mengangkat nama RA Kartini. Gerakan Dakwah RA Kartini, konsisten lewat jalur penanya. Sehingga namanya melambung tinggi.
Ada keinginan besar dari RA Kartini agar wanita Indonesia menuntut ilmu setinggi-tingginya. Sebuah nawaitu yang patut diberikan Apresiasi. Semangat inilah menjadi penting untuk diwariskan bagi anak cucu. Kita boleh berbeza dalam memberikan tafsiran pahlawan. Setidaknya semangat perubahan dalam bayak hal menjadi inspirasi bagi Wanita Aceh.
Spirit perubahan harus dibangun lewat gerakan menulis sehingga Aceh akan melahirkan banyak Kartini-kartini yang lain. Kalau boleh kita sepakati Kartini itu tidak berjuang mengangkat Senjata mengusir Penjajahan layaknya Cut Nyakdien, Tetapi ia berjuang lewat pena membuka wacana dan pemikiran emansipasi Wanita.
Disinilah beza nya. Ingat perjuangan itu banyak metodenya. Ada yang berjuang dengan jalur angkat senjata, ada juga yang lewat jalur politik, Akademisi, Birokrasi, Profesi Medis, Nelayan, Petani, Pengacara, Pengusaha dan sebagainya. Hari Kartini itu menurutku hanya sebuah simbol perjuangan melawan ketidak adilan, membawa kemaslahatan sesuai profesi kita. Khususan para wanita tanggung. Termasuk didalamnya Ibu yang melahirkan kita layak disebut sang “Kartini” yang secara naluri Negara simpati kepadanya, sehingga setiap tanggal 21 April dijadikan sebagai Hari Kartini. 
*Penulis adalah Pengurus KAHMI Aceh dan Ketua Remaja Masjid Raya Baiturrahman Periode 2006-2015 (Dua Periode), Mantan Aktivis`98, Dosen Legal Drafting FSH UIN Ar-Raniry

.

Tidak ada komentar: