21 Okt 2012

Kajian Yuridis Pengisian Pimpinan DPRD di Aceh

Oleh : Muhammad Syarif

Lahirnya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD pada tanggal 29 Agustus 2009 yang menggantikan Undang-Undang Nomor Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD, perubahan tersebut dimaksudkan untuk tidak membatasi pengaturan yang hanya terbatas pada materi muatan susunan dan kedudukan lembaga, tetapi juga mengatur hal hal lain yang lebih bersifat komprehensif serta dalam rangka meningkatkan peran dan tanggung jawab lembaga permusyawaratan rakyat, lembaga perwakilan rakyat, dan lembaga perwakilan daerah untuk mengembangkan kehidupan demokrasi, menjamin keterwakilan rakyat dan daerah dalam melaksanakan tugas dan wewenang lembaga, serta mengembangkan mekanisme checks and balances antara lembaga legislative dan eksekutif, serta meningkatkan kualitas, produktivitas, dan kinerja anggota lembaga permusyawaratan rakyat, lembaga perwakilan rakyat, dan lembaga perwakilan daerah demi mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat.
Disamping itu juga penguatan dan pengefektifan kelembagaan MPR, DPR, DPD, dan  DPRD, terdapat penambahan, pengubahan penamaan (nomenklatur), dan penghapusan alat kelengkapan dalam rangka mendukung fungsi serta tugas dan wewenang kelembagaan tersebut. Di MPR, alat kelengkapan Badan Kehormatan dihapus karena dipandang  alat kelengkapan tersebut telah ada di lembaga DPR dan DPD yang anggotanya sebagai unsur MPR. Di DPR dibentuk alat kelengkapan baru, yaitu Badan Akuntabilitas Keuangan Negara sebagai alat kelengkapan yang bersifat tetap yang berfungsi untuk menindaklanjuti laporan hasil pemeriksaan BPK dalam hal pengawasan penggunaan keuangan negara sehingga diharapkan keberadaan alat kelengkapan ini berkontribusi positif dalam pelaksanaan transparansi dan akuntabilitas penggunaan keuangan negara. Selanjutnya, terdapat pula alat kelengkapan di DPR yang mengalami pengubahan nomenklatur yaitu Panitia Anggaran diubah menjadi Badan Anggaran, yang bermaksud untuk menegaskan alat kelengkapan tersebut bersifat permanen. Di DPD pengubahan terjadi pada nomenklatur panitia ad hoc yang diubah menjadi panitia kerja, serta menghapus alat kelengkapan panitia kerja sama lembaga perwakilan. Di DPRD terdapat penggantian nomenklatur panitia menjadi badan agar lebih jelas keberadaan kelembagaan politiknya, yaitu Panitia Musyawarah menjadi Badan Musyawarah dan Panitia Anggaran menjadi Badan Anggaran. Berkaitan dengan alat kelengkapan di MPR, DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, perlu memperhatikan keterwakilan perempuan sebagai pimpinan alat kelengkapan.
Berkaitan dengan alat kelengkapan untuk DPRD Provinsi diatur dalam Pasal  302 ayat (1) dan untuk DPRD Kabupaten/Kota diatur dalam 353 ayat (1) UU No.27 Tahun 2009, dimana Alat kelengkapan DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/ Kota terdiri dari :
a. Pimpinan;
b. Badan Musyawarah;
c. komisi;
d. Badan Legislasi Daerah;
e. Badan Anggaran;
f. Badan Kehormatan; dan
g. Alat kelengkapan lain yang diperlukan dan dibentuk oleh rapat paripurna.

Tata cara pembentukan, susunan serta tugas dan wewenang alat kelengkapan DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota diatur dengan peraturan DPRD Provinsi maupun dengan peraturan DPRD Kabupaten/Kota, sesuai ketentuan ayat (3) kedua pasal tersebut.
Berdasarkan ketentuan pasal 302 ayat (1) dan pasal 353 ayat (1) huruf g tersebut, DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota dapat menambah alat kelengkapannya sesuai keperluan dan dibentuk oleh rapat paripuna.
Selanjutnya berdasarkan ketentuan Pasal 303 UU No.27 Tahun 2009  dijelaskan sebagai berikut :
(1) Pimpinan DPRD provinsi terdiri atas:
a.       1 (satu) orang ketua dan 4 (empat) orang wakil ketua untuk DPRD provinsi yang beranggotakan 85 (delapan  puluh lima) sampai dengan 100 (seratus) orang;
b.      1 (satu) orang ketua dan 3 (tiga) orang wakil ketua untuk DPRD provinsi yang beranggotakan 45 (empat puluh lima) sampai dengan 84 (delapan puluh empat) orang;
c.       1 (satu) orang ketua dan 2 (dua) orang wakil ketua untuk DPRD provinsi yang beranggotakan 35 (tiga puluh lima) sampai dengan 44 (empat puluh empat) orang.
(2)  Pimpinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari partai politik  berdasarkan urutan perolehan kursi terbanyak di DPRD provinsi.
(3) Ketua DPRD provinsi ialah anggota DPRD provinsi yang berasal dari partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama di DPRD provinsi.
(4) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ketua DPRD provinsi ialah anggota DPRD provinsi yang berasal dari partai politik yang memperoleh suara terbanyak.
(5) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh suara terbanyak sama sebagaimana dimaksud pada ayat (4), penentuan ketua DPRD provinsi dilakukan berdasarkan persebaran wilayah perolehan suara partai politik yang lebih luas secara berjenjang.
(6) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (3), wakil ketua DPRD provinsi ialah anggota DPRD provinsi yang berasal dari partai politik yang memperoleh suara terbanyak kedua, ketiga, dan/atau keempat.
(7) Apabila masih terdapat kursi wakil ketua DPRD provinsi yang belum terisi sebagaimana dimaksud pada ayat (6), maka kursi wakil ketua diisi oleh anggota DPRD provinsi yang berasal dari partai politik yang memperoleh kursi terbanyak kedua.
(8) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh kursi terbanyak kedua sama, wakil ketua sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditentukan berdasarkan urutan hasil perolehan suara terbanyak.
(9) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh kursi terbanyak kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (7), penentuan wakil ketua DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dilakukan berdasarkan persebaran wilayah perolehan suara partai politik yang lebih luas secara berjenjang.

Sedangkan untuk DPRD Kabupaten/Kota diatur dalam pasal 354 UU No.27 Tahun 2009 sebagai berikut :
(1) Pimpinan DPRD kabupaten/kota terdiri atas:
a.       1 (satu) orang ketua dan 3 (tiga) orang wakil ketua untuk DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan 45 (empat puluh lima) sampai dengan 50 (lima puluh) orang; 
b.      1 (satu) orang ketua dan 2 (dua) orang wakil ketua untuk DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan 20 (dua puluh) sampai dengan 44 (empat puluh empat) orang.
(2)  Pimpinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari partai politik berdasarkan urutan perolehan kursi terbanyak di DPRD kabupaten/kota.
(3) Ketua DPRD kabupaten/kota ialah anggota DPRD kabupaten/kota yang berasal dari partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama di DPRD kabupaten/kota.
(4) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ketua DPRD kabupaten/kota ialah anggota DPRD kabupaten/kota yang berasal dari partai politik yang memperoleh suara terbanyak.
(5) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh suara terbanyak sama sebagaimana dimaksud pada ayat (4), penentuan ketua DPRD kabupaten/kota dilakukan berdasarkan persebaran wilayah perolehan suara partai politik yang lebih luas secara berjenjang.
(6) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (3), wakil ketua DPRD kabupaten/kota ialah anggota DPRD kabupaten/kota yang berasal dari partai politik yang memperoleh suara terbanyak kedua, ketiga, dan/atau keempat.
(7) Apabila masih terdapat kursi wakil ketua DPRD kabupaten/kota yang belum terisi sebagaimana dimaksud pada ayat (6), maka kursi wakil ketua diisi oleh anggota DPRD kabupaten/kota yang berasal dari partai politik yang memperoleh kursi terbanyak kedua.
(8) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh kursi terbanyak kedua sama, wakil ketua sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditentukan berdasarkan urutan hasil perolehan suara terbanyak.
(9) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh kursi terbanyak kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (7), penentuan wakil ketua DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dilakukan berdasarkan persebaran wilayah perolehan suara partai politik yang lebih luas secara berjenjang.

Berdasarkan ketentuan Pasal 303 dan Pasal 353 tersebut diatas dikaitkan dengan ketentuan Pasal 302 ayat (1) huruf a sudah cukup jelas bahwa DPRD Provinsi maupun DRPD Kabupaten/Kota terdapat unsur pimpinan yang merupakan alat kelengkapan dari DPRD Provinsi maupun DRPD Kabupaten/Kota. Unsur pimpinan tersebut terdiri dari Ketua serta Wakil Ketua yang jumlahnya Wakilnya tergantung dari jumlah anggota/kursi yang ada di DPRD Provinsi ataupun di DRPD Kabupaten/Kota.
Ketua adalah anggota DPRD Provinsi ataupun anggota DRPD Kabupaten/Kota yang berasal dari Partai Politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama di DPRD Provinsi ataupun di DRPD Kabupaten/Kota, sedangkan Wakil Ketua adalah anggota DPRD Provinsi ataupun anggota DRPD Kabupaten/Kota yang berasal dari Partai Politik yang memperoleh kursi terbanyak kedua, ketiga dan atau keempat di DPRD Provinsi ataupun di DRPD Kabupaten/Kota tergantung dari jumlah anggota/kursi yang ada di DPRD Provinsi ataupun di DRPD Kabupaten/Kota.
Begitu juga halnya dengan jumlah fraksi dan komisi yang dibolehkan diatur dalam Pasal 301 dan 305 dalam UU No 27 Tahun 2009 ini, yang menyebutkan bahwa:
Pasal 301 (3)
Setiap fraksi di DPRD provinsi beranggotakan paling sedikit sama dengan jumlah komisi di DPRD provinsi.
Pasal 305 (1)
Komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 302 ayat (1) huruf c dibentuk dengan ketentuan:
a.       DPRD provinsi yang beranggotakan 35 (tiga puluh lima) sampai dengan 55 (lima puluh lima) orang membentuk4 (empat) komisi;
b.      DPRD provinsi yang beranggotakan lebih dari 55 (lima puluh lima) orang membentuk 5 (lima) komisi
Pasal 356
Komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 353 ayat (1) huruf c dibentuk dengan ketentuan:
a.       DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan 20 (dua puluh) sampai dengan 35 (tiga puluh lima) orang membentuk 3 (tiga) komisi;
b.      DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan lebih dari 35 (tiga puluh lima) orang membentuk 4 (empat) komisi.

Jadi UU No.27 Tahun 2009 telah mengatur secara tegas dan terperinci mengenai tata cara pengisian komposisi Pimpinan DPRD Provinsi maupun DRPD Kabupaten/Kota.

Proses Pengisian Pimpinan DPRD di Aceh.

Lahirnya Partai Lokal (Parlok) yang merupakan amanah dari MoU sebagai bentuk saluran politik yang demokratis dalam bingkai penyelesaian konflik Aceh. disebutkan bahwa “sesegera mungkin, tetapi  tidak lebih dari satu tahun sejak penandatanganan Nota Kesepahaman ini, Pemerintah RI menyepakati dan akan memfasilitasi pembentukan partai-partai politik yang berbasis di Aceh yang memenuhi persyaratran nasional. Memahami aspirasi rakyat Aceh untuk partai-partai politik lokal, pemerintah RI, dalam tempo satu tahun, atau paling lambat 18 bulan sejak penandatanganan Nota Kesepahaman ini, akan menciptakan kondisi politik dan hokum untuk pendirian partai politik lokal di Aceh dengan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat[1]. Kemudian Pemerintah Indonesia melegalkan Parlok yang dituangkan dalam Undang-Undanng Nomor 11 Tahun 2006 (UUPA). Di dalam UUPA[2] disebutkan bahwa Partai Politik Lokal didirikan dan dibentuk oleh sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) orang Warga Negara Republik Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun dan telah berdomisili tetap di Aceh dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen)
Lalu apakah yang dimaksud dengan partai politik lokal (PARLOK), mengingat bahwa kemunculan partai politik lokal di Indonesia masih relatif  baru dikenal dalam sistem politik dan kepartaian, walaupun dalam sepanjang sejarah politik di Indonesia sudah pernah ada Parlok, teori-teori ataupun penelitian mengenai partai politik lokal masih sangat terbatas di Indonesia. Untuk itulah Farhan Hamid mencoba mendefinisikan Parlok dengan; partai politik yang didirikan dan berbasis di daerah, serta bekerja untuk kepentingan daerah, sedangkan jika kita merujuk kepada peraturan Pemerintah, Parlok adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga Negara Indonesia yang berdomisili di Aceh secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa dan Negara melalui pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA)/Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/kota (DPRK), Gubenur dan wakil gubenur, serta bupati, wakil bupati/Walikota dan wakil walikota[3].   
Definisi di atas kurang lebih juga tercermin di dalam UU No 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh, ditegaskan bahwa Partai politik lokal adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warganegara Indonesia yang berdomisili di Aceh secara suka rela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa dan negara melalui pemilihan anggota DPRA/DPRK, Gubernur/Wakil Gubernur,bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota[4]
Keberadaan partai politik lokal di Aceh membuktikan bahwa, proses demokrasi poliktik dan proses desentraslisasi yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia bejalan cukup baik, artinya, adalah diakuinya keberadaan entitas politik lokal sebagai cermin di dalam pembangunan demokrasi di daerah. Hal ini tentunya wajar jika dilihat dari bagaiamana seharusnya pemenuhan aspirasi yang dilakukan oleh rakyat terhadap wakil yang dipilihnya. Dan juga berdampak kepada sistem pemilihan umum di Aceh. jika di provinsi lainnya pemilihan anggota legislatif hanya berasal dari partai nasional, namun untuk Aceh, masyarakat Aceh harus memilih wakil-wakilnya baik yang berasal dari partai nasional dan juga berasal dari partai lokal.
Sebagaimana kita ketahui bahwa berdasarkan hasil Pemilu Legislatif untuk DPRD provinsi yang diadakan pada tanggal 9 April 2009 lalu yang memperebutkan kursi Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), salah satu partai lokal mendominasi perolehan kursi. Partai Aceh (PA) yang memperoleh 1.007.173 suara atau 46,93 persen. Peringkat kedua diraih Partai Demokrat dengan selisih yang cukup jauh. Partai Demokrat meraih 10,84 persen dan di urutan ketiga Partai Golongan Karya (6,64 persen), disusul PAN (3,87 persen), dan PKS (3,45 persen) suara.Dengan komposisi seperti itu, tak heran kalau kemudian Partai Aceh meraih 33 dari 69 kursi DPRA. Sisa kursi terbagi ke dalam 11 partai. Partai Demokrat meraih 10 kursi, Gokar 8 kursi, PAN 5 kursi, PKS 4 kursi, dan PPP 3 kursi. Partai nasional lain yang mendapat kusi adalah PKPI, PDI-P, Partai Patriot, PKB, dan PBB, yang masing-masing satu kursi. Adapun partai lokal lain yang juga mendapatkan satu kursi adalah Partai Daulat Aceh (PDA). Dengan demikian, hanya ada dua partai lokal Aceh yang memiliki wakil di DPRA[5].
 Berdasarkan ketentuan Pasal 303 UU No. 27 Tahun 2009, maka seharusnya Pimpinan DPRA yang terdiri dari 1 orang ketua dan 3 orang wakil ketua, Ketua DPRA berasal dari Partai Aceh selaku partai politik yang memperolah kursi terbanyak pertama di DPRA, selanjutnya Wakil Ketua I dari Partai Demokrat selaku partai politik yang memperolah kursi terbanyak kedua di DPRA, Wakil Ketua II dari Partai Golkar selaku partai politik yang memperolah kursi terbanyak ketiga di DPRA dan Wakil Ketua III dari PAN selaku partai politik yang memperolah kursi terbanyak keempat di DPRA.
Namun kenyataannya pada DPRA pengisian komposisi pimpinan tidak mengacu pada UU No.27 Tahun 2009, karena di Aceh telah ada UUPA dimana pada pasal 22 ayat (2) UUPA disebutkan bahwa “DPRA dan DPRK mempunyai hak untuk membentuk alat kelengkapan DPRA/DPRK sesuai kekhususan Aceh”, oleh karena di dalam UUPA tidak mengatur pemilihan pimpinan DPRA/DPRK sehingga sesuai kekhususannya tersebut DPRA membuat Rancangan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Aceh, dimana pada Bagian Keempat Pemilihan Pimpinan DPRA Pasal 53 menyebutkan sebagai berikut :  
(1)   Calon Pimpinan DPRA diusulkan oleh Partai Politik Nasional Dan Partai Politik Lokal Aceh yang mempunyai fraksi penuh pada DPRA;
(2)   Partai Politik Nasional Dan Partai Politik Lokal Aceh yang mempunyai fraksi penuh pada DPRA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhak mengusulkan masing-masing satu orang calon pimpinan DPRA;
(3)   Pengusulan calon Pimpinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan ayat (2), disampaikan dengan surat resmi dari pimpinan partai melalui fraksinya di DPRA;
(4)   Tatacara pengusulan dan penetapan ketua dan wakil ketua sebagai berikut:
(a) Partai yang memiliki fraksi penuh di DPRA, berkewajiban mengusulkan calon pimpinan DPRA melalui fraksinya.
(b) Ketua, wakil satu, wakil dua dan wakil tiga ditetapkan menurut suara terbanyak dari fraksi penuh yang mengusulkan.
(c) Apabila masih ada posisi wakil ketua yang belum terisi, maka untuk mengisi posisi tersebut akan dipilih secara langsung dalam sidang paripurna.
(d) Calon wakil  ketua sebagaimana yang dimaksud dalam huruf (c) dapat diusulkan oleh semua Fraksi yang ada pada DPRA. Apabila hanya ada satu fraksi yang mengusulkan calon wakil ketua maka calon tersebut otomatis jadi wakil ketua.
(e) Penetapan wakil ketua yang  dimaksud huruf c dan d dilakukan dalam rapat paripurna,  berdasarkan suara terbanyak.
(f) Penetapan wakil ketua yang dimaksud  pada huruf c, d dan e selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja terhitung dari hari penetapan paripurna. Apabila pada waktu yang ditentukan tidak mencalonkan maka diisi oleh partai yang memperoleh suara terbanyak. 

(5)   Hasil pemilihan Pimpinan DPRA sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dengan keputusan pimpinan sementara DPRA;
(6)   Paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah pemilihan dilangsungkan, pimpinan sementara DPRA mengusulkan kepada Menteri Dalam Negeri untuk diresmikan dengan surat keputusan;
(7)   Paling lambat 14 (empat belas) hari setelah diajukan oleh pimpinan sementara DPRA, Menteri Dalam Negeri meresmikan penetapan pimpinan DPRA.

Berdasarkan ketentuan Pasal 53 Rancangan Tatib DPRA tersebut PAN tidak bisa menduduki Wakil Ketua III, karena jumlah kursi yang diperoleh PAN hanya 5 kursi sehingga tidak bisa membentuk fraksi penuh, oleh sebab itu PAN tidak dapat mengusulkan calon pimpinan DPRA. Oleh karena posisi wakil ketua III masih kosong, maka untuk mengisi posisi tersebut akan dipilih secara langsung dalam sidang paripurna dan yang terpilih justru anggota dari Partai Aceh lagi, padahal dari anggota Partai Aceh telah menduduki posisi Ketua.
Dalam Rancangan Tatib DPRA Pasal 44 ayat (1) disebutkan bahwa Pembentukan fraksi dapat dilakukan oleh partai politik nasional atau partai politik lokal Aceh yang memperoleh kursi di DPRA sekurang-kurangnya sama dengan jumlah komisi di DPRA, sedangkan dalam ketentuan Pasal 36 Ayat (2) UUPA, jumlah anggota setiap fraksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya sama dengan jumlah minimal komisi di DPRA/DPRK. Jumlah komisi DPRA disebutkan dalam Pasal 31 Ayat (1) UUPA, bahwa DPRA dapat membentuk paling sedikit lima (5) komisi dan paling banyak delapan (8) komisi.
Melihat dari ketentuan di atas maka fraksi dapat di bentuk dengan jumlah minimal dari komisi yang ditetapkan sesuai dengan UUPA, akan tetapi dalam Tatib kata-kata minimal dihilangkan, sehingga yang berkembang adalah jumlah fraksi di DPRA adalah tujuh fraksi sehingga penetapan Rancangan Tatib ini bertentangan dengan UUPA yang menetapkan jumlah fraksi minimal adalah lima.
Dalam Pasal 301 ayat (3) UU No 27 Tahun 2009 disebutkan bahwa setiap fraksi beranggotakan paling sedikit sama dengan jumlah komisi di DPRA Provinsi. Dan dalam Pasal 305 ayat (1) huruf b disebutkan bahwa DPRD provinsi yang beranggotakan lebih dari 55 orang membentuk lima komisi.
Hal ini menimbulkan polemik, dimana Anggota DPRA dari PAN merasa keberatan dan melakukan walk out pada sidang  paripurna, karena sesuai Pasal 303 ayat (2) UU No.27 Tahun 2009 Pimpinan DPRD Provinsi berasal dari partai politik berdasarkan urutan perolehan kusi terbanyak di DPRD Provinsi. Bahkan sampai sekarang Mendagri belum menandatangi Penetapan Pimpinan DPRA dan hal ini  juga terjadi pada DPRK kabupaten Aceh Utara yang juga Penetapannya belum ditandatangani oleh Mendagri.
Melihat dari polemik yang timbul diatas bedasarkan perturan perundang-undangan maka rancangan tatib DPRA harus ditinjau kembali karena dalam penempatan fraksi dan komisi masih bertentangan dengan Pasal 301 dan 305 UU No 27 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa fraksi si DPRD Propinsi harus beranggotakan paling sedikit sama dnegan jumlah komisi dalam DPRD Provinsi dan DPRD Provinsi dalam Pasal 305 ayat (1) huruf (b) menjelaskan bahwa DPRD Provinsi yang beranggotakan lebih dari 55 orang membentuk 5 komisi, sehingga melihat dari dasar ini, PAN yang mendelegasikan 5 orang berhak mendapatkan satu fraksi dan berhak untuk memperoleh kursi wakil pimpinan DPRA, karena dalam UU PA tidak dijelaskan secara rinci mengenai pengisian pimpinan DPRA.
Berdasarkan uraian tersebut diatas sesuai asas hukum lex superior derogat lex inferior, substansi hukum yang diatur dalam ketentuan lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan materi yang ada dalam ketentuan yang lebih tinggi. Maka apapun aturannya, asalkan mengatur hal yang sama, asas ini harus menjadi acuannya. Untuk membuat suatu aturan juga perlu mempertimbangkan asas lex specialis derogat lex generalis. Artinya, peraturan khusus dapat mengesampingkan peraturan yang bersifat umum. Jika dalam peraturan khusus tak ada ketentuannya maka yang harus dijadikan acuan adalah ketentuan yang terdapat dalam peraturan bersifat umum (lex generalis). Ini perlu diperhatikan dalam membuat peraturan Tata Tertib (Tatib) DPRA. Peraturan internal yang utamanya berlaku mengikat bagi anggota dewan dalam melaksanakan fungsi dan kewenangannya sebagaimana mereka telah disumpah. Posisi Peraturan Tatib berada di bawah peraturan perundang-undangan lainnya, baik yang bersifat legislasi maupun regulasi. Maka substansi Tatib harus mengacu pada peraturan perundangan-undangan dengan menggunakan kedua asas hukum tersebut.
Pada UUPA tidak mengatur pemilihan pimpinan DPRA/DPRK hanya mempunyai hak dalam membentuk alat kelengkapan sesuai kekhususan Aceh, sedangkan pemilihan pimpinan telah diatur secara tegas dalam pasal 303 ayat (2) UU No.27 Tahun 2009 dan berdasarkan Pasal 23 ayat (3) juncto Pasal 24 ayat (3) UUPA ditegaskan bahwa “Tata cara pelaksanaan tugas dan wewenang sebagaimana pada ayat (1) dan (2) diatur dalam tata tertib DRRA/DPRK dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan, dimana dalam Konsideran pertimbangan Rancangan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Aceh juga mengacu pada UU No.27 Tahun 2009, namun pada Pasal 53 Rancangan Tatib tersebut tidak mengacu pada UU No.27 Tahun 2009.
Apabila kita merujuk kepada sejarah Undang-Undang tentang Susduk sebelum diundangkan UU No.27 Tahun 2009, yakni UU No.9 Tahun 1948 tentang anggota B.P.K.N. I.P. dan K.N.I.P. kemudian diganti dengan UU No. 16 Tahun 1969 tentang Susduk dan setelah beberapa kali terjadi perubahan diganti lagi dengan UU No.4 Tahun 1999 tentang Susduk dan terakhir diganti dengan UU No.22 Tahun 2003 tentang Susduk, telah terjadi perubahan sistem keterwakilan di Indonesia khususnya masalah pengisian Pimpinan MPR, DPR, DPD serta DPRD dan terakhir diganti dengan UU No.27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD juga mengenai pengisian pimpinan  mengalami perubahan. Sehingga sistem pengisian pada DPRD di Aceh seakan masih menggunakan ketentuan Pasal 24 ayat (1) dan (4) juncto Pasal 31 ayat (1) dan (4) UU No.4 tahun 1999 yang menegaskan bahwa Pimpinan DPRD I dan DPRD II bersifat kolektif terdiri atas seorang Ketua dan sebanyak-banyaknya tiga orang Wakil Ketua yang mencerminkan fraksi-fraksi berdasarkan urutan besarnya jumlah anggota fraksi dan Tata cara pemilihan Pimpinan DPRD I dan DPRD II diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRD I.atau DPRD II.
Padahal UU No.4 Tahun 1999 telah diganti dan dinyatakan tidak berlaku dengan berlakunya UU No.22 Tahun 2003 dan UU No.22 Tahun 2003 juga sudah diganti dan dinyatakan tidak berlaku lagi dengan UU No.27 Tahun 2009 dan dengan adanya penetapan Rancangan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Aceh yang mengatur pengisian pimpinan DPRA tersebut, system keterwakilan di Aceh bukannya mengalami kemajuan, malah mengalami kemunduran.
Karena sesuai tujuan diselenggarakan pemilu adalah untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai penyalur aspirasi politik rakyat serta anggota Dewan Perwakilan Daerah sebagai penyalur aspirasi keanekaragaman daerah sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 22E ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan pemilihan umum secara langsung oleh rakyat merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dimana aspirasi politik rakyat tersebut disalurkan melalui Partai Politik sesuai tujuan dan fungsi dari pada dari pembentukan Partai Politik, yakni :
1) Tujuan umum Partai Politik adalah :
a.       mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.      menjaga dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
c.       mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan
d.      mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
2) Tujuan umum Partai Politik adalah :
a.        meningkatkan partisipasi politik anggota dan masyarakat dalam rangka penyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintahan;
b.        memperjuangkan cita-cita Partai Politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; dan
c.        membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara[6]
3) Fungsi dari Partai Politik adalah sebagai:
a.       pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
b.      penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat;
c.       penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara;
d.      partisipasi politik warga negara Indonesia; dan
e.       rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender. [7]
Seperti yang dituangkan di dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 amandemen ke III, yang menyebutkan bahwa, “Kedaulatan Berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”, oleh sebab itu karena aspirasi rakyat disalurkan melalui Partai Politik sudah sepantasnya pengisian pimpinan DPRD Provinsi maupun DPRK berasal dari partai politik berdasarkan urutan perolehan kursi terbanyak di DPRD provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota bukan berdasarkan Fraksi sebagaimana yang diatur dalam Rancangan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Aceh.
Apalagi UU No.27 Tahun 2009 juga telah menegaskan pada Pasal 400 yang menyebutkan bahwa “Undang-Undang ini berlaku juga bagi Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), dewan perwakilan rakyat kabupaten/kota (DPRK) di Aceh, Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) di Provinsi Papua, dan DPRD Provinsi Papua Barat, sepanjang tidak diatur khusus dalam undang-undang tersendiri”. Oleh karena UUPA tidak mengatur masalah pemilihan pimpinan dan juga tidak ada pengaturan secara khusus dalam undang-undang tersendiri, maka yang harus digunakan adalah ketentuan Pasal 303 ayat (2) UU No.27 Tahun 2009.
Oleh karena itu untuk mencegah terjadinya konflik atau masalah hukum yang berkepanjangan sehingga bisa membuat DPRA maupun DPRK yang baru lamban melaksanakan tugas dan fungsinya serta realisasi aspirasi rakyat yang bermuara terhambat pembangunan dan perwujudan kesejahteraan rakyat Aceh yang lebih beradab, maka lebih baik mengikuti aturan yang telah jelas dan tegas di atur. Misalnya mengenai Penetapan ketua dan wakil ketua Dewan, gunakan UU Nomor 27 tahun 2009. “Dan sebaliknya, jika ada hal lain yang telah diatur secara rinci pada UUPA, maka gunakan aturan pada UUPA.




[1] MoU RI-GAM point 1.2 tentang partisipasi politik butir 1.2.1
[2] Pasal 75 ayat (2) Bab XI Partai Politik Lokal bagian ke satu
[3] Yusra Tebe, Makna Partai Politik Lokal Bagi Perdamaian Aceh, http://id.acehinstitute.org
[4] UU No 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh Pasal 1
[5] http://bytheways.wordpress.com/2009/05/23/nanggroe-aceh-darussalam-dua-aras-dominasi-pusat-dan-lokal/
[6] Pasal 10 UU No 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik
[7] Pasal 11 UU No 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik

Tidak ada komentar: