Oleh:
Muhammad Syarif*
Zakat
merupakan pilar utama pemberdayaan ekonomi dalam Islam. Diantara lima hal yang
menjadi rukun Islam yaitu; syahadat, shalat, zakat, puasa dan haji. Ajaran zakat
berdamfak langsung dengan persoalan nyata yang dihadapi manusia dalam kontek
kemiskinan dan ketidak adilan. Karenaya instrumen zakat menjadi solusi
alternatif dalam persoalan pengentasan kemiskinan khususnya di Aceh.
Lembaga
Baitul Mal sebagai institusi resmi negara di Aceh telah bermetamarfosis
kelembagaanya, dimana sebelumnya berbentuk Badan yang dipimpin oleh seorang
kepala, kini menjadi Komisioner yang kepemimpinannya bersifat kolektif kolegial
seuai Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2018 tentang Baitul Mal.
Tentunya
semangat perubahan lembaga Baitul Mal ini dalam rangka optimalisasi pengelolaan
Zakat, menyesuaikan pentadbirannya dengan kondisi kekinian, sebagaimana
semangat filosofis dalam konsideran regelingnya
yaitu: pengelolaan secara baik, efektif dan profesional. Semangat ini sejatinya
menjadi spirit dalam rekruitmen “Pengelola BMA/BMK.”
Berdasarkan publikasi terakhir “directory Baitul Mal Aceh tahun 2019
rata-rata potensi Anggaran Pendapatan
Aceh (baca daerah) dari zakat setiap tahunnya 155 Milyar. Tentu potensi zakat ini
lebih dominan berasal dari zakat yang dikeluarkan oleh Aparatur Sipil Negara
(ASN) ketimbang sumber zakat dari profesi lainnya, seperti jasa perdagangan,
pertanian, peternakan, perhotelan, pertambangan dan sebagainya. Sementara realise
gatra.com tahun 2018 potensi zakat di Banda Aceh sebesar 48 Milyar akan tetapi
realisasinya sebesar 15,2 Milyar ungkap Aminullah Usman, Walikota Banda Aceh.
Lantas
kenapa pengelolaan zakat belum menyisir pada sumber yang lain selain zakat ASN?
Ini lah pekerjaan rumah besar bagi pengelola Zakat di Aceh dalam hal ini Baitul
Mal Aceh dan Baitul Mal Kab/Kota (BMA/BMK). Disinilah sejatinya orang-orang yang
diberi amanah mengelola BMA/BMK harus pro aktif melaksanakan tugas dan
kewenangannya dalam mengelola amanah yang diberikan negara dalam hal
pengumpulan dan pendistribusian zakat, sehingga tugas negara dalam
mensejahterakan rakyatnya tercapai lewat
lembaga BMA/BMK.
Dalam
terminologi fiqih zakat didefinisikan sebagai sejumlah harta tertentu yang
diwajibkan Allah, diserahkan kepada oran-orang yang berhak (Yusuf Qardawi). Pelaksanaan
zakat didasarkan pada firman Allah QS. At-Taubah ayat 60 yang artinya: “Sesungguhnya
zakat itu hanyalah untuk orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para
muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang
berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai
sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah. Dan Allah lagi maha mengetahui lagi
maha bijaksana.
Dalam
surah At-Taubah:60 tersebut dikemukakan bahwa salah satu golongan yang berhak
menerima zakat (mustahik zakat)
adalah orang yang bertugas mengelola zakat (`amilina
`alaiha). Sedangkan dalam surah At-Taubah ayat 103 dijelaskan bahwa “Zakat
diambil (dijemput) dari orang-orang yang berkewajiban untuk berzakat (muzakki) untuk kemudian diberikan kepada
mereka yang berhak menerimanya (mustahik).
Yang mengambil dan menjempu adalah para petugas (`amil). Dalam konteks Aceh adalah “Pengelola BMA/BMK”.
Imam
Al-Qutubi ketika menafsirkan surat At-Taubah ayat 60 menyatakan bahwa `amil itu
adalah orang-orang yang ditugaskan (diutus oleh imam/pemerintah) untuk
mengambil, menuliskan, menghitung dan mencatatkan zakat yang diambilnya dari
para muzakki untuk kemudian diberikan kepada yang berhak menerimanya.
Karena
itu Rasulullah pernah memperkerjakan seorang pemuda dari suku Asad yang bernama
Ibnu Lutaibah untuk mengurus zakat Bani Sulaim. Pernah pula mengutus Ali bin
Abi Thalib ke Yaman untuk menjadi Amil Zakat. Demikian pula dilakukan oleh
khulafaur rasyidin sesudahnya, mereka menunjuk petugas khusus untuk mengelola
zakat serta mendistribusikan sesuai aturan agama (QS. At-Taubah ayat 60).
Pengelolaan
Zakat oleh lembaga resmi negara (BMA/BMK) disamping memiliki kekuatan hukum
formal akan tetapi memiliki keuntungan lainnya ;
Pertama;
untuk menjamin kepastian dan disiplin pembayar zakat. Kedua; untuk menjaga
perasan rendah diri mustahik zakat apabila berhadapan langsung untuk menerima
zakat dari muzakki. Ketiga untuk mencapain efisiensi dan efektivitas serta sasaran
yang tepat dalam penggunaan harta zakat menurut skala prioritas yang ada pada
suatu tempat. Keempat untuk memperlihatkan syiar Islam dalam semangat
penyelenggaraan pemerintahan yang Islami. Sebaliknya jika zakat langsung
diserahkan oleh muzakki kepada mustahik, meskipun secara syariah sah, akan
tetapi disamping terabaikan hal-hal tersebut diatas, juga hikmah dan fungsi
zakat terutama berkaitan dengan kesejahteraan umat dakan sulit diwujudkan.
Karnanya
Revitalisasi Pengelolaan Zakat melalui BMA/BMK menjadi penting dilakukan. Yusuf
Qardami dalam kitabnya berjudul Fiqh Zakat menyatakan bahwa seorang yang
ditunjuk sebagai amil zakat atau pengelola zakat harus memiliki beberapa syarat
sebagai berikut:
Pertama;
Beragama Islam, zakat adalah salah satu urusan utama muslim yang termasuk rukun
Islam ketiga, karena itu sudah saatnya urusan penting kaum muslimin diurus
sesama muslim
Kedua:
Mukallaf yaitu orang yang dewasa, sehat akal dan pikirannyan dan siap menerima
tanggungjawab mengurus urusan umat
Ketiga:
Memililiki sifat amanah atau jujur. Sifat ini sangat penting karena berkaitan
dengan kepercayaan umat. Artinya para muzakki dengan rela menyerahkan zakatnya
melalui lembaga Pengelolaan Zakat. Keamanahan ini diwujudkan dalam bentuk
transparansi (keterbukaan) dalam menyampaikan laporan pertanggungjawaban secara
berkala dan juga ketepatan menyalurnya sejalan dengan ketentuan syar`i. Didalam
Al-Qur`an dikisahkan sifat utama Nabi Yusuf yang mendapat kepercayaan menjadi
bendaharawan negara Mesir yaitu saat Mesir dilanda paceklik sebagai akibat
kemarau yang panjang. Beliau berhasil membangun kembali kesejahteraan
masyarakat, karena kemampuannya menjaga amanah. Demikian juga keamanhan
pengelola zakat pada masa Rasulullah dan khulafaur rasyidin.
Keempat:
mengerti dan memahami hukum-hukum zakat yang menyebabkan ia mampu melakukan
berbagai inovasi dalam menggerakkan masyarakat mau bayar zakat.
Kelima;
memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugas dengan sebaiknya. Amanah dan jujur
merupakan syarat yang sangat penting. Disamping itupula bekerja secara full time, bukan mengambil kesempatan
yang mumpuni dengan jabatan yang ada. Ini menjadi penting sehingga kejayaan
Islam akan bangkit kembali lewat pengelolaan Zakat di Aceh. Mungkinkah pengulangan
sejarah dalam mengelola zakat dimasa Bani Umayyah yang berlangsung hampir 90
tahun (41-127H) dibawah khalifah umar Abul Azis. Dia terkenal dengan kebijakan pengelolaan
zakat yang mumpuni, mampu mensejahterakan rakyat dan berhasil mewujudkan keadilan
bagi warganya bahkan warga jazirah arab lainnya. Mencermati kriteria
pengelolaan zakat tersebut kiranya revitalisasi bagi pengelola BMA/BMK menjadi
mutlak dilakukan, sehingga spirit kehadiran BMA/BMK benar-benar dirasakan
mamfaatnyata bagi kehidupan masyarakat terutama bagi fakir dan miskin serta
orang-orang yang berjuang dijalan Allah, seperti para da`i, guru ngaji, para
mahasiswa yang menimba Ilmu Agama terbantu oleh BMA/BMK. Wallahu
`alam binshawab
*Penulis
adalah Sekjend Alumni Hukum Ekonomi Islam (HES) UIN Ar-Raniry dan Dosen
Politeknik Kutaraja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar