Oleh: Muhammad Syarif*
Suatu
ketika saya diminta ketemu oleh sahabat sebut saja namanya “Abang” (anonim), ia
adalah sosok sahabat, semasa kuliah pada Fakultas Syariah IAIN Ar-Ranry yang
kini berubah menjadi UIN Ar-Raniry, orangnya pinter kuliah dua tempat satu
prodi Hukum Ekonomi Syariah (HES) UIN Ar-Raniry satu lagi Prodi Teknik Kimia di
Unsyiah. Kala itu ia menjabat sebagai salah satu pimpinan di lembaga pembiayaan
syariah.
Ia
gusar dan galau karena apa yang dipelajari selama ini dikampus tidak sesuai
dengan kondisi lapangan. Lebel Pembiayaan Syariah tapi prakteknya sama seperti
konvensional, malah jika nasabah tertunggak akibat telat bayar diangap satu
prestasi, karena ada bonus tambahan dari lembaga yang ia pimpin. Kebijakan inilah yang membuat
ia gusar.
Kegalauannya
bergemuruh, hingga akhirnya ia keluar dari lembaga pembiayaan syariah tersebut.
Sebelum ia keluar saya dua kali ketemunya di Warkop Dhapu Kupi. Lalu saya
tergelitik kenapa ya, tega sekali demikian kebijakan lembaga pembiayaan syariah
tersebut? Kode etik lembaganya kita rahasiakan.
Ini
hanya secuil kisah yang sempat saya dengar langsung dari pengambil kebijakan.
Dalam Buku Belajar Ekonomi Islam, Catatan Kritis Terhadap Perkembangan Syariah di
Indonesia yang ditulis Cecep Maskanul, M.Ec, Master of Economic International University Malaysia, Tim Ahli
Syariah untuk penerbitan berbagai sukuk termasuk goverment sukuk dan corporate
sukuk, ia menjelaskan bahwa “sejak lama para bankir di perbankan syariah
mengeluhkan asumsi bahwa dalam bank syariah, nasabah (pembiayaan) tidak boleh
diberikan sanksi apabila nasabah terlambat membayar atau malah menunggak.
Asumsi ini muncul karena kalau diterapkan dikwatirkan riba.
Dalam
pembahasan pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Syariah (PSAK) untuk perbankan
syariah keluhkan ini seakan telah mengemuka, yang akhirnya ada celah
membolehkan secara faktual. Perlu dicatat hasil lokakarya pengembangan produk
pembiayaan yang dilakukan Bank Muamalat tahun 1977 telah memperingatkan istilah
wanprestasi dalam terminologi perjanjian Indonesia. Dalam perbankan syariah ada
dua faktor yang menyebankan wanprestas, yaitu faktor diluar kekuasaan nasabah (force majeur) dan kesengajan (moral hazard). Yang dibolehkan penerapan
sanksi oleh bank adalah wanprestasi karena faktor kedua. Itupun dilakukan
sekedar untuk memberikan pelajaran agar nasabah lebih menghormati bank syariah.
Untuk nasabah yang wanprestasi karena faktor diluar kekuasaannya, berlaku hukum
yang ditarik dari Al-Qur`an surah Al-Baqarah ayat 280, tentang perintah memberi
tangguh bagi orang-orang yang tidak mampu membayar karena terkena kesusahan.
Ketika
diajukan kepada Dewan Syariah Nasional (DSN) masalah ini disepakati dijadikan
fatwa. Para ulama menggunakan hadits riwayat Imam bukhari, Muslim mengatakan:”
orang mampu yang menunda pembayaran (dengan sengaja) adalah zalim” hadits ini
memperkuat hadits lain yang diriwayatkan oleh Imam Nasa`i, Abu Daud, Ibn Majah
dan Ahmad menambahkan “dibolehkan menghukumnya”. Ini sebabnya mengapa DSN
mendukung adanya sanksi tersebut. Sanksi ini didasarkan atas prinsip takzir yaitu memberikan
pelajaran kepada nasabah tersebut. Tapi DSN tidak setuju jika sanksi bersifat
finansial ini menjadi milik bank, melainkan diberikan untuk kesejahteraan
sosial.
Lalu
apakah persoalan selesai sampai disitu? Bahkan beberapa kasus yang saya terima,
lembanga pembiayaan syariah termasuk bank syariah sudah sangat kelewatan dalam
menerapkan sanksinya. Telat satu hari sudah kenak sanksi padahal bukan
kelalainan nasabah akan tetapi karena saat jatuh tempo tanggal merah sehingga
ia harus menyetor pada hari yang lain. Lalu dendanyapun diakumulasi. Lebih
gawatnya lagi hasil Fatwa DSN sebagai institusi pengawal operasional perbankan
syariah/lembaga keuangan syariah dilevel nasional diabaikan. Malah uang sanksi
menjadi pendapat lembaga keuangan demi mendongkrat keuntungan bank.
Kalau
sudah demikian apakah lembaga DSN harus menarik lagi pendapatnya. Lalu apakan
di Bank Aceh Syariah atau Lembaga Keuangan/Pembiayaan Syariah lainnya di Aceh
masih menentukan sanksi bagi yang telat bayar bukan karena faktor kesengajaan? dan uang tersebut digunakan untuk apa?
Saatnya
Dewan Pengawas Syariah (DPS) di lembaga keuangan dan pembiayaan di Aceh melakukan
telaahan lebih dalam. Jangan sampai
keberadan Bank/lembaga Pembiayaan Syariah lainnya justru tidak menjalankan
prinsip syariah sesuai putusan DSN. Kalau memang demikian benarlah sikap “Abang”
(anonim) yang akhirnya memutuskan keluar dari lembanga keuangan syariah.
*Penulis
adalah Sekjend Alumni Hukum Ekonomi Syariah (HES) UIN Ar-Raniry dan Dosen
Politeknik Kutaraja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar