Ketika
kita membaca literatur pergolakan DI/TII Aceh, 20 September 1953 yang
diproklamirkan oleh Daud Beureeh, maka tentu semangat jihad dan ke-NKRI-annya
jangan disalah artikan. Tentu semuanya akibat dari kekecewaaan yang terjadi.
Dalam filem India lazimnya disebut ada “sengkuni”. Perjuangan Daud Beureuh
dalam mempertahan NKRI dari penjajahan kolonial Belanda ternyata dikianati
pasca Indonesia merdeka.
Dimana
sebelumnya wilayah langkat, deli dan Sumetera Utara bagian dari kekuasaan Daud
Beureuh selaku Gubernur Militer Daerah Isimewa Aceh. Dileburnya propinsi Aceh
dalam yuridiksi Provinsi Sumatera Utara, Medan, membuat Daud Beureuh berang dan
kecewa, dianggap pengkianatan atas jasa baik rakyat Aceh dalam merebut dan
mempertahankan NKRI.
Mungkin
tidak banyak yang kenal bahwa sosok pemuda AG Mutyara, banyak berjasa dalam
mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia, termasuk juga menjembatani
pergolakan Aceh dengan Republik Indonesia. AG Mutyara lahir di Jangkabuya Tahun
1923 salah seorang tokoh Aceh yang telah berjasa dalam mempertahankan
kemerdekaan Republik Indonesia dari agresi kedua Belanda.
AG
Mutyara bukan hanya jago dalam bidang tempur, karna ia memang seorang Tentara
Kemanana Rakyat (TKR) yang kini menjadi TNI. Beliau tergabung dalam kesatuan
Divisi V/TKR Komandemen Sumatera yang dikomandoi oleh Kolonel Syamaun Gaharu
dan Mayor Hamid Azwar sebagai kepala Staf. Ketangkasan AG dalam bidang
Jurnalis, Kolonel Husein Yusuf mengajak AG Mutyara untuk memperkuat organisasi
Militer Aceh dalam bidang penerangan, sekaligus melakukan propaganda guna
meningkatkan semangat juang prajurit untuk melawan Belanda.
Kiprah
AG Mutyara dibidang penerangan Militer sesuai jabatan yang ia emban sebagai
Kepala Jawatan Penerangan Divisi Gajah I TNI Komandemen Sumatera dengan pangkat
Kapten. Salah satu karya besarnya adalah menerbitkan majalan tiga bulanan yang
diberi nama” Pahlawan” pada Tahun 1947 dan beliau langsung menjadi Redpelnya.
Penerbitan
majalah Pahlawan dalam rangka memotivasi prajurit TNI agar memiliki semangat
juang yang tinggi, termasuk ulasan jitu tentang strategi perang dan pengetahuan
tentang kemiliteran secara universal.
AG
Mutyara juga dipercayakan menjadi Ketua Redaksi Majalah Dharma, yaitu majalah
kebudayaan yang memuat karangan-karangan bertema sejarah, politik, sosial,
ekonomi, seni dan sastra. Situasi politik menghadapi agresi Belanda serta
restruktururisasi kelembagaan TNI berimplikasi pada posisi jabatan AG Mutyara
dinaikkan satu tingkat menjadi Mayor. Salah satu peran Mayor AG sebagai kepala
Penerangan TNI Divisi X Komandemen Sumatera dalam menghadapi Agresi Militer II
Belanda adalah menggelorakan semangat jihad melalui pena dalam melawan Belanda
dan juga lewat pesan Radio Rimba Raya.
AG Mutyara Meninggalkan
Militer
Tahun
1949 Pemerintah Pusat melakukan reorganisasi dan rasionalisasi terhadap
organisasi TNI, khususnya Angkatan Darat. Kebijakan tersebut membawa dampak
yang tidak menguntungkan bagi Aceh. 1 November 1949, Divisi X/TNI Komandemen
Sumatera diubah menjadi Komando Tentara dan Teritorium (TT) Aceh, membawahi dua
Brigade, yang bermarkaz di Bireun (Brigade I) dan Kutaraja (Brigade II). Pada Tahun
1951 Komando TT Aceh diperkecil lagi menjadi hanya satu Brigade CC yang
tergabung dalam TT I/Bukit Barisan selanjutnya dirampingkan lagi setingkat
Resimen. Dalam waktu yang tidak lama Brigade inipun dipindah ke Tarutung,
Sumatera Utara dan diganti menjadi Brigade AA dibawah Komando Mayor Hasballah
dan Mayor Husen Syah sebagai kepala staf.
Kekecewaan
ini kian bertambang dengan dileburnya Provinsi Aceh menjadi keresidenan Aceh
yang berada di bawah Provinsi Sumatera Utara. Bukan hanya AG Mutyara yang
kecewa, akan tetapi semua rakyat Aceh kecewa kala itu. Termasuk Daud Beureuh yang pernah menjabat sebagai
Gubernur Militir Aceh, Langkat dan Tanah Karo menyatakan pemberontakan terhadap
Pemerintah Pusat dengan mengusung bendera Darul Islam/Tentara Islam Indonesia
(DI/TII). Selanjutnya pada tanggal 20 September 1953 Teungku Muhammad Daud
Beureuh yang juga tokoh Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) menyatakan Aceh
sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia (NII) Kartosuwiryo. Puncak dari
kekecawaannya AG Mutyara mengundurkan diri dari TNI dan kemudian bergabung
dengan DI/TII Aceh yang diberikan amanah oleh Daud Beureuh sebagai Menteri
Perdagangan DI/TII.
AG
Mutyara juga menjadi tokoh sentral dalam merajut kembali keretakan DI/TII Aceh
dengan Pemerintah Republik Indonesia dengan membentuk Dewan Revolusi. Dewan
Revolusi ini akhirnya merajut kembali harmonisasi Aceh dengan Pemerintah
Republik Indonesia,sehingga berdamai. Berkat jasanya pula pemerintah menawarkan
kembali agar ia aktif kembali sebagai anggota TNI, akan tetapi tawaran itu ia
tolak.
AG
Mutyara memilih jalan lain menjadi pengusaha, Jurnalis dan Santrawan. Kelincahan
dan kepiawaiannya dalam menarasikan setiap peristiwa membuat ia tertarik
membuat media. Dimana sebelumnya ia memang aktif menjadi Redaktur Surat Kabar
Aceh Sinbun. Beberapa karyanya cukup terkenal antara lain Sikembang Gugur,
kumpulan Novel, Menunggu di Pelembahan.
Ia
pun dinilai sukses sebagai pengusaha perkebunan yang diberi nama PT.
Parasawita. Keberhasilannya dalam bidang bisnis, menjadikannya sebagai salah
seorang pengusaha yang disegani di Kota Medan dan ia akhirnya menginisiasi
pendirian Organisasi Pengusaha asal Aceh di Kota Medan yang diberi nama Aceh
Sepakat. Tentunya keberhasilan AG Mutyara tidak terlepas dari peran ayah dan
bundanya. AG Mutyara layak dinobatkan sebagai salah satu tokoh Aceh yang
berjasa dalam merebut kemerdekaan Republik Indonesia. Wallahu`alam binshawab
*Penulis
adalah Direktur ARI dan Dosen FSH UIN Ar-Raniry
Tidak ada komentar:
Posting Komentar