Laman

16 Feb 2013

KEBIJAKAN PARIWISATA DI ACEH (Analisis Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan)


Oleh: Muhammad Syarif


BAB I
PENDAHULUAN



A. Latar Belakang Permasalahan
           
        Kebijakan penyelenggaraan kepariwisataan pada prinsipnya diarahkan untuk peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur melalui peningkatan pendapatan nasional, perluasan dan pemerataan kesempatan usaha dan lapangan kerja. Untuk mewujudkan maksud penyelenggaraan kepariwisataan itu,  diperlukan keterpaduan peranan pemerintah dan pemerintah daerah, badan usaha dan masyarakat secara serasi sehingga dapat mewujudkan potensi pariwisata nasional yang memiliki kemampuan daya saing baik ditingkat regional maupun global.
    
 Di samping itu, penyelenggaraan kepariwisataan harus memberi manfaat secara merata bagi setiap warga negara di seluruh tanah air. Pemerintah berkewajiban untuk menjamin agar domain kepariwisataan sebagai salah hak setiap warga negara dapat ditegakkan sehingga mendukung tercapainya peningkatan harkat dan martabat manusia dan peningkatan kesejahteraannya. Sekaligus kepariwisataan telah berkembang menjadi suatu fenomena global, menjadi kebutuhan dasar, serta menjadi bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) yang harus dihormati dan dilindungi.
     
Dalam berhadapan dengan perubahan global dan penguatan hak masyarakat atas kepariwisataan, maka perlu dilakukan pembangunan kepariwisataan yang bertumpu pada keanekaragaman, keunikan dan kekhasan bangsa. Dengan demikian pembangunan kepariwisataan dapat dijadikan sarana untuk menciptakan kesadaran atas identitas nasional dan  kebersamaan dalam keberagaman. Pembangunan kepariwisataan dikembangkan dengan pendekatan pertumbuhan dan pemerataan ekonomi untuk kesejahteraan rakyat dan pembangunan yang berpotensi pada pengembangan wilayah, bertumpu dan memberdayakan masyarakat.
    
Wisata Bahari menjadi idol Turis Asing
Bertolak dari kerangka itu, maka dikeluarkanlah Undang-undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang kepariwisataan yang kemudian dirubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Huruf c konsideran Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009 menegaskan bahwa kepariwisataan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang dilakukkan secara sistematis, terencana, terpadu, berkelanjutan dan bertanggung jawab dengan tetap memberikan perlindungan terhadap nilai-nilai agama, budaya yang hidup dalam masyarakat, kelestarian dan mutu lingkungan hidup serta kepentingan nasional.
    
Keindahan Pantai Barat-Selatan
Oleh karenanya Pasal 6 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009 menjelaskan, pembangunan kepariwisataan diwujudkan melalui pelaksanaan rencana pembangunan kepariwisataan dengan memperhatikan keanekaragaman, keunikan dan kekhasan budaya dan alam, serta kebutuhan manusia untuk berwisata. Rumusan arah kepariwisataan yang lebih operasional tertuang dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 1996 tentang Penyelenggaraan Kepariwisataan menerangkan bahwa penyelenggaraan kepariwisataan dilaksanakan dengan memperhatikan:
  1. Kemampuan untuk  mendorong dan meningkatkan perkembangan kehidupan ekonomi dan sosial budaya;
  2. Nilai-nilai agama, adat istiadat, serta pandangan dan nilai-nilai  yang hidup dalam masyarakat;
  3.  Kelestarian budaya dan mutu lingkungan hidup; dan
  4. Kelangsungan usaha wisata.

    Lebih lanjut Pasal 7 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009 mengungkapkan lingkup pembangunan kepariwisataan meliputi; a) Industri Parawisata, b) Destinasi Parawisata, c) Pemasaran dan d) Kelembagaan Kepariwisataan. Agar kondisi yang mendukung penyelenggaraan kepariwisataan dapat terlaksana, maka  berdasarkan Pasal 8 dan Pasal 9 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009 pembangunan kepariwisataan di daerah dilakukan berdasarkan Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah (RIPKD) Provinsi dan Kabupaten/Kota yang diatur dengan Peraturan Daerah.
      
Prasasti Kapal Apung
Ketentuan di atas memberi isyarat bahwa daerah memiliki kewenangan  menyelenggarakan kepariwisataan berdasarkan Rencana Induk pembangunan Kepariwisataan Daerah. Demikian juga bagi daerah Provinsi Aceh, sebagai daerah yang memiliki beberapa keistimewaan, maka kebijakan kepariwisataan dimaksud menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam implementasi keistimewaan Provinsi Aceh yang diberikan berdasarkan Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan  Keistimewaan Daerah Istimewa Aceh. Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 mengakui ada 4 (empat) keistimewaan Provinsi Aceh: a) Penyelenggaraan kehidupan beragama, b) Penyelenggaraan kehidupan adat, c) Penyelenggaraan kehidupan pendidikan, dan d) Peran ulama dalam menetapkan kebijakan daerah.       Penyelenggaraan kehidupan beragama di Provinsi Aceh diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan Syariat Islam bagi pemeluknya.
    
Pantai Aceh Besar
Pasal 18 B ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Dengan demikian “Perkataan Khusus” memiliki cakupan yang luas.[1] Antara lain dimungkinkan untuk membentuk pemerintah daerah dengan otonomi khusus. Oleh karena itu bagi provinsi Aceh telah diundangkan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Undang-undan
g ini memberikan kekhususan dan pengaturan yang berbeda dalam pengelolaan pemerintahan.
          Kehadiran Undang-undang  Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh telah memberi ruang atau wadah bagi keistimewaan Aceh untuk  dapat diaktulisasi kembali. Karenanya, maka kebijakan pembangunan kepariwisataan di provinsi Aceh harus dilihat dalam kerangka wilayah kekhususannya. Sehingga kebijakan-kebijakan kepariwisataan dapat dilaksanakan dan tidak bertentangan satu sama lain (antara kebijakan pusan dan daerah).

B. Rumusan Masalah

    Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka dapatlah dirumuskan permasalahannya sebagai berikut:
  1. Apakah kebijakan kepariwisataan dapat dilaksanakan sesuai dengan harapan.
  2. Apakah yang menjadi kendala dalam pelaksanaan kebijakan kepariwisataan di provinsi Aceh.



BAB II
LANDASAN TEORITIS
A. Otonomi Daerah

      Susunan Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri dari dua tingkat, yaitu tingkat pusat dan tingkat daerah. Susunan negara tingkat pusat mencerminkan seluruh cabang-cabang pemerintahan negara dan fungsi kenegaraan pada umumnya. Di tingkat daerah terbatas pada susunan penyelenggaraan pemerintahan (eksekutif) dan unsur-unsur pengaturan (regeleren) dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan.
      Keberadaan susunan pemerintah daerah (tingkat lebih rendah) merupakan salah satu sendi ketatanegaraan Republik Indonesia. Hal ini secara eksplisit terlihat dalam Pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 sebagai sumber penyelenggaraan pemerintahan tingkat lebih rendah.
Pasal 18:

(1)   Negara Republik Indonesia di bagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.
(2)   Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
(3)   Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.
(4)   Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala  pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis.
(5)   Pemerintah daerah menjalan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat.
(6)   Pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
(7)   Susunan dan tatacara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang.


Pasal 18 A

(1) Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.
(2)   Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.

Pasal 18 B

(1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.
(2)   Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat  beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. 

Pantai Ulee Lheu
   Dengan demikian dapat dipahami bahwa Pasal 18 UUD 1945 sebagai normatifisasi gagasan yang mendorong pemakaian otonomi sebagai bentuk dan cara menyelenggarakan pemerintahan tingkat daerah. Dalam hal ini The Liang Gie berpendapat bahwa otonomi hanya dapat diwujudkan melalui desentralisasi yaitu penyerahan urusan pemerintahan dari pemerintah atau daerah tingkat atasnya (pemerintah pusat) kepada daerah (pemerintah daerah) menjadi urusan rumah tangga sendiri.[2] Desentralisasi tidak lain bertujuan untuk memberikan wewenang, tugas dan tanggung jawab kepada daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan rumah tangganya sendiri.
     
Masjid Agung, Meulaboh-Aceh Barat
Sejarah penyelenggaraan Pemerintah Republik Indonesia menunjukkan bahwa otonomi daerah merupakan salah satu sendi penting penyelenggaraan  pemerintahan negara. Otonomi daerah diadakan bukan sekedar menjamin efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan. Bukan pula sekedar menampung kenyataan negara yang luas, penduduk banyak dan beribu-ribu pulau. Akan tetapi otonomi daerah merupakan dasar memperluas pelaksanaan demokrasi dan instrumen dalam rangka mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, bahkan tidak kalah pentingnya bahwa otonomi daerah merupakan salah satu sendi ketatanegaraan Republik Indonesia.[3] Daerah-daerah otonom yang bebas dan mandiri mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, merasa diberi tempat yang layak dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga tidak ada alasan untuk keluar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.[4]
     Dalam perkembangan ketatanegaraan, pemberian otonomi kepada daerah pada umumnya dikenal 2 (dua) sistem otonomi yang pokok, yaitu:
1.       Sistem otonomi materiil atau pengertian rumah tangga materiil (materuele huishoudingsbegrip);
2.   Sistem otonomi formil, atau pengertian rumah tangga formil (formeele huishoudingsbegrip).
       Di samping itu, ada juga sistem lain yang merupakan kombinasi  antara kedua sistem itu, yakni:
3.  Sistem otonomi riil, atau pengertian rumah tangga riil (riele huishoudingsbegrip).[5]

     Dalam sistem otonomi materiil, antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah ada pembagian tugas (wewenang dan tanggung jawab) yang eksplisit (diperinci dengan tegas) dalam undang-undang. Artinya otonomi daerah itu hanya meliputi tugas-tugas yang telah ditentukan satu per satu, jadi bersifat definitif. Hal itu berarti pula, apa yang tidak tercntum dalam undang-undang, tidak termasuk urusan pemerintah daerah otonom, tetapi urusan pemerintah pusat.[6]
      Di dalam pengertian sistem otonomi formil, tidak ada perbedaan sifat antara urusan-urusan yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat dan oleh daerah-daerah otonom. Pembagian wewenang, tugas dan tanggung jawab antara pusat dan daerah untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan tertentu tidak dibatasi secara positif atau ditetapkan secara rinci.[7]
      Pandangan yang dipakai dalam sistem ini adalah tidak ada perbedaan sifat antara urusan yang diselenggarakan pusat dan yang diselenggarakan daerah. Apa saja yang dapat diselenggarakan oleh pusat pada dasarnya dapat pula diselenggarakan oleh daerah. Pembagian tugas, wewenang dan tanggung jawab untuk mengatur dan mengurus suatu urusan pemerintahan semata-mata didasarkan pada keyakinan bahwa suatu urusan pemerintahan akan lebih baik dan lebih berhasil kalau diurus dan diatur oleh satuan pemerintah tertentu.[8]
   Dalam sistem otonomi nyata ini penyerahan urusan atau tugas dan kewenangan kepada daerah didasarkan pada faktor yang nyata atau riil, sesuai dengan kebutuhan atau kemampuan yang riil dari daerah maupun pemerintah pusat serta pertumbuhan masyarakat yang terjadi. Oleh karena itu pemberian tugas dan kewejiban serta wewenang ini didasarkan pada keadaan yang riil di dalam masyarakat, membawa konsekuensi bahwa tugas atau  urusan yang selama ini menjadi wewenang pemerintah pusat dapat diserahkan kepada pemerintah daerah, dengan memperhatikan kemampuan masyarakat daerah untuk mengaturnya dan mengurusnya sendiri. Sebaliknya, tugas yang telah menjadi kewenangan daerah pada suatu ketika, bilamana dipandang perlu dapat ditarik kembali oleh pemerintah pusat.[9]

B. Demokrasi

      Menurut Bagir Manan bahwa keperluan memberikan otonomi kepada daerah yaitu dalam rangka melaksanakan dasar kedaulatan rakyat.[10]Paham kedaulatan rakyat tercermin dalam Pasal 1 ayat (2) Undang Undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa ”kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Diktum pasal tersebut bermakna bahwa agar pemerintahan selalu dijalankan dengan tidak menyimpang dari keinginan rakyat.
       Sebelum perubahan Pasal 18 UUD 1945, menyebutkan pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara dan hak-hak asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa. Kata-kata dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara tidak diragukan lagi mengandung makna demokrasi.[11]
       Dengan demikian dapat dikatakan bahwa prinsip kedaulatan rakyat melihat bahwa kekuasaan itu berasal dari rakyat, sehingga dalam penyelenggaraan pemerintahan harus berpegang pada kehendak rakyat. Kedaulatan rakyat atau kerakyatan secara harfiah berarti kekuasaan tertinggi ada pada rakyat. Negara yang menempatkan kekuasaan tertinggi pada rakyat disebut negara demokrasi. Demokrasi diartikan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.[12] Artinya, kekuuasaan itu pada pokoknya diakui berasal dari rakyat, dan karena itu rakyatlah yang sebenarnya menentukan dan memberi arah serta yang sesungguhnya menyelenggarakan kehidupan kenegaraan. Keseluruhan sistem penyelenggaraan negara itu pada dasarnya juga diperuntukkan bagi seluruh rakyat itu sendiri. Bahkan negara yang baik diidealkan pula agar diselenggarakan bersama-sama dengan rakyat dalam arti dengan melibatkan masyarakat dalam arti yang seluas-luasnya.
      Kranenburg (dalam Kuntjoro Poerbopranoto) menafsirkan kata ”democratie” sebagai  cara memerintah negara oleh rakyat. Tidak digolongkan ke dalam pengertian demokrasi adalah pemerintahan yang dilaksanakan oleh seseorang (absolute monarchie) dan pemerintahan yang dilakkukan oleh golongan kecil rakyat saja.[13]
      Oleh karena itu, suatu negara yang menjalankan demokrasi menurut Arend Lijphart yang dikutip oleh Husni Jalil, apabila dipenuhi unsur-unsur sebagai berikut:[14]
1.    Freedom to form and joint organization (ada kebebasan untuk membentuk dan menjadi anggota perkumpulan);
2.       Freedom of expression (ada kebebasan menyatakan pendapat);
3.       The right to vote (hak untuk memilih);
4.       Eligibility gor public office (hak untuk dipilih);
5.    The right of political leaders to compete for support and votes (hak bagi bagi aktivis politik untuk berkampanye untuk memperoleh dukungan atau suara);
6.       Alternative sources of information (terdapat berbagai sumber informasi);
7.       Free and fair elections (ada pemilihan yang bebas dan jujur)
8.   Institutions for making government policies depend on votes and other expressions of preference (semua lembaga bertugas merumuskan kebijaksanaan pemerintah, harus tergantung pada keinginan rakyat).
         Bagaimana kaitan  antara otonomi dengan dengan demokrasi,  dalam hal ini Muh. Yamin menegaskan bahwa di dalam susunan negara yang demokratis dibutuhkan pemencaran kekuasaan pemerintahan bagian pusat sendiri (horizontal) dan pembagian kekuasaan antara pusat dengan daerah. Asas demokrasi dan desentralisasi berlawanan dengan asas yang hendak menghimpun segala-galanya pada pusat pemerintahan.[15]
     Pendapat di atas, menunjukkan otonomi daerah dan desentralisasi merupakan bagian dari negara yang menganut faham demokrasi, karena tanpa otonomi dan desentralisasi negara bukan lagi demokrasi melainkan dapat menjadi otokrasi. Sistem desentralisasi dengan memberikan hak otonomi kepada daerah-daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan bukan sekedar reaksi terhadap sistem penyelenggaraaan pemerintahan Hindia Belanda yang serba sentralistik, melainkan atas dorongan untuk membentuk ssuatu pemerintahan yang demokratis dimana seluruh rakyat bertanggung jawab. Otonomi haruslah menjadi salah satu sendi susunan pemerintahan yang demokratis, artinya  di negara demokrasi dituntut adanya pemerintahan yang memperoleh hak otonomi.

C. Negara Hukum

       Dalam negara demokrasi yang berkedaulatan rakyat, menempatkan rakyat sebagai pilar utama dalam penentuan kebijakan negara mengandung arti bahwa kekuasaan rakyat bukanlah tidak tak terbatas, melainkan dibatasi oleh hukum dan sekaligus pula menempatkan hukum di atas kekuasaan atau supreme dibandingkan semua alat kekuasaan yang ada. Dengan kata lain negara menempatkan hukum sebagai dasar kekuasaannya dan penyelenggaraan kekuasaan tersebut dalam segala bentuknya dilakukan di bawah kekuasaan hukum.
      Sebelum perubahan ketiga, dalam Undang-Undang Dasar 1945 tidak terdapat istilah negara hukum, namun dalam penjelasan Undang-Undang Dasarr 1945 terdapat istilah ”negara berdasarkan atas hukum (Rechtsstaat). Setelah perubahan ketiga Undang-Undang Dasar 1945 dalam Pasal 1 ayat (3), secara tegas disebutkan bahwa ”Negara Indonesia adalah negara hukum”.[16]
   Negara hukum mengandung unsur pembatasan kekuasaan, sehingga pengertian mendasar dari negara hukum adalah kekuasaan berdasarkan hukum dan semua orang sama di depan hukum. Dalam bahasa lain negara yang menempatkan hukum sebagai dasar kekuasaan negara dan penyelenggaraan kekuasaan tersebut dalam segala bentuknya dilakukan di bawah kekuasaan hukum.
    Dalam hal ini Abdul Hakim Nusantara, mengatakan bahwa UUD 1945 menganut prinsip negara hukum (rechtsstaat) yang berorientasi pada prinsip demokrasi dan keadilan sosial dan ada beberapa syarat untuk terlaksananya negara hukum:[17]
1. Adanya sistem pemerintahan negara yang didasarkan pada asas kedaulatan rakyat;
2. Adanya pembagian kekuasaan yang seimbang antara lembaga-lembaga pemerintah (eksekutif), legislatif dan yudikatif;
3.  Adanya peran social control anggota masyarakat untuk turut mengawasi pelaksanaan kebijaksanaan pemerintah;
4.  Berlakunya asas supremasi hukum bahwa tindakan pemerintah senantiasa didasarkan atas hukum  positif yang berlaku;
5.  Adanya lembaga peradilan yang bebas dan mandiri dengan diikuti peran masyarakat melakukan social control;
6.    Adanya jaminan untuk perlindungan hak asasi manusia;
7.    Adanya sistem perekonomian yang menjamin pembangunan yang merata bagi kemakmuran warga negara.
      Philipus M.Hadjon, makna yang paling mendalam dari negara hukum Indonesia  (Pancasila) adalah:[18]
  1. Keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kemakmuran;
  2. Hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan-kekuasaan negara;
  3. Prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan merupakan sarana terakhir;
  4. Keseimbangan antara hak dan kewajiban.
      Menurut faham klasik, negara hukum mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:[19]
  1. Ada UUD sebagai peraturan tertulis yang mengatur hubungan antara pemerintah dan warganya;
  2. Ada pembagian kekuasaan (machtenscheiding)  yang secara khusus menjamin suatu kekuasaan kehakiman yang merdeka;
  3. Ada pemencaran kekuasaan negara/pemerintah (spreiding van destaatsmacht);
  4. Ada jaminan terhadap hak asasi manusia;
  5. Ada jaminan persamaan di muka hukum dan jaminan perlindungan hukum;
  6. Ada legalitas, pelaksanaan kekuasaan pemerintahan harus didasarkan atas hukum.
     Dari berbagai ciri negara hukum di atas, ada beberapa yang berkaitan langsung dengan desentralisasi (otonomi), dimana prinsip pemencaran kekuasaan merupakan suatu keharusan sebagaimana diatur dalam Pasal 18 UUD 1945. Dengan kata lain secara konstitusional pemencaran kekuasaan menurut UUD 1945 hendak dilakukan melalui desentralisasi. Pemecahan kekuasaan menurut desentralisasi dilakukan melalui badan-badan publik. Badan badan tersebut adalah badan yang mandiri pemdukung wewenang, tugas dan tanggung jawab yang mandiri, sehingga organ-organ atau kelengkapan pemerintah desentralisasi tidak berada dalam kedudukan hubungan berjenjang dengan organ-organ satuan pemerintahan tingkat lebih atas.

BAB III
PEMBAHASAN

A.   Kebijakan Kepariwisataan Dalam Kerangka Otonomi
        Dalam sepanjang sejarah negara Republik Indonesia senantiasa terjadi tolak tarik atau pasang surut dan pasang naik secara bergantian antara desentralisasi dan sentralisasi kekuasaan. Pertukaran pola itu selalu  berkembang sejalan dengan pergantian sistem politik. Desentralisasi dan otonomi cendrung menguat ketika sistem politik tampil demokratis, sedangkan dekonsentrasi mengemuka ketika sistem politik tampil otoriter.
       Prinsip otonomi daerah dan desentralisasi  dalam hubungan kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah merupakan salah satu cara untuk mengimplementasi prinsip demokrasi. Artinya prinsip demokrasi itu harus diimplementasikan melalui pemencaran kekuasaan baik secara horizontal maupun secara vertikal. Suatu kekuasaan yang tidak dipencar bukanlah kekuasaan yang dapat diterima di negara demokrasi, melainkan merupakan model kekuasaan yang terjadi di negara-negara dengan sistem politik yang absolut atau otoriter.
       Pemencaran kekuasaan secara horizontal (kesamping) melahirkan lembaga-lembaga negara di tingkat pusat yang berkedudukan sejajar seperti legislatif, eksekutif dan yudikatif yang diatur dengan mekanisme check and balances, sedangkan pemencaran kekuasaan vertikal melahirkan pemerintah pusat dan pemerintah daerah otonom yang memikul hak desentralisasi.
     Jika ditelaah desentralisasi memang bukan satu-satunya bentuk implementasi dari prinsip demokrasi karena di dalam sistem yang sentralistik pun demokrasi masih dapat dilaksanakan, tetapi adanya desentralisasi dan otonomi daerah memberi jaminan yang lebih kuat bagi pelaksanaan demokrasi di negara yang menganut bentuk susunan negara kesatuan.
         
     Menurut Mahfud MD, meskipun secara formal pemerintah orde baru menyebut ”otonomi” dan ”desentralisasi” sebagai bagian sistem politik yang dibangunnya, sebenarya yang dibangun adalah ”sentralisasii dan otoriterisme. Desentralisasi dan otonomi menjadi semu dan sekedar formalitas saja.[20]
       Tolak tarik konfigurasi politik yang demokratis dan otoriter  terjadi sepanjang sejarah republik Indonesia, sehingga pola hubungan pusat dan daerah juga memberi kesan terjadi proses eksperimental karena selalu berubah-ubah sejalan dengan perubahan konfigurasi politiknya. Ketika era reformasi lahir sebagai pertanda tergesernya konfigurasi politik otoriter Orde Baru, dan munculah konfigurasi politik yang demokratis.
       Dalam keadaan demokratis ini makalah terbukalah peluang desentralisasi dan otonomi. Di Provinsi Aceh melalui Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 menjadi titik awal sebagai wadah bagi penyelenggaraan keistimewaan Aceh yang sudah tertahan selama sekian lama. Diikuti dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Sejak itu keistimewaan Aceh menemukan legitimasi yuridiknya.
        Berdasarkan Pasal 18 UUD 1945 membuka kemungkinan penyelenggaraan pemerintahan di Aceh disesuaikan dengan sistem  adat dan budayanya.Maka lahirlah Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Lebih lanjut sesuai dengan perkembangan politik lokal, maka UU No.18 Tahun 2001 dicabut dan digantikan dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
        Pasal 165 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 memberi kewenangan kepada pemerintah Aceh dan Kabupaten/Kota mengelola wisata dan pengelolaan kepariwisataan menurut undang-undang tersebut akan diatur dengan Qanun. Akan  tetapi sampai hari ini Qanun tentang Kepariwisataan belum ada. Maka untuk itu kebijakan kepariwisataan  dapat dilihat dalam  undang-undang nasional. Kebijakan kepariwisataan secara nasional dituangkan dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan dan Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 1996 tentang Penyelenggaraan Kepariwisataan. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1990 kemudian dicabut dan digantikan dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan.
          ngelolaan dan Pengurusan Kepariwisataan Pasca Diundangkannya UU No.10 Tahun 2009 oleh BOY YENDRA TAMIN
      Selain sudah berusia hampir 20 tahun, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan menitik beratkan pada usaha pariwisata. Oleh karena itu, sebagai salah satu syarat untuk menciptakan iklim yang kondusif dalam pembangunan kepariwisataan yang bersifat menyeluruh dalam rangka menjawab tuntutan zaman akibat perubahan lingkungan strategis, baik eksternal maupun internal, pemerintah bersama DPR mengganti mengganti Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1990 dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009.
Pengelolaan dan Pengurusan Kepariwisataan Pasca Diundangkannya UU No.10 Tahun 2009 oleh BOY YENDRA TAMIN
      Dari latar belakang pemikiran atas penggantian UU No 9 Tahun 1990 sebagaimana dikemukakan di atas, tentu saja konseksuensinya melahirkan perubahan paradigma, konsepsi dan perubahan regulasi dibidang kepariwisataan di Indonesia. Hal ini tercermin dari prinsip-prinsip penyelenggaraan kepariwisataan, yakni: (a). menjunjung tinggi norma agama dan nilai budaya sebagai pengejawantahan dari konsep hidup dalam keseimbangan hubungan antara manusia dan Tuhan Yang Maha Esa, hubungan antara manusia dan sesama manusia, dan hubungan antara manusia dan lingkungan; b. menjunjung tinggi hak asasi manusia, keragaman budaya, dan kearifan lokal; (c). memberi manfaat untuk kesejahteraan rakyat, keadilan, kesetaraan, dan proporsionalitas; (d.) memelihara kelestarian alam dan lingkungan hidup; (e). memberdayakan masyarakat setempat; (f). menjamin keterpaduan antar sektor, antar daerah, antara pusat dan daerah yang merupakan satu kesatuan sistemik dalam kerangka otonomi daerah, serta keterpaduan antar pemangku kepentingan; (g). mematuhi kode etik kepariwisataan dunia dan kesepakatan internasional dalam bidang pariwisata; dan (h). memperkukuh keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
lolaa Kepariwisataan Pasca Diundangkannya UU No.10 Tahun 2009 oleh BOY YENDRA TAMIN
usca Diundangkannya UU No.10 Tahun 2009 oleh BOY YENDRA TAMIN
olaan durusataan Pasca Diundangkannya UU No.10 Tahun 2009 oleh BOY YENDRA TAMIN
     Lumrah disetiap terjadi perubahan atau pergantian UU, maka dengan sendirinya akan mempengaruhi kebijakan dan regulasi dari bidang yang diatur UU bersangkutan.
Sama halnya dengan diundangkannya UU No 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan sebagai pengganti UU No.9 Tahun 1999, mau tidak mau daerah harus menyesuaikan diri pengaturan dan pengeloaan bidang kepariwisataan.
Pengelolaan dan Pengurusan Kepariwisataan Pasca Diundangkannya UU No.10 Tahun 2009 oleh BOY YENDRA TAMIN
        Disadari atau tidak di bawah UU No 9 Tahun 1990 kecenderungan kegiatan kepariwisataan memang lebih tertuju pada usaha pariwisata. Disetiap kali kita membicarakan soal kepariwisataan pikiran kita tertuju lepada objek-objek wisata dan disisi lain bagi pemerintah sendiri yang diharapkan usaha pariwisata diharapkan memberikan kontribusi bagi pendapatan negara/daerah, apakah dalam bentuk pajak, restribusi dan lain-lain.
Pengelolaan dan Pengurusan Kepariwisataan Pasca Diundangkannya UU No.10 Tahun 2009 oleh BOY YENDRA TAMIN
      Tidak ada yang salah memang dengan dominasi pembangunan kepariwisataan yang lebih menitik beratkan pada usaha pariwisata. Tetapi dari perjalanannya, usaha pariwisata tidak berjalan dengan mulus dan berkembang pesat. Banyak usaha-usaha pariwisata yang gulung timar atau berjalan ditempat dengan berbagai hambatan dan penyebab. Bahkan kunjungan wisata dan jumlah wisatawan yang selama ini sering dijadikan indikator untuk mengukur tingkat kemajuan dunia kepariwisataan tampaknya masih semu dan temporer.
ngelolaan dansataan Pasca Diundangkannya UU No.10 Tahun 2009 oleh BOY YENDRA TAMIN
gelolaan dan Pengurusan Kepariwisataan Pasca Diundangkannya UU No.10 Tahun 2009 oleh BOY YENDRA TAMIN
      Kondisi itu tidak terlepas dari aturan hukum, kebijakan dan regulasi di bidang kepariwisataan selama ini  setidaknya dibawah payung UU No.9 Tahun 1999 yang memang menempatkan pengaturan dan pengelolaan kepariwisataan yang dominan dari sudut usaha pariwisata. Dengan diundangkannya UU No 10 Tahun 2009,masalah-masalah yang dihadapi selama ini akan bisa teratasi dan pembangunan kepariwisataan lebih berkepastian. Hal ini setidaknya ditunjukkan UU No.10 tahun 2009 yang menyatakan bahwa pembangunan kepariwisataan meliputi: (a) . industri pariwisata; (b) . destinasi pariwisata; (c). pemasaran; dan (d) kelembagaan kepariwisataan.
Pengelolaan dan Pengurusan Kepariwisataan Pasca Diundangkannya UU No.10 Tahun 2009 oleh BOY YENDRA TAMIN
      Pembangunan kepariwisataan tersebut dilakukan berdasarkan rencana induk pembangunan kepariwisataan yang terdiri atas rencana induk pembangunan kepariwisataan nasional, rencana induk pembangunan kepariwisataan provinsi, dan rencana induk pembangunan kepariwisataan kabupaten/kota. Ini berarti pada masa yang akan datang keberhasilan pembangunan kepariwisataan akan Sangat tergantung dari adanya rencana induk pembangunan kepariwisataan yang sekaligus menjadi pondasi dan pedoman bagi setiap pemangku kepentingan dunia kepariwisataan.

      Persoalannya kemudian, kerberhasilan itu ditentukan pula oleh sejauh mana pemerintah dan pemerintah daerah menyusun rencana induk pembangunan kepariwisataan itu dan sekaligus menjadi tugas besar. Rencana Induk pengembangan kepariwisataan itu secara nasional ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dan untuk propinsi, kabupaten/kota ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Artinya, dalam kaitan ini pemerintah daerah tidak cukup hanya memiliki Peraturan Daerah yang mengatur tentang penyelenggaraan dan restribusi izin usaha pariwisata dan retribusi tempat rekreasi.
Pengelolaan dan Pengurusan Kepariwisataan Pasca Diundangkannya UU No.10 Tahun 2009 oleh BOY YENDRA TAMIN
oleh BOY YENDRA TAMIN
Polaan dan Pengurusan Kepariwisataan Pasca Diundangkannya UU No.10 Tahun 2009 oleh BOY YENDRA TAMIN
       Apabila dalam UU yang baru pariwisata merupakan berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah, maka konsepsi ini tentu lebih luas konsepsi pariwisata yang selama ini dipahami sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata, termasuk pengusahaan obyek dan daya tarik wisata serta usaha–usaha yang terkait dibidang tersebut. Dalam konsepsi pariwisata yang baru dunia kepariwisataan melibatkan secara aktif masyarakat, pengusaha dan pemerintah (pusat/daerah) dengan tugas, peran, hak dan kewajiban masing-masing.
Pengelolaan Pengurusan Kepariwisataan Pasca Diundangkannya UU No.10 Tahun 2009 oleh BOY YENDRA TAMIN
ngelolaan dngurusan Kepariwisataan Pasca Diundangkannya UU No.10 Tahun 2009 oleh BOY YENDRA TAMIN
ngelolaan dan Pengurusan Kepariwisataan Pasca Diundangkannya UU No.10 Tahun 2009 oleh BOY YENDRA TAMIN
     Dengan adanya kewenangan yang jelas yang sudah ditetapkan dalam UU, maka tentu pemerintah daerah membentuk peraturan-peraturan daerah untuk meingimplentasi kewenangan yang sudah diberikan undang-undang. Adanya kewenangan yang jelas tentu seharusnya tidak ada lagi tumpang tindih pengaturan dan pengelolaan kepariwisataan sebagaimana yang terjadi selama ini. Pada sisi lain, pembuatan peraturan daerah dalam mengurus dan mengelola kepariwisataan yang sistematis akan memberikan kepastian berusaha dan kepastian hukum bagi setiap pemangku kepentingan pembangunan kepariwistaan. [21]
Pengelolaan dan Pengurusan Kepariwisataan Pasca Diundangkannya UU No.10 Tahun 2009 oleh BOY YENDRA TAMIN
       Dengan arah dan tujuan penyelenggaraan kepariwisataan berdasarkan UU No 10 Tahun 2009 mengalami orientasi yang berbeda tajam dibanding UU No 9 Tahun 1990. Penyelenggaraan kepariwisataan bukan lagi memperkenalkan, mendayagunakan, melestarikan dan meningkatkan mutu obyek dan daya tarik wisata, melainkan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, menghapus kemiskinan, mengatasi pengangguran. Disamping melestarikan alam, lingkungan, dan sumber daya; memajukan kebudayaan; mengangkat citra bangsa; memupuk rasa cinta tanah air; memperkukuh jati diri dan kesatuan bangsa; dan mempererat persahabatan antarbangsa.
Pengelolaan dan Pengurusan Kepariwisataan Pasca Diundangkannya UU No.10 Tahun 2009 oleh BOY YENDRA TAMIN
     Jika demikian, penyelenggaraan dan pengeloaan usaha pariwisata mau tidak mau harus diurus dan dikelola secara profesional. Hal ini tentu saja, peraturan-peraturan daerah yang memuat dan mengatur pengurusan dan pengelolaan kepariwistaan mengarah atau memuat usaha kepariwisataan bermutu dan sesuai dengan estándar yang sudah ditetapkan disamping sertifikasi. Artinya, peraturan-peraturan daerah mengenai kepariwisataan tidak dapat lagi sekedar mengejar restribusi atau pengendalian, melain berupa peraturan daerah yang memberikan perspektif bagi pengembangan dunia usaha pariwisata yang diposisikan untuk meningkatkan pertumbuhan ekónomo atau menghapus kemiskinan.
Pengelolaan dan Pengurusan Kepariwisataan Pasca Diundangkannya UU No.10 Tahun 2009 oleh BOY YENDRA TAMIN
          olaan
dan Pengurusan Kepariwisataan Pasca Diundangkannya UU No.10 Tahun 2009 oleh BOY YENDRA TAMIN
      Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa kebijakan kepariwisataan di provinsi Aceh di samping dapat dilakukan berdasar Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006, tetapi peraturan yang telah disebutkan di atas menjadi bagian penting untuk dilaksanakan. Artinya kebijakan kepariwisataan di provinsi Aceh dilaksanakan dengan prinsip menjunjung nilai-nilai budayadan agama, pemberdayaan masyarakat, peka terhadap isi global dan meperkukuh keutuhan NKRI. 
nya UU
 No.10 Tahun 2009 oleh BOY YENDRA TAMIN
ngurusan Kepariwisataan Pasca Diundangkannya UU No.10 Tahun 2009 oleh BOY YENDRA TAMIN
B. Kendala Dalam Pelaksanaan Kebijakan Kepariwisataan di Aceh

       Berdasarkan beberapa hal yang telah dikemukakan konsep dan pemikiran pembangunan dan pengembangan kepariwisataan, menurut maka pemerintah daerah perlu melakukan revisi atau merumuskan kembali pengaturan-pengaturan tentang kepariwisataan yang sudah ditetapkan dalam peraturan daerah yang dibuat berdasarkan UU No 9 Tahun 1990, perlu segera disesuaikan dengan UU No.10 Tahun 2009.
        Apalagi dengan adanya kewajiban dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengembangkan dan melindungi usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi dalam bidang usaha pariwisata dengan cara: membuat kebijakan pencadangan usaha pariwisata untuk usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi; dan memfasilitasi kemitraan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi dengan usaha skala besar. Demikian pula ada pertintah Undang-undang terhadap Pemerintah Daerah mengalokasikan sebagian dari pendapatan yang diperoleh dari penyelenggaraan pariwisata untuk kepentingan pelestarian alam dan budaya
      Konsep kebijakan kepariwisataan yang telah ditetapkan secara nasional dan lokal tidak dapat dilaksanakan sebagaimana diharapkan oleh karena beberapa kendala:
  1. Qanun yang mengatur kepariwisataan di Aceh belum ada;
  2. Bandar wisata Islam belum ada konsep pelaksanaannya yang jelas;
  3. Pengalokasian dana untuk kepentingan kepariwisataan oleh pemerintah daerah amat kecil;
  4. Fasilitas infrastruktur menuju destinasi wisata tidak diperhatikan (terbengkalai)
  5. Promosi pariwisata masih sangat kurang, sehingga orang berfikir syari’at Islam tidak boleh berwisata   

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan

1.     Dengan arah dan tujuan penyelenggaraan kepariwisataan berdasarkan UU No 10 Tahun 2009 mengalami orientasi yang berbeda tajam dibanding UU No 9 Tahun 1990. Penyelenggaraan kepariwisataan bukan lagi memperkenalkan, mendayagunakan, melestarikan dan meningkatkan mutu obyek dan daya tarik wisata, melainkan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, menghapus kemiskinan, mengatasi pengangguran. Disamping melestarikan alam, lingkungan, dan sumber daya; memajukan kebudayaan; mengangkat citra bangsa; memupuk rasa cinta tanah air; memperkukuh jati diri dan kesatuan bangsa; dan mempererat persahabatan antarbangsa.

2. Kebijakan kepariwisataan dalam kerangka otonomi khusus di Aceh dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip kepariwisataan nasional dan memperhatikan kekhususan budaya dan agama atau ketentuan syariat Islam.P


B. Saran

  1. Pemerintah Aceh perlu menyusun Rencana Induk Pengembagan Pariwisata dalam rangka Visit Years 2013.
  2. Kepada pemerintah agar segera mepersiapkan Qanun Kepariwisataan sehingga pembangunan kepariwisataan di provinsi Aceh memiliki landasan yuridisnya.
  3. Promosi pariwisata perlu ditingkatkan, sehingga masyarakat (terutama masyarakat luar Aceh) memahami bahwa syari’at Islam bukanlah penghalang untuk berwisata.


DAFTAR KEPUSTAKAAN

A. Buku Teks

Abdul Hakim Garuda Nusantara, Politik Hukum Indonesia, LBHI, Jakarta, 1998.

Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah,  Pusat Studi Hukum, FH UII, Yogyakarta, 2001.

___________, Perjalanan Historis Pasal 18 UUD 1945, Unsika, Krawang, 1993.

Bhenyamin Hoessein, Hubungan Penyelenggaraan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah, Makalah, Universitas 17 Agustus 1945, Jakarta, 1999.

Boy Yendra Tamin, Peraturan Kepariwisataan, Makalah, Padang, 2009.

Husni Jalil, Eksistensi Otonomi Khusus Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Dalam Negara Kesatuan RI Berdasarkan UUD 1945, CV Utomo, Bandung, 2005.

Jimly Asshidiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-pilar Demokrasi, Cet ke-II, Konstitusi Press, Jakarta, 2005.

Krishna D.Darumurti dan Umbu Rauta, Otonomi Daerah, Perkembangan Pemikiran, Pengaturan dan Pelaksanaan, Cet II,  Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003.

Kuntjoro Poerbopranoto, Sistem Pemerintahan Demokrasi, Eresco, Bandung, 1978.

Moh.Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Gama Media, Yogyakarta, 1999.

Muh Yamin, Naskah Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982.

Philipus M.Hadjon,  Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya, 1987.

The Liang Gie, Pertumbuhan Pemerintah Daerah di Negara Republik Indonesia, Cet III, Liberty, Yogyakarta, 1995.


B. Peraturan Perundang-undangan

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh

Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan

Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 1996 tentang Penyelenggaraan Kepariwisataan.




                [1] Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum, FH UII, Yogyakarta, 2001, hal. 15.
            [2] The Liang Gie, Pertumbuhan Pemerintah Daerah di Negara Republik Indonesia, Jilid III, Liberty, Yogyakarta, 1995, hal.113.
            [3] Bagir Manan, Perjalanan Historis Pasal 18 UUD 1945, Unsika, Krawang, 1993, hal.46.
            [4] Bagir Manan, Op. Cit., hal.3.
            [5] Krishna D.Darumurti dan Umbu Rauta, Otonomi Daerah, Perkembangan Pemikiran, Pengaturan dan Pelaksanaan, Cet. Ke-II, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal.19.
                [6] I b I d, hal.20.
            [7] Bagir Manan, Op. Cit. hal. 76.
            [8] Husni Jalil, Eksistensi Otonomi Khusus Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Dalam Negara Kesatuan RI Berdasarkan UUD 1945, CV.Utomo,  Bandung,  2005, hal.89.
            [9] Krishna D.Darumurti dan Umbu Rauta, Op. Cit. Hal.22.
                [10] Bagir Manan, Op. Cit., Hal. 33.
            [11] Bhenyamin Hoessein, Hubungan Penyelenggaraan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah, Makalah, Universitas 17 Agustus 1945, Jakarta, 1999., hal.11.
            [12] Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-pilar Demokrasi, Cet ke-II.Konstitusi Press,  Jakarta, 2005, hal.241.
            [13] Kuntjoro Poerbopranoto, Sistem Pemerintahan Demokrasi, Eresco, Bandung, 1978, hal.6.
            [14] Husni Jalil, Op. Cit., hal. 29
            [15] Muh Yamin, Naskah Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, Cet.IV, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, hal.145.
            [16] Husni Jalil, Op. Cit., Hal. 39.
            [17] Abdul Hakim Garuda Nusantara, Politik hukum Indonesia, LBHI, Jakarta, 1988, hal. 123-124
            [18] Philipus M.Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya, 1987, hal. 90.
            [19] I b I d , hal. 135.
            [20] Moh.Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Gama Media, Yogyakarta, 1999, hal.184.
            [21] Boy Yendra Tamin, Peraturan Kepariwisataan, Makalah, Padang, 2009, hal. 5.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar