Laman

16 Feb 2013

Keberadaan Sistem Hukum Indonesia dan Aceh


Oleh : Muhammad Syarif

Tatkala Soekarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaan negara Indonesia (17 Agustus 1945) pada saat itulah sebenarnya sistem hukum nasional Indonesia mulai dibangung[1]. Ketetapan MPRS No.XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Perundangan Republik Indonesia mengungkapkan mementum tersebut dengan kata-kata: ”Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang dinjatakan oleh Bung Karno dan Bung Hatta atas nama Bangsa Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1954 adalah detik pendjebolan tertib hukum nasional tertib hukum Indonesia”.
Kalau kita berbicara sistem hukum maka tentu saja kita pahami sebagai suatu organ yang terdiri dari sejumlah unsur atau komponen yang selalu pengaruh mempengaruhi dan terkait satu sama lainnya oleh satu atau beberapa asas. Donald Black menyebutkan hukum adalah kontrol sosial dari pemerintah. Sehingga hukum adalah sistem kontrol sosial yang didalamnya diatur tentang struktur, lembaga dan proses kontrol sosial tersebut.[2]
Menurut Sri Soemantri dewasa ini ada  5 sistem hukum yang berkembang di dunia saat ini, sistem hukum tersebut adalah :[3]
1.      Sistem Hukum Anglosaxon atau Common law yang dipelopori oleh Inggris, sistem ini juga dianut atau diikuti oleh negara-negara jajahan Inggris lainnya seperti Amerika Serikat, Australia, India, Malaysia, Singapura dan sebagainya.
2.      Sistem Hukum Hukum Eropa Kontinental atau Civil Law. Sistem ini dipelopori oleh Perancis, yang kemudian dianut oleh negara jajahannya seperti Belanda, Jerman, Swiss. Termasuk Indonesia yang merupakan jajahan Belanda.
3.      Sistem Hukum Islam, dimana sistem hukum Islam ini berasal dari ajaran Allah SWT, sumber hukum utama adalah Alquran dan hadist. Hakim atau Qadhi memutuskan perkara bersumber pada Alquran dan hadist. Apabila tidak ditemukan dasar hukum pada sumber utama maka hakim mengambil sumber lain yakni qiyas (persamaan Illat), dan ijma’ (kesepakatan ulama).
4.      Sistem hukum sosialis, sistem ini dianut oleh negara-negara berpaham sosialis-komunis.
5.      Sistem Hukum China, sistem ini dianut oleh negara China
Dari kelima sistem hukum tersebut Indonesia menganut sistem hukum Eropa Kontinental, hal ini karena Indonesia merupakan negara jajahan Belanda, dengan demikian maka sistem hukum Indonesia mengikuti hukum kolonial Belanda yakni Eropa kontinental.
Lawren M. Friedman menyebutkan sistem hukum tidak saja merupakan perintah atau larangan, tapi lebih dari pada itu sebagai serangkaian aturan yang bisa menunjang, meningkatkan, mengatur dan menyuguhkan cara untuk mencapai tujuan.[4]
Sistem hukum Indonesia sangat terpengaruh dengan sistem hukum kolonial. Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 menegaskan bahwa “Segala Badan Negara dan Peraturan yang ada masih langsung berlaku selama  belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”. Ini artinya sistem hukum Indonesia adalah sistem hukum Belanda, yaitu ketentuan yang berlaku sejak jaman Belanda. Kemudian setelah merdeka Indonesia menginginkan sistem hukum Indonesia sebenarnya apa yang ada dalam UUD 1945, karena didalamnya sudah ada sistem pemerintahan, sistem perundang-undangan, sistem peradilan dan sebagainya. Tetapi ada juga ketentuan-ketentuan yang lama yang masih tetap berlaku selama sebelum di ubah, contohnya KUHP.
Sistem hukum di Indonesia secara struktural mempunyai banyak kesamaan dengan sistem hukum ketika kolonialisme Belanda masih bercokol di Nusantara. Tetapi, struktur hukum Indonesia tersebut sekarang ini dilaksanakan oleh bangsa Indonesia, bukan oleh bangsa Belanda. Hal ini penting artinya bagi hukum adat Indonesia, karena hukum adat mudah terpengaruh oleh cita-cita imajinasi kaum elite Indonesia yang menginginkan perubahan, termasuk perubahan dalam hukum waris adat Hukum adat pada zaman Hindia Belanda ditempatkan sebagai bagian kehidupan hukum kolonial.[5]
Berdasarkan pandangan sistemik, maka dalam Sistem Hukum Nasional yang berlaku di Indonesia, adalah Sistem Hukum Nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, maka setiap bidang hukum yang akan merupakan bagian dari Sistem Hukum Nasional wajib bersumber pada Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.[6]
Surnayarti Hartono membuat klasifikasi corak sistem hukum yang berlaku di Indonesia sampai setelah berlakunya IS, sebagaimana tergambar dalam tabel di bawah ini[7]:
Keadaan sebelum Abad ke-14
Keadaan pada Abad ke-14
Keadaaan pada Abad ke-17
Keadaan setelah IS
(S.1855 No.2)
Berlakunya hukum adat (asli Indonesia) yang bersifat komunal dan tidak tertulis)
Terdapat unsur:
Hukum adat (asli) dan resepsi atas Hukum Agama Hindu dan Hukum Islam
Terdapat Unsur:
Hukum adat (asli) dan resepsi atas; Hukum agama Hindu, Hukum Islam, Hukum agama Kristen/Katolik
Terdapat unsur:
Hukum adat (asli), Hukum Islam, Hukum Barat

Sunaryati Hartono mencatat, bahwa sampai abad ke-14 keadaan sistem hukum di Indonesia masih sepenuhnya Asli karena belum mendapat masukan dari hukum-hukum agama, khususnya Hindu dan Islam. Menurutnya sistem hukum ketika itu mungkin hanya memiliki dua unsur yang sama yaitu sifat kekeluargaan (komunitas) dan tidak tertulis (dengan pengecualian Hukum Majapahit, Hukum Wadjo dan beberapa daerah lainnya).
Dengan masuknya agama Islam ke Nusantara pada abad ke-14, maka muncul tiga corak sistem hukum di Indonesia[8]. Pertama ada daerah-daerah yang banyak meresap unsur-unsur agama Islam dalam bentuk hukum adatnya seperti; Aceh, Banten, Sulawesi Selatan dan Lombok. Kedua ada pula yang lebih banyak mempertahankan sifat keasliannya seperti; Nias dan Mentawai, Toraja dan Asmat). Ketiga ada yang tetap mempertahankan agama Hindu seperti; Jawa Tengah dan Bali.
Kondisi sistem hukum di Indonesia setelah masuknya agama Islam pada Abad ke-14 yang oleh Sutan Takdir Alisjahbana kondisai tatanan hukum dicirikan sebagai ”tiga lapisan budaya” (Indonesia asli, Hindu dan Islam).
Perkembangan selanjutnya terjadi pada Abad ke-17, tatkala agama Kristen/Katolik masuk ke Indonesia, dibawah bangsa Portugis, Belanda dan Eropa lainnya. Pengaruhnya antara lain terjadi di Batak, Sulawesi Utara, Maluku, Irian Jaya, Flores dan Timor.[9] Secara Nasional pengaruh hukum agama Kristen/Katolik seperti halnya juga hukum agama Hindu dan Budha dapat dikatakan kurang signifikan di bandingkan dengan hukum Islam. Hukum-hukum Agama selain Islam biasanya terbatas pengaruhnya yakni di lingkungan internal penganutnya dalam lapangan hukum keluarga, khususnya perkawinan. Sunaryati menyatakan bahwa setelah IS tidak berlaku lagi, yakni sesudah ia digantikan oleh Pancasila, maka komposisi unsur-unsur dalam sistem hukum Indonesia juga berubah. Momentum pergantian itu adalah  pada saat Proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945.
Lawrence M. Friedman menyebutkan sitem hukum tidak saja merupakan serangkaian larangan atau perintah, tetapi lebih dari itu sebagai serangkaian aturan yang bisa menuunjang, meningkatkan, mengatur dan menyuguhkan cara untuk mencapai tujuan. Negara Indonesia mengenal beberapa sistem hukum antara lain: Sistem Hukum Adat, Sistem Hukum Islam, Sistem Hukum Kolonial dan Sistem Hukum Nasional.[10] Secara sistemik sistem hukum nasional Indonesia adalah sistem hukum yang bersumber pada Pancasila dan UUD 1945.
Menurut Profesor Natabaya, Sistem Hukum Nasional berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 plus dipengaruhi oleh sistem hukum kolonial. Walaupun setelah kemerdekaaan, kita berusaha mencari sistem hukum Indonesia.[11]
Selanjutnya khusus untuk Provinsi Aceh, dengan diberlakukan Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Naggroe Aceh Darussalam, Peraturan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syariat Islam dan beberapa Qanun Provinsi yang telah berlaku saat ini (Qanun No.11 Tahun 2002 tentang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam, Qanun No.12 Tahun 2003 tentang Minuman Khamar, Qanun No.13 Tahun 2003 tentang Maisir (perjudian), Qanun No.14 Tahun 2003 tentang Khalwat) dimana disebutkan bahwa untuk Provinsi NAD berlaku hukum syariat, maka sistem hukum di daerah NAD telah menjadi sistem hukum Islam.[12]
Sejalan dengan lahirnya Undang-Undang No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, dimana Nomenklatur Nanggroe Aceh berubah menjadi Pemerintah Aceh.  Berkaitan dengan penerapan Hukum Islam dijelaskan dalam Pasal 125, 126, 127, 128, 129, 130, 131, 132, 133, 134, 135, 136, 137, 138, 139 dan 140.
Jika di lihat dari segi Tiori Resepsi di Indonesia, Eksistensi sistem hukum Islam dan adat memunculkan 3 konsep tiori resepsi yaitu[13]:
a.    Teori Reception in Complexu yaitu setiap penduduk berlaku hukum agamanya masing-masing (LWC.Van den Berg); ada pengadilan agama (priesterrad) disamping landraad.
b.    Teori Receptie (van Vollenhoven dan Snouck Hugronye) yaitu hukum Islam berlaku bagi orang Islam bila diterima dan telah menjadi hukum adat mereka.
c.    Teori Receptio A Contrario yaitu hukum adat baru berlaku bila tidak bertentangan dengan hukum Islam.



Sejumlah Aturan agama Islam yang telah dijadikan hukum positif di Indonesia
Kenyataan Undang-Undang agama Islam berlaku bagi penduduk Asli bangsa Indonesia yang sebenarnya telah berjalan lama sebelum Tahun 1855 itu dirumuskan dalam bentuk Undang-Undang.  Dengan dikeluarkannya Regeering Reglement 1855 itu maka keadaan yang telah ada itu lebih diperkokoh dan diperkuat dengan peraturan perundang-undangan.
Dalam Reglement op het beleid der Regeering van Nederlandsch Indie, dipendek dengan Regeeringsreglement (R.R) yang dimuat dalam Stbl. Belanda 1854: 129 atau Stbl.Hindia Belanda 1855:2 berlakunya Undang-Undang Islam bagi Indonesia itu telah di tegaskan Pasal 75 R.R Stbl. Hindia Belanda 1855: 2 yang berbunyi dalam ayat (3) oleh Hakim Indonesia hendaknya diperlakukan undang-undang agama[14] dan kebiasaan penduduk Indonesia. Ayat (4) berbunyi: Undang-Undang Agama, Instelling dan kebiasaan itu juga dipakai untuk mereka hakim eropa pada pengadilan yang lebih tinggi andai kata terjadi hoger beroep atau permintaan pemeriksa banding.
Lebih lanjut adapun Aturan Agama Islam yang telah di jadikan hukum Positif di Indonesia antara lain:
¨    Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Hukum Perkawinan
¨    Undang-Undang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
¨    Undang-Undang No.38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat
¨    Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang memberikan peluang eksisnya Perbankan Syariah di Indonesia
¨    Undang-Undang No.10 Tahun 1998 tentang Perubahan UU No.7 Tahun 1992, dimana ini masa booming pertumbuhan Bank Syari`ah di Indonesia.[15]
¨    Undang-Undang No. 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji
¨    Undang-Undang No.44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh.
¨    Undang-Undang No.18 Tahun 2003 tentang Otsus bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
¨    Undang-Undang No.11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh
¨    Undang-Undang No.21 Tahun 2008  tentang Perbankan Syari`ah.
Benturan Antar Sistem Hukum
Dalam konteks pluralitas masyarakat Indonesia, sangat di mungkinkan coalition of norm atau benturaan norma sebagai berikut:
1.  Kontraksi antara hukum Islam dengan hukum positif.
2.  Kontraksi antara hukum Islam dengan adat atau urf.
3.  Kontraksi antara hukum positif dengan hukum adat.
Sebagai contoh terjadinya kontradiksi antar hukum Islam dengan hukum positif bahwa jika seseorang yang terikat pernikahan melakukan zina, menurut syariat Islam harus dirajam atau dilempar dengan batu sampai mati dan apabila pelaku zina belum terikat pernikahan di hukum dengan cambuk seratus kali. Penerapan hukum tersebut tidak bisa dibenarkan menurut hukum positif. Contoh lain perbedaan konstruksi hukum mengenai zina antara konsep Islam dengan KUHP sebagai hukum positif. Zina menurut hukum Islam pelakunya tidak mensyaratkan terikat oleh perkawinan sedangkan KUHP sebaliknya yakni salah satu pelaku atau keduanya terikat perkawinan.
Apabila kita merujuk kepada Al-urf / Al-Adat / Al-Ta’ammul, sebagai salah satu metode dalam penetapan hukum, persoalan adat di Indonesia cukup menarik untuk dikaji. Apakah semua hukum adat dapat diadopsi menjadi hukum syara` atau kaidah lain. Sikap Islam terhadap adat, adalah jelas bahwa adat kebiasaan yang benar (al-adat al shahihah) yang dapat diadopsi ke dalam hukum Islam.
Aceh juga rentan terhadap benturan norma. Sebagai contoh kongkrit Qanun No.14 Tahun 2003 tentang Khalwat. Dimana hukum adat masyarakat setempat lebih dominan. Sehingga benturan itu sulit di hindari. Oleh karena itu diperlukan langkah-langkah yang tepat untuk mengakomudir norma-norma yang mengakar terjadi di masyarakat untuk di jadikan hukum positif. Budaya lokal perlu di respon dalam pembentukan hukum. Solusinya adalah dengan melakukan upaya hukum progresif dan Responsif.[16]
Simposium tahun 1975 mengenai pentingnya sejarah hukum
Perbincangan sejarah hukum mempunyai arti penting dalam rangka pembinaan hukum nasional, karena dalam pembinaan hukum tidak saja memerlukan bahan-bahan tentang perkembangan hukum masa kini saja, tetapi juga bahan-bahan mengenai perkembangan hukum masa lampau. Melalui sejarah hukum kita akan mampu menjajaki berbagai aspek hukum pada masa lampau, sehingga dapat memberikan bantuan kepada kita memahami kaidah-kaidah serta institusi-institusi hukum yang ada dewasa ini dalam masyarakat bangsa kita.[17]




Arah perkembangan Hukum Islam dan Hukum Adat  di Aceh di Era Globalisasi

Negara Indonesia tidak bisa lepas dari arus globalisasi yang terjadi saat ini. Salah satu akibat globalisasi adalah cukup banyak peraturan-peraturan hukum yang asing atau yang bersifat internasional akan dituangkan dalam perundang-undangan nasional.   Tetapi, Indonesia tidak boleh mengikuti arus globalisasi secara otomatis, karena justru harus dapat memilih secara sadar kaidah-kaidah asing, internasional, atau transnasional mana yang baik atau boleh diterima, dan yang mana yang seharusnya tidak diterima ke dalam Sistem Hukum Nasional Indonesia.
Pengaruh globalisasi yang paling dirasakan adalah perkembangan ekonomi yang sangat pesat. Sehingga membutuhkan pengaturan perundang-undangan yang juga cepat dan tanggap. Dalam hal ini hukum dapat dijadikan sarana rekayasa sosial-ekonomi. Karena sebenarnya hal itu telah ditentukan dalam Undang-undang Dasar 1945, yaitu dengan asas bahwa segala cabang produksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak harus dikuasai dan diarahkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat (Pasal 33 ayat 3). Inilah filsafat ekonomi Indonesia, sehingga ciri-ciri demokrasi ekonomi Indonesia tidak perlu lagi mencari acuan pada teori asing.[18]
            Oleh karena perkembangan globalisasi sekarang banyak dominasi oleh Inggris, Amerika serikat, Australia, India, Malaysia, Singapura dan sebagainya, maka pengaruh sistem hukum Aglosaxon  sangat mewarnai sistem hukum Indonesia terutama dibidang hukum perjanjian, Penanaman Modal, Hukum Keuangan dan Perbankan, Hak  Asasi Manusia dan lain sebagainya.
Sebagaimana telah kita ketahui, era globalisasi ditandai dengan kemajuan di bidang teknologi komunikasi, transportasi dan informasi yang sedemikian cepat. Kemajuan di bidang ini membuat segala kejadian di negeri yang jauh bahkan di benua yang lain dapat kita ketahui saat itu juga, sementara jarak tempuh yang sedemikian jauh dapat dijangkau dalam waktu yang singkat sehingga dunia ini menjadi seperti sebuah kampung yang kecil, segala sesuatu yang terjadi bisa diketahui dan tempat tertentu bisa dicapai dalam waktu yang amat singkat.[19]
Sulit rasanya meletakkan proses perubahan sosial, budaya dan politik dewasa ini lepas dari perkembangan dinamika global. Kemajuan teknologi informasi, komunikasi, dan transportasi memberi pengaruh luas dalam kehidupan sehari-hari, bahkan merombak sistem sosial. Globalisasi ekonomi dan budaya berpengaruh pada penciptaan kultur yang homogen yang mengarah pada penyeragaman selera, konsumsi, gaya hidup, nilai, identitas, dan kepentingan individu. Sebagai produk modernitas, globalisasi tidak hanya  memperkenalkan masyarakat di pelosok dunia akan  kemajuan dan kecanggihan sains dan teknologi serta  prestasi lain seperti instrumen dan institusi modern hasil capaian peradaban Barat sebagai dimensi institusional modernitas, tetapi juga mengintrodusir dimensi budaya modernitas, seperti nilai-nilai demokrasi, pluralisme, toleransi, dan hak-hak asasi manusia.
Persoalan-persoalan yang terjadi di suatu negara yang semula disembunyikan atau ditutup-tutupi menjadi transparan dan dapat diketahui secara detail, begitu juga dengan persoalan-persoalan pribadi seseorang yang dipublikasikan melalui media massa. Dalam konteks ekonomi-politik, kenyataan tersebut bahkan dijadikan faktor penting untuk melihat kemungkinan memudarnya batas-batas teritorial negara-bangsa, yang oleh Kenichi Ohmae dibahasakan sebagai “the end of the nation state[20].
Proses globalisasi ini memiliki pengaruh yang sangat besar bagi perkembangan nilai-nilai agama. Realitas ini mendapat respon yang cukup beragam dari kalangan pemikir dan aktivis agama. Agama sebagai sebuah pandangan yang terdiri dari berbagai doktrin dan nilai memberikan pengaruh yang besar bagi masyarakat. Hal ini diakui oleh para pemikir, antara lain Robert N. Bellah dan Jose Casanova, mereka mengakui pentingnya peran agama dalam kehidupan sosial politik masyarakat dunia. Dalam konteks ini agama memainkan peranan yang penting di dalam proses globalisasi. Agama bukan hanya pelengkap tetapi menjadi salah satu komponen penting yang cukup berpengaruh di dalam berbagai proses globalisasi. Karena begitu pentingnya peran agama dalam kehidupan masyarakat, maka perlu kiranya kita memahami sejauh mana posisi agama di dalam merespon berbagai persoalan kemasyarakatan.
Posisi Agama
Agama sebagai sebuah ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia, mempunyai pengaruh yang besar terhadap kehidupan manusia sehari-hari.[21] Agama diturunkan guna memberikan aturan-aturan hidup yang akan membawa kebahagiaan bagi kehidupan manusia. Selain itu agama juga dipandang sebagai instrumen untuk memahami dunia. Namun demikian kehadiran agama selalui disertai dengan “dua muka” (janus face). Pada satu sisi secara inheren agama memiliki identitas yang bersifat “exclusive, particularist”, dan “primordial”. Akan tetapi, pada waktu yang sama agama juga kaya akan identitas yang bersifat “inclusive, universalist”, dan “transcending”
Untuk meletakkan hubungan antara keduanya dalam situasi yang lebih empirik, sejumlah pemikir dan aktivis social-politik telah berusaha membangun paradigma yang dipandang memungkinkan. Tentu konstruk pemikiran yang ditawarkan, antara lain dipengaruhi dan dibentuk oleh asal usul teologis dan sosiologis ataupun spacio-temporal serta partikularitas yang melingkupi mereka.[9] Terlepas dari variasi konstruk pemikiran yang ditawarkan, pada dasarnya di dalam memahami posisi agama terhadap persoalan kemasyarakatan ada tiga aliran besar dalam hal ini. Pertama adalah perspektif mekanik-holistik, yang memposisikan hubungan antara agama dan persoalan kemasyarakatan sebagai sesuatu yang tak terpisahkan. Kedua adalah pemikiran yang mengajukan proposisi bahwa keduanya merupakan wilayah-wilayah (domains) yang antara satu dengan lainnya berbeda, karenanya harus dipisahkan. Ketiga adalah pandangan tengah yang mencoba mengintegrasikan pandangan-pandangan yang antagonistik dalam melihat hubungan antara agama dan persoalan kemasyarakatan. Di pihak lain, pandangan ini juga ingin melunakkan perspektif mekanik-holistik yang seringkali melakukan generalisasi bahwa agama selalu mempunyai kaitan atau hubungan yang tak terpisahkan dengan masalah-masalah kemasyarakatan. 
Berbagai Paradigma Islam dalam Menghadapi Globalisasi
Pada mulanya agama-agama muncul dari unsur kebudayaan sebuah masyarakat sebagai bagian ritus transendental yang didominasi kekuatan mistis. Agama ini lahir dalam bentuk-bentuk yang plural sesuai dengan corak ekonomi sosial tiap-tiap masyarakat pada masanya. Meskipun tidak secara linier bentuk tersebut sesuai dengan kondisi transformasi sosioekonominya, setidaknya fakta telah menunjukkan bahwa agama pada era kini telah mengalami perubahan yang cukup signifikan dibandingkan awal kemunculannya. Perubahan nonlinier ini kemudian membentuk beragam kategori. Namun, secara general kualifikasinya hanya menjadi dua bentuk paradigma yang sekarang ada dalam umat Islam. Perspektif ini hampir berlaku pada setiap agama. Demikian pula dengan Islam yang berdiri di atas tiga pilar doktrin dasarnya yaitu akidah, syariah dan akhlak. Dalam perkembangannya mengalami perubahan bentuk aplikasi pemaknaan di kalangan umatnya. Sejalan dengan perubahan tersebut, dapat dikemukakan bahwa pada saat ini ada dua paradigma fundamental yang berkembang di kalangan umat Islam dalam menghadapi globalisasi yaitu :
1. Paradigma Konservatif
Paradigma pertama ini adalah paradigma yang cenderung bersifat konservatif, yang memposisikan Islam sebagai agama yang memiliki doktrin dan ikatan-ikatan tradisi lama yang belum mau bersentuhan dengan wacana keilmuan selain Islam. Unsur-unsur sosial selain Islam dalam hal ini dianggap sebagai bagian yang senantiasa berlawanan bahkan mengancam. Dalam dimensi teologi, Tuhan menempati pokok segala kekuasaan yang telah diterjemahkan dalam kajian-kajian pendahulunya dengan peletakan unsur mazhab yang dianggap representatif. Tuhan dengan segala kekuasaannya telah memberikan ukuran dan solusinya sesuai dengan ajaran yang tertulis. Bagi mereka menafsirkan ayat yang berkaitan dengan ketuhanan dengan metode baru adalah kesesatan.
Demikian pula dalam bidang syariat yang menjadi pusat kajian hukumnya. Aspek hukum yang telah ada dalam kitab-kitab tersebut sudah menjadi final untuk dijadikan acuan hukumnya. Alasannya, hukum tersebut murni bersumber dari Alquran dan hadis. Oleh karenanya, tidak ada yang perlu disempurnakan lagi. Realitas sosial politik yang menandai kemunculan hukum-hukum tersebut nyaris tak mendapatkan tempat kajian yang mendalam. Dalam kategori sosiologis Islam seperti di atas, menurut Ali Syariati (1933-1977), Islam hanya menjadi kumpulan-kumpulan dari tradisi asli dan kebiasaan masyarakat yang memperlihatkan suatu semangat kolektif suatu kelompoknya. Ia berisi kumpulan kepercayaan nenek moyang, perasaan individual, tata cara, ritual, aturan, kebiasaan, dan praktik-praktik dari suatu masyarakat yang telah mapan, berlangsung dari generasi ke generasi. Kebiasaan inilah yang biasanya dipelihara oleh penguasa politik untuk melegitimasi kekuasaan. Karena indoktrinasi menjadi bagian yang kuat dalam pemaknaan ajaran agama maka paradigma ini sering pula disebut paradigma konservatif.
Bagi orang-orang Islam berpaham konservatif ini, “ketidakberubahan” (unchangingness) merupakan suatu hal yang ideal bagi individu dan masyarakat serta merupakan suatu persepsi hakikat manusia dan lingkungannya. “Ketidakberubahan” merupakan asumsi berpengaruh luas yang mewarnai hampir seluruh aspek pemahaman kelompok ini. Doktrin “ketidakberubahan”, baik sebagai fakta maupun sebagai cita-cita, barangkali bermula dari pengalaman kehidupan nomadik bangsa Arab, yang mengakibatkan timbulnya paham bahwa keselamatan terletak pada upaya mengikuti jejak para leluhur. Bangsa nomad Arabia tentu saja menyadari perubahan. Suku-suku berhasil dan berkembang semakin meningkat, lalu mengalami nasib pahit, mundur dan terkadang lenyap sekaligus. Namun variasi perubahan seperti itu tidak berarti bahwa pada dasarnya kehidupan mengalami perubahan. Dengan demikian, lebih baik melakukan apa-apa yang telah dilakukan “nenek moyang” sebab dalam banyak  hal, cara itu membuahkan hasil yang memuaskan. Iklim Arabia itu tidak menentu dan tak teratur sehingga orang nomad tidak dapat menghindari bencana dengan membuat rencana-rencana cermat, tetapi terpaksa membiasakan diri menerima apa saja yang terjadi pada dirinya. Corak berpikir seperti itu mengakibatkan doktrin mengikuti “jejak leluhur” menjadi opini paling kuat. Segala yang baru pasti akan dicurigai. Dalam teologi Islam, kata yang lazim dipakai untuk “hal baru” ialah bid’ah. Berlandaskan corak pemikiran tersebut akhirnya kelompok Konservatif pun memandang bahwa globalisasi adalah  unsur yang sangat mengancam bagi keberlangsungan nilai-nilai Islam.
 Bentuk pemahaman konservatif ini dapat dilihat melalui pemahaman kelompok ini  di dalam memahami hubungan agama dengan negara. Kelompok ini berpendirian bahwa Islam bukanlah semata-mata agama dalam pengertian Barat, yakni hanya menyangkut hubungan antara manusia dan Tuhan, sebaliknya Islam adalah satu agama yang sempurna dan yang lengkap dengan pengaturan bagi segala aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan bernegara. Para penganut paham ini pada umumnya berpendirian bahwa : (1). Islam adalah suatu agama yang serba lengkap. Di dalamnya terdapat pula antara lain sistem ketatanegaraan atau politik. Oleh karenanya dalam bernegara umat Islam hendaknya kembali kepada sistem ketatanegaraan Islam, dan tidak perlu atau bahkan jangan meniru sistem ketatanegaraan Barat.  (2). Sistem ketatanegaraan atau politik Islam yang harus diteladani adalah sistem yang telah dilaksanakan oleh Nabi besar Muhammad dan oleh empat al-Khulafa al-Rasyidin.
Melihat pemahaman tersebut dapat kita mengerti bahwa kelompok ini, sebagaimana telah penulis jabarkan di atas cenderung memposisikan Islam sebagai agama yang serba lengkap, sehingga doktrin dan ikatan-ikatan tradisi lama yang ada tidak dapat bersentuhan dengan wacana keilmuan selain Islam.
2. Paradigma Liberal
Paradigma kedua adalah paradigma yang bersifat antagonistik dengan paradigma konservatif.  Islam diasumsikan sebagai agama yang dapat berperan sebagai agen perubahan sosial. Unsur-unsur sosial selain Islam dalam hal ini menjadi komponen yang diterima bahkan menjadi acuan penting di dalam merumuskan berbagai solusi terhadap persoalan kekinian yang dihadapi umat.  Dalam dimensi teologi paradigma ini mengedepankan aspek rasionalisme. Teologi bukan semata menjadi objek kajian bagaimana meyakinkan umat secara doktriner, melainkan sebagai pembimbing tindakan praksis sosial. Selain itu, teologi juga harus lepas dari paradigma kekuasaan negara, bahkan harus menjadi bagian transformasi sosial yang terus menyuarakan kepentingan mayoritas umat. Paradigma ini berpendirian bahwa walaupun Islam memiliki doktrin dan ikatan-ikatan tradisi lama tapi harus dilakukan banyak dekonstruksi terhadap pemahaman doktrin tersebut melalui pengembangan wacana keilmuan yang dapat diperoleh pada sumber-sumber eksternal.
Berkebalikan dengan teologi kaum konservatif yang gigih membela Tuhan, dimensi teologi yang mereka ajukan justru menginginkan konsistensi menjelmakan nilai tauhid sebagai ajaran yang membebaskan umat dari penindasan kultural dan struktural. Mereka lebih menekankan pembelaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, sehingga terkadang melampaui garis-garis “larangan” demi mewujudkan teologis humanisnya. Dalam dimensi syariat paradigma ini mengambil hukum-hukum melalui pemahaman yang cenderung terlalu kontekstual, sehingga terkadang mengabaikan tekstualitas dan latar belakang munculnya doktrin-doktrin agama. Mereka juga mengajukan berbagai wacana tentang perlunya tafsir ulang terhadap al-Qur’an dan hadis. Paradigma pemikiran yang cenderung  sangat liberal ini sering diistilahkan dengan paradigma liberal.  
Secara ringkas, penulis berpendapat bahwa "mazhab" liberal ini sebenarnya berakar pada ide demokrasi. Pemikiran-pemikiran lain sebagai derivatnya akan terlihat sangat bertumpu di atas paham demokrasi ini; seperti gagasan pemisahan negara dengan agama, hak-hak wanita dalam kepemimpinan politik dan kekuasaan, kebebasan penafsiran teks-teks agama, kebebasan berpikir dan berpendapat, toleransi beragama, dialog dan keterbukaan antar agama, pluralisme, demokrasi religius, dan lain-lain.
Pemikiran mengenai hubungan negara dengan agama (Islam) merupakan persoalan krusial yang paling banyak mendapat penolakan dan tantangan dari pengusung Islam liberal. Argumentasi yang sering dipakai: (1) Negara Islam tak pernah dikenal dalam sejarah; (2) Negara adalah kehidupan duniawi, berdimensi rasional, dan kolektif; sedangkan agama berdimensi spiritual dan pribadi; (3) Masalah kenegaraan tidak menjadi bagian integral dari Islam; (4) Islam tidak mengenal konsep pemerintahan definitif, misal dalam suksesi kekuasaan; (5) Rasulullah Muhammad hanya menjadi penyampai risalah, tidak mengepalai suatu institusi politik; (6) Al-Quran dan Sunnah tidak pernah menyebut, "Dirikanlah negara Islam!" dan sebagainya. Penolakan gagasan ini, pada akhirnya mengantarkan pada penerimaan secara total atas ide demokrasi dalam urusan kekuasaan,politik, dan pemerintahan. Konsekuensi berikutnya, menolak kebolehan seorang wanita terlibat dalam urusan kekuasaan adalah bertentangan dengan prinsip demokrasi. Menolak keterlibatan warga negara berdasarkan perbedaan prinsip agama adalah tidak sesuai dengan demokrasi. "Memasung" pikiran dan pendapat bertentangan dengan hak kebebasan dan demokrasi. Mengambil peraturan dan hukum-hukum kemasyarakatan dari satu agama saja (baca: Islam) merupakan diskriminasi atas agama lain, yang berarti sama saja dengan tidak demokratis. Kebebasan dan kebolehan beragamnya menafsirkan teks-teks agama (dalil-dalil) menjadi imbas dari gagasan liberalisasi dan kebebasan berpikir serta berpendapat. Demikianlah, semua pemikiran derivat ini akan berlindung di balik induknya: pemikiran "demokrasi."
Dapat disimpulkan bahwa kelompok ini dalam memahami hubungan Islam dan negara berpendirian bahwa Islam adalah agama dalam pengertian barat, yang tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan. Kelompok ini meyakini bahwa Nabi Muhammad hanyalah seorang Rasul biasa seperti halnya Rasul-rasul sebelumnya, dengan tugas tunggal mengajak manusia kembali kepada kehidupan yang mulia dengan menjunjung tinggi budi pekerti luhur, dan Nabi tidak pernah dimaksudkan untuk mendirikan dan mengepalai satu negara.
Berbagai penjelasan di atas dengan jelas memperlihatkan bahwa di dalam pemahaman kelompok ini unsur-unsur sosial selain Islam dapat menjadi komponen yang diterima bahkan menjadi acuan penting di dalam merumuskan berbagai solusi terhadap persoalan kekinian yang dihadapi umat.
Dua paradigma di atas sesungguhnya telah menjadi bagian internal Islam di Indonesia. Paradigma pertama biasanya mengakar pada kalangan kelas bawah yang belum sepenuhnya tersentuh oleh tradisi keilmuan positivisme seperti di pesantren. Sementara paradigma liberal lahir dari rahim generasi muda yang cukup paham terhadap wacana Islam. Namun, juga tersentuh oleh tradisi positivisme dari barat serta memiliki motivasi kuat untuk perubahan sosial. Namun, apakah perkembangan paradigma Islam ini akan hanya berhenti di sini? Inilah sesungguhnya yang harus kita kaji secara mendalam. Yang harus diingat adalah bahwa perubahan kajian ijtihad tersebut berlandaskan aspek perubahan sosial dan mengembalikan semangat pembelaan Islam terhadap umat manusia. Oleh karena itu, pilihan baru harus segera diadakan sebab situasi kekinian telah mengubah transformasi sosial dengan adanya globalisasi.
3. Paradigma Alternatif
Untuk mengintegrasikan dua kubu paradigma yang paradoks ini maka perlu kiranya dikembangkan satu paradigma alternatif, yang mungkin dapat mengkompromikan dua pandangan di atas. Sebab dengan mengkompromikan dua pandangan tersebut paling tidak kita berusaha menjembatani adanya titik temu sebagai salah satu upaya mencari konsepsi final yang paling ideal dalam Islam, meski memang untuk mengejawantahkannya dalam tataran realitas bukanlah persoalan mudah. Paradigma alternatif yang coba penulis tawarkan adalah paradigma moderat yakni paradigma yang cenderung mencoba mengintegrasikan pandangan-pandangan yang antagonistik dalam melihat hubungan Islam dan persoalan kemasyarakatan. Di pihak lain, pandangan ini juga ingin melunakkan Paradigma Konservatif yang seringkali melakukan generalisasi bahwa Islam selalu mempunyai kaitan atau hubungan yang tak terpisahkan dengan masalah-masalah kemasyarakatan. Serta berusaha mengakomodasi dilakukannya pembaruan wacana sesuai dengan diinginkan  kalangan liberal dengan tetap memperhatikan nilai-nilai luhur dan keislaman.
Dalam dimensi teologi paradigma ini selain mengedepankan aspek rasionalisme namun juga tidak melupakan aspek keimanan, sebab aspek keimanan ini merupakan salah satu faktor penting di dalam menyikapi berbagai persoalan kekinian. Teologi selain menjadi obyek kajian bagaimana meyakinkan umat secara doktriner, tetapi juga sebagai pembimbing tindakan praksis sosial. Selain itu, teologi juga harus lepas dari paradigma kekuasaan negara, bahkan harus menjadi bagian transformasi sosial yang terus menyuarakan kepentingan mayoritas umat. Berbeda dengan teologi kaum konservatif yang gigih membela Tuhan dan kaum liberal yang terlalu humanis, paradigma ini selain berusaha memelihara nilai-nilai ketauhidan yang bersifat formalistik tetapi juga berusaha secara konsisten menjelmakan nilai tauhid sebagai ajaran yang membebaskan umat dari penindasan kultural dan struktural. Dalam arti nilai tauhid harus “membumi” dalam kehidupan sehari-hari. Dalam dimensi syariat, paradigma ini selain mengambil hukum-hukum Islam dari aspek nilai/substansi tetapi berusaha pula memahami secara tekstual kitab-kitab Islam lama yang dimapankan oleh kalangan konservatif. Alquran dan Hadis memang harus ditafsir ulang tetapi harus dengan pertimbangan ilmiah teoretis dalam pertimbangan praksis sosialnya.
Karena paradigma ini berusaha mengintegrasikan  dua kubu paradigma yang antagonistik maka paradigma ini lebih cenderung penulis istilahkan dengan paradigma moderat. Karena istilah moderat cenderung pada pemahaman mencari jalan tengah dari kecenderungan-kecenderungan yang bersifat antagonistik. Hal ini juga sesuai dengan konsep Islam sebagai agama Wasathan (moderat). Dalam melihat hubungan Islam dan negara paradigma moderat menolak pendapat bahwa Islam adalah agama yang serba lengkap dan bahwa dalam Islam terdapat sistem ketatanegaraan. Tetapi kelompok ini juga menolak anggapan bahwa agama adalah dalam pengertian barat yang hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan. Paradigma ini juga berpendirian bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara.
Paradigma ini tidak hanya ingin menonjolkan isu seputar konsep "Negara Islam" dan "Pemberlakuan syariat", tetapi yang paling penting bagaimana substansi dari nilai dan ajaran agama itu sendiri. Agama adalah sejumlah ajaran moral dan etika sosial, serta fungsinya mengontrol negara. Paradigma moderat berpandangan, keterlibatan agama secara praktis ke dalam negara jangan sampai memandulkan nilai luhur yang terkandung dalam agama karena agama akan menjadi ajang politisasi dan kontestasi. Di sisi lain, paradigma moderat mengampanyekan dimensi kelenturan, kesantunan, dan keadaban Islam. Islam sebagai agama penebar kasih, cinta dan sayang (rahmatan li al-’alamien) harus menjadi paradigma yang mengakar di tengah masyarakat. Hal ini penting guna meminimalisir pandangan keagamaan yang selalu berwajah sangar dan keras yang digunakan secara sistematis oleh beberapa kalangan Muslim.
Hanya, yang menjadi tantangan paradigma moderat di masa datang adalah situasi global yang kian tidak menentu serta menampakkan hegemoni yang memungkinkan munculnya resistensi kultural yang bersifat radikal dan anarkis, selain kebijakan politik nasional yang tidak memihak kaum lemah, seperti gejala penggusuran dan hilangnya pekerjaan bagi sejumlah buruh perusahaan dan pabrik. Hal-hal seperti ini akan turut menghambat kampanye paradigma moderat di tanah air. Wacana paradigma moderat akan selalu tampil ke permukaan dengan tradisi dan khazanah keagamaan yang dimilikinya. Paradigma akan kian sempurna bila mendapat "ruang publik" yang memungkinkan terwujudnya wawasan keagamaan yang terbuka dan damai, yaitu kondisi obyektif yang dapat memayungi keadilan bagi tiap warga, kesetaraan bagi keragaman suku dan agama, serta kedamaian di antara pelbagai konflik horizontal yang menyelimuti masyarakat kita belakangan ini.
Namun untuk merealisasikan bentuk paradigma alternatif tersebut, yang merupakan respon terhadap dua paradigma yang sudah cukup berkembang di Indonesia bukanlah persoalan mudah, tetapi memerlukan banyak upaya guna mengaktualisasikan ide tersebut. Dan juga yang harus kita sadari sepenuhnya, bahwa agama  Islam telah lengkap dan komprehensif. Namun, "kesempurnaan" Islam hanyalah sebatas dalam tataran teoretis. Pada tataran praksisnya -- terutama ketika era globalisasi bergerak -- Islam belumlah cukup memiliki konsepsi final dan pengalaman praktik perjuangan melawan hegemoni kapitalisme. Untuk itulah kita harus senantiasa melakukan kajian mendalam dan intens guna mencari solusi dan jawaban  terhadap berbagai persoalan yang dihadapi oleh umat saat ini.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qardawi, Yusuf, Islam dan Globalisasi Dunia (terj), Jakarta: Pustaka Al-Kaustar, 2001
Daniel S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia, Bandung, 2000
Harun Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspek Jilid I, Jakarata: UI Press, Cet.V, 1985
Ilhami Bisri, Sistem Hukum Indonesia, Prinsip-prinsip dan Implementasi Hukum di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004

Lawrence M. Friedman, Amirican Law: An Introduction, W.E. Norton & Company, New York, 1984

Jusuf Anwar, Aspek-aspek Hukum Keuangan dan Perbankan Suatu Tinjauan Praktis, Disampaikan pada Lokakrya Pembangunan Hukum Nasional VIII, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Badan Pembinaan Hukum Nasional di Denpasar-Bali, 14-18 Juli 2003

Mochtar Kusumadja, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, Bandung,1980

Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Binacipta, Bandung, 1991

Sajuti Thalib, Receptio A Contario (Hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam), PT: Bina Aksara yakarta, 1985

Sri Soemantri, Bahan Mata Kuliah Politik Hukum, Universitas Padjadjaran Bandung (UNPAD), Bandung, 2004




























[1]Bahan Kuliah Prof.Dahlan, S.H, M.H, Penalaran Hukum dalam Konteks Keindonesiaan, Hlm. 279 (13 September 2009)
[2] Bahan Kuliah Prof.Dahlan, S.H, M.H, Mencari Sistem Hukum Nasional Indonesia (Artikel), Hlm.1
[3] Sri Soemantri, Bahan Mata Kuliah Politik Hukum, UNPAD, Bandung, 2004
[4] Lawrence M. Friedman, Amirican Law: An Introduction, W.E. Norton & Company, New York, 1984, Hlm. 5-14, sebagaimana dikutip dalam  Jurnal Hukum, Mencari Sistem Hukum Nasinal Indonesia
[5] Daniel S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia, Bandung, 2000. Hlm. 37
[6] Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Binacipta, Bandung, 1991
[7] Bahan Kuliah Prof.Dahlan, S.H, M.H, Penalaran Hukum dalam Konteks Keindonesiaan, Hlm. 300 (13 September 2009)
[8]Ibid, Hlm.301
[9]Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional,  Bandung Alumni, 1991, Hlm.61
[10] Bahan Ngajar Prof. Dahlah, S.H, M.H, Mencari Sistem Hukum Nasional Indonesia (Artikel), Hlm.1
[11]Ibid. Hlm.2
[12] Drs. M.Natsir Ilyas, M.Hum (Kadis Syariat Islam dan KS Kota Banda Aceh),  Laporan Pelaksanaan Kegiatan Syariat Islam dan KS Kota Banda Aceh Tahun 2006
[13] Sajuti Thalib, SH, Receptio A Contrario (Hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam), PT Bina Aksara Jakarta, 1985, Hlm.5-9  
[14]Sajuti Thalib, S.H, Re Receptio A Contrario (Hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam), PT Bina Aksara Jakarta, 1985, Hlm.6-8  
[15]Muhammad Budi Setiawan, Politik Hukum Perbankan Syariah (artikel).www.google. perbankan syariah.

[16]Prof. Sujipto, Hukum Progrefif dan Responsif, www.google.
[17] Oyas, Sejarah Hukum (Simposium Sejarah Hukum tanggal 1-3 April 1975)
[18] Sunaryati Hartono, OpCit. Hlm. 58
[19]Bachtiar Efendi, Masyarakat Agama dan Tantangan Globalisasi (makalah), Hlm.2
[20]Yusuf Al-Qardawi, Islam dan Globalisasi Dunia (Terjemahan), Jakarta: Pustaka Al-Kausar, 2001, Hlm.21-23.
[21]Harun Nasution, Islam di tinjau dari berbagai Aspe jilid I, Jakarta: UI Pres Cet V,1985, Hlm.10

Tidak ada komentar:

Posting Komentar