Laman

25 Agu 2019

Ultra Petita Mahkamah Konstitusi

Ultra petita merupakan penjatuhan putusan oleh hakim atas perkara yang tidak dituntut atau “hakim menjatuhkan putusan melebihi dari yang diminta.”
Ketentuan ultra petita diatur dalam Pasal 178 ayat (2) dan (3) Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) serta padanannya dalam Pasal 189 ayat (2) dan (3) RBg yang melarang seorang hakim memutus melebihi apa yang dituntut (petitum). HIR adalah hukum acara yang berlaku di pengadilan perdata di Indonesia.
Dalam  hukum perdata berlaku asas “hakim bersifat pasif,” artinya ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan kepada hakim untuk diperiksa pada asasnya ditentukan  pihak yang berperkara. Hakim hanya menimbang hal-hal yang diajukan para pihak dan tuntutan hukum yang didasarkan kepadanya.



Salah satu lembaga penegak hukum yang putusannya kerap dinilai ultra petita adalah Mahkamah Konstitusi. Ini, misalnya terjadi ketika Mahkamah Konstitusi membatalkan kewenangan  Komisi Yudisial  mengawasi hakim agung.  Dalam putusan pada 23 Agustus 2006, Mahkamah juga menyatakan Komisi tak berwenang mengawasi hakim konstitusi  -hal yang tak diminta pemohon.
Putusan ultra petita  Mahkamah Konstitusi lainnya adalah ketika memutus uji materi atas UU No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Ketika itu pemohon meminta Mahkamah membatalkan tiga pasal. Tapi, dalam putusannya Mahkamah Konstitusi justru membatalkan seluruh undang-undang tersebut.
Sejumlah pakar hukum menyatakan, berbeda dengan pengadilan perdata yang melindungi perorangan, obyek hukum Mahkamah Konstitusi adalah hukum publik, melindungi orang banyak, dalam hal ini seluruh rakyat Indonesia.

Pertimbangan Mahkamah Kosntitusi dalam memutus melebihi permohonan pada pokoknya sebagai berikut: 1) Undang-undang yang diminta diuji merupakan “jantung” UU sehingga seluruh pasal tidak dapat dilaksanakan; 2) praktik ultra petita oleh MK lazim di negara-negara lain; 3) perkembangan yurisprudensi pengadilan perdata ultra petita diijinkan; 4) pengujian UU menyangkut kepentingan umum akibat hukumnya bersifat erga omnes, berbeda dengan hukum perdata (privat); 5) kebutuhan kemasyarakatan menuntut ultra petita tidak berlaku mutlak; 6) jika kepentingan umum menghendaki hakim tidak boleh terpaku pada permohonan (petitum); 7) permohonan keadilan (ex aequo et bono) dianggap secara hukum diajukan pula dan mengabulkan hal yang tidak dimintakan putusan melebihi putusan.

Sumber:hukum.tempo.co

Tidak ada komentar:

Posting Komentar