Oleh :
Muhammad Syarif,SHI.,M.H
Status
Otonomi Khusus untuk Daerah Aceh sebagaimana yang telah dituangkan di dalam
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) telah
memberikan kekhususan dan pengaturan yang berbeda terhadap pengaturan
pemerintahan jika ditinjau dari sistem ketatanegaraan, salah satunya adalah
eksistensi, peran dan fungsi Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) dan kedudukannya sebagai lembaga yang bermitra bersama Pemerintah Aceh
dalam perumusan berbagai bentuk kebijakan.
Di dalam
Pasal 139 ayat (1) UUPA, ditegaskan bahwa peran “MPU berfungsi untuk menetapkan
fatwa yang dapat menjadi salah satu pertimbangan terhadap kebijakan
pemerintahan daerah dalam bidang pemerintahan, pembangunan, pembinaan
masyarakat dan ekonomi”.
Keberadaan
MPU juga telah diamanatkan di dalam UU No. 44 Tahun 1999 Tentang Keistimewaan
Aceh, disebutkan bahwa Daerah membentuk sebuah badan yang anggotanya terdiri
atas para ulama. Dan Badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat
independen yang berfungsi memberikan pertimbangan terhadap kebijakan Daerah,
termasuk bidang pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan serta tatanan
ekonomi yang Islami. Saat inipuan Pemerintah Aceh telah mengeluarkan Qanun Nomor 2 Tahun 2009
yang mengatur organisasi MPU.
Dengan
demikian dapat dilihat bahwa dari sisi aturan hukum, MPU merupakan lembaga yang
secara yuridis keberadaanya dan dapat menjalankan tugasnya berdasarkan dengan
aturan yang ada, dan MPU tidak dapat disamakan dengan organisasi yang ada baik
ormas atau lembaga kemasyarakat lainnya. Namun yang perlu dilihat di dalam
konteks ketatanegaraan di tingkat pemerintahan daerah, khusunya pemerintahan
Aceh di dalam kerangka otonomi khusus, yaitu menyangkut dengan keberadaan MPU
di dalam perumusan berbagai bentuk kebijakan baik qanun ataupun fatwa, baik
menyangkut dengan syriat islam dan lainnya, dan hubungan kelembagaan yang
dibangun baik dengan masyarkat serta legislative dan eksekutif, hal ini penting
untuk melihat kinerja dari lembaga ini di tataran publik
Jika dikatakan
MPU sebagai mitra, dapat dikatakan bahwa MPU sebagai lembaga yang sejajar,
maka, sebagai lembaga yang sejajar atau mitra, masing-masing kelembagaan akan
memiliki penilaian yang berbeda dan kekuatan posisi tawar yang berbeda dalam
memahami substansi persoalan serta di dalam melakukan argumentasi baik secara
yuridis, filosofi dan sosiologis terhadap suatu kebijakan yang akan
dilahirkan. Hal ini akan membawa konsekwensi dimana eksekutif dan
legislatif dapat memakai pertimbangan dari MPU dan dapat saja menolak
pertimbangan yang diajukan oleh MPU. Dalam hal ini, dapat dianggap bahwa usulan
“Pertimbangan” bisa dan/atau tidak mengikat pihak eksekutif dan legislatif di
dalam merumuskan dan menerapkan aspek kebijakan yang akan dilahirkan.
Namun jika
dilihat dari sisi ketatanegaraan dan aspek kelembagaan, hadirnya lembaga MPU
sebagai mitra yang sejajar diantara eksekutif dan legislatif merupakan langkah
maju dimana Aceh sudah mengakomodir lembaga yang sangat penting untuk
menciptakan norma-norma hukum dan kebijakan sesuai dengan nilai-nilai
keislaman, yang dilakukan dengan mengandeng MPU.
Hal ini
sesuatu yang berbeda yang dikenal dengan pembagian kekuasaan (distribution
of Power), atau yang disampaikan oleh John Lock yang membagi
kekuasaan menjadi eksektif, legislative, dan yudikatif, dan konsep Pemisahan
Kekuasaan (separation of power) dengan teori trias politica yang pernah dikemukakan oleh Montesquieu. Pada
dasarnya kedua konsep ini ditujukan untuk menghindari terjadinya pemusatan
kekuasaan, sehingga adanya check and balance dalam hubungan kelembagaan,
untuk tidak terjadinya pemusatan kekuasaan kepada satu lembaga.
MPU memiliki
peran sesuai dengan yang dimandatkan dalam UUPA untuk memberikan
masukan-masukan kepada Pemerintah Aceh dalam merumuskan kebijakan. Dengan
demikian fungsi check and balance terhadap kebijakan yang dilahirkan
oleh Pemerintah Aceh tidak hanya dilakukan oleh tiga lembaga, namun juga
dilakukan oleh MPU dalam kedudukannya sebagai mitra Pemerintah Aceh, dalam hal
ini dapat dikatakan peran MPU sudah menjalankan fungsi pembuatan kebijakan (Policy
Making Function), karena MPU dikatakan sebagai mitra Pemerintah Aceh, dan
Parlemen Aceh dan juga Parlemen Kabupaten/Kota didalam perumusan kebijakan, dan
MPU sudah melakukan fungsi control terhadap berbagai kebijakan yang
dilahirkan oleh Pemerintah Aceh.
Jika dilihat
lebih jauh lagi kiprah dan peran ulama terutama MPU Aceh dalam memberikan
pertimbangan terhadap kebijakan bagi Pemerintah Aceh telah lama dilakukan,
misalnya saja, pada tahun 2001 MPU berperan aktif memberikan masukan terhadap
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001, MPU merumuskan Rancangan Qanun Tentang
Baitul Mal, Rancangan Qanun Mahkahah Syari’ah, dan Qanun-Qanun pelaksanaan
Syari’at Islam di Aceh, seperti Qanun tentang maisir, khalwat dan khamar. Pada
tahun 2006 MPU mengeluarkan berbagai fatwa yaitu, mengeluarkan taushiyah
tentang kewajiban mensuksesukan Pilkada, Menetapkan Fatwa tentang Kewajiban
Pemerintah untuk melaksanakan pencatatan dan administrasi kependudukan dan
menyusus Rancangan Qanun MPU yang baru, sesuai dengan tuntutan UUPA dan
pemekakaran Kabupaten/Kota dalam Provinsi NAD.
Di dalam
Qanun No. 2 Tahun 2009 disebutkan MPU Aceh berfungsi (a) Mengeluarkan
fatwa; (b) memberikan pertimbangan dan saran kepada Pemerintah Aceh, DPRA dan
masyarakat; (d) Menentukan kebijakan daerah dari aspek Syari'at Islam; (e)
Memfasilitasi pengkaderan ulama.
Disisi yang
lain, MPU dapat mengikutsertakan tenaga ahli dalam bidang keilmuan
terkait. Hal ini Terkait dengan fungsi MPU memberi fatwa dan pertimbangan dalam
bidang pemerintahan, pembangunan, pembinaan masyarakat dan Ekonomi, MPU juga
dapat membentuk LP POM guna meneliti kandungan kehalalan suatu produk.
Dengan tugas
dan fungsinya begitu besar tersebut, MPU perlu memikirkan aspek-aspek
pengembangan organisasi, pengembangan kapasitas yang menyangkut dengan aspek
pemerintahan dan pembangunan hukum di Aceh, sehingga nantinya baik dari sisi
aspek sumber daya manusianya, pengkaderan dan juga kelembagaannya, MPU dapat
bekerja secara optimal di dalam memberikan masukan dan
pertimbangan-pertimbangan bagi terhadap berbagai kebijakan yang dikeluarkan
oleh Pemerintah Aceh agar dapat dilakukan sesuai dengan prinsip keadilan dan
pemenuhan kepastian hukum di Aceh. sehingga peran Ulama yang merupakan bahagian
penting dari MPU dan untuk terbangunnya masyarakat Aceh yang adil, dan jauh
dari sikap pihak penguasa baik eksekutif dan legislatif dalam bentuk
penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dapat dihindari dengan adanya
kontrol yang kuat dari MPU terhadap kebijakan yang dilahirkan oleh Pihak
eksekuif dan legislative. Artinya peran-peran komunikasi yang efektif
dalam merumuskan kebijakan yang membutuhkan pertimbangan dari MPU harus
dilakukan baik diminta maupun tidak diminta. Jika saja ada sesuatu kebijakan
yang bergeser dari prinsip keadilan dan norma yang berlaku di Aceh, walaupun
tidak diminta MPU tetap harus memberikan pertimbangannya, disinilah masyarakat
dapat menilai peran dan kinerja MPU Aceh.
Ada beberapa
hal yang menurut penulis menjadi kendala di dalam MPU hari ini, dimana
kendala-kendala tersebut jika tidak diatasi dengan baik oleh MPU dan Pemerintah
Aceh akan mempengaruhi kinerja dari MPU di dalam melaksanakan tugasnya,
beberapa hal dibawah ini patut menjadi perhatian bagi pemerintah Aceh di dalam
melakukan pembenahan terhadap MPU dan bahka organisasi-organisasi lainnya,
yaitu:
Pertama,
adalah aspek anggaran, Di dalam sebuah organisasi yang dituntut bekerja
maksimal di dalam melayani kepentingan publik MPU berperan besar. Sebagaimana
yang diketahui bahwa UUPA mengamanatkan membentuk MPU baik ditingkat Provinsi
maupun di Kabupaten/Kota, namun pembebanan anggaran yang tidak begitu seimbang
antara Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota sudah terjadi dan menjadi suatu
hal memalukan di tataran kebijakan Pemerintahan baik di Provinsi dan di daerah jika porsi
keuangan MPU sangat minim.
Kedua adalah
sumber daya manusia, sumber daya manusia berperan penting bagi MPU bagi ulama
Aceh, sebagaimana diketahui adalah, ulama berperan besar di tubuh MPU, dan amanat
di dalam UUPA bahwa anggota dari MPU terdiri dari ulama-ulama yang
dipertegas dalam Qanun No.2 Tahun 2009 bahwa MPU diisi oleh Ulama dan Cendikiawan
Muslim. Ketika kita
bicara sumber daya MPU maka juga harus dipikirkan lembaga subordinatnya
Sekretariat MPU yang menjadi penggerak administratif, protokoler dan keuangan
MPU. Jika dijajaran Sekretariat MPU diisi oleh insan yang uzur dalam tanda
kutip” tidak cakap” maka dipastikan roda organisasi MPU juga akan terkendala.
Ketiga
adalah aspek
pengembangan organisasi MPU. Pengembangan organisasi yang lebih baik saat ini menjadi tuntutan di
tubuh MPU, hal ini terkait dengan bagaimana MPU dapat membangun hubungan dan
komunikasi politik yang baik dengan mitranya yaitu legislative dan eksekutif.
Di dalam hubungannya sebagai mitra yang sejajar, tentunya yang dipentingkan
adalah bukan suara-suara personal, namun adalah suara-suara yang mengatas
namakan organisasi. Pengembangan Organisasi
merupakan program yang berusaha meningkatkan efektivitas keorganisasian dengan
mengintegrasikan keinginan individu akan pertumbuhan dan perkembangan dengan
tujuan keorganisasian. Pengembangan organisasi sebagai suatu disiplin
perubahan perencanaan yang menekankan pada penerapan ilmu pengetahuan dan
praktek keperilakuan untuk membantu organisasi-organisasi mencapai efektivitas
yang lebih besar. Disini butuh sosok juru bicara MPU yang telaten,cakap
dan mampu membangun komunikasi lintas stakeholder baik vertikal maupun
horizontal. Sehingga secara kelembagaan MPU semakin punya taring dalam
menjalankan topoksi dan kewenangannya. Disisi lain ditubuh MPU juga diberi
porsi khusu bagi alumni Hukum yang cakap dan telaten dibidangnya. Jangan
dikunci MPU harus diisi oleh insan yang memahami kitab kuning ansich.
Keempat yang lebih penting
adalah hubungan kelembagaan di dalam perumusan kebijakan, jika dilihat, MPU
berkedudukan sebagai sebuah lembaga mitra antara eksekutif dan legislative dan
dapat memberikan masukan dan pertimbangan terhadap berbagai bentuk kebijakan
yang akan dilakukan oleh Pemerintah Aceh, tentunya, aspek pemberian
pertimbangan ini jika memang diminta, dan dapat saja pertimbangan yang
diberikan oleh MPU tidak akan mengikat lembaga legislative dan eksekutif di
dalam perumusan kebijakan. Namun MPU akan menjadi sumber referensi yang cukup bagi
perumusan kebijakan yang terkait dengan syaria’ah Islam di Aceh. dan
Qanun-Qanun mengenai Syariah Islam, sebagaimana diketahui peran MPU di dalam
perumusan kebijakan yang berkenaan dengan Syari’ah Islam cukup banyak, misalnya
terlibat di dalam perumusan Qanun Jinayah, Qanun Masir, Judi dan Khalwat. hal
ini merupakan bentuk eksistensi lembaga ini di dalam perumusan kebijakan di
Aceh. Tetapi di tataran hubungannya dengan lembaga legislative dan eksekutif peran
MPU, dapat dilihat sebagai Dewan Pertimbangan. Jika dilihat dengan konteks keberadaan MPU tentunya peran lembaga ini
sebatas memberikan pertimbangan terhadap kebijakan Pemerintah, dan pertimbangan
tersebut dapat dikesampingkan oleh legislative dan eksekutif.
Hal-hal inilah
yang perlu mendapat perhatian serius dari MPU sebagai sebuah lembaga
yang dituntut aktif di dalam memberikan pertimbangan kepada lembaga legislative dan eksekutif. memang, sebuah pertimbangan tidak secara serta
merta dapat diterapkan dan dirumuskan di dalam perumusan kebijakan, namun
setidaknya hal ini akan memberikan ruang control kepada public terhadap
kebijakan-kebijakan yang akan dikeluarkan dan akan berdampak kepada kebijakan publik di Aceh. Saatnya eksistensi MPU benar-benar dijalankan
sesuai konstitusi.
*Penulis adalah Direktur Aceh Research Institute (ARI)
dan Dosen Hukum Tata Negara UIN Ar-Raniry.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar