Laman

18 Okt 2012

Mozaik Sitem Hukum Di Indonesia

Oleh : Muhammad Syarif

Salah satu mamfaat dari memahami perbandingan sistem hukum adalah kita bisa memahami sistem hukum negara sendiri, minimal sistem hukum Indonesia, sistem-sistem hukum apa saja yang berlaku dalam masyarakat, bagaimana historis terjadinya sistem hukum itu dapat eksis atau bahkan lenyap, dengan kata lain adanya interaksi antar sistem hukum yang menimbulkan sistem hukum yang lebih kongkret dan pasti akan menjadi sistem yang akan berlaku dan diterima oleh masyarakat.
Akibat penjajahan kolonial Belanda 350 tahun menyebabkan mayoritas umat Islam di Indonesia memakai sistem hukum positif barat. Pemberlakuan hukum positif Barat di Negara-negara Islam tidak terlepas dari kolonialisme, termasuk Indonesia.

A. Periode Pemerintah Kolonial
1. Hukum Adat Versus Hukum Barat
Menurut Vollenhoven hukum adat adalah hukum non statutair yang sebagian besar adalah hukum kebiasaan dan sebagian hukum Islam. Hukum adat itu pun melingkupi hukum yang berdasarkan keputusan-keputusan hakim yang berisi asas-asas hukum dalam lingkungan, dimana ia memutuskan perkara. Hukum adat adalah suatu hukum yang hidup, karena ia menjelma perasan hukum yang nyata dari rakyat. Sesuai dengan fitrahnya sendiri, hukum adat terus menerus dalam keadaan tumbuh dan berkembang seperti hidupnya sendiri.
Awal terjadinya pergeseran hukum adat pada saat penggagasan di berlakunya sistem hukum kodifikasi Barat, secara efektif berlaku sejak tahun 1848. Pada era kabinet Kuyper yang memegang kekuasaan pada tahun 1901, pada tanggal 15 september 1904 mengusulkan suatu rencana undang-undang yang maksudnya bukan untuk mempertahankan hukum adat yang tak tertulis dan juga bukan untuk mengkodifikasi hukum adat akan tetapi untuk menggantikan hukum adat dengan hukum Eropa.
Lebih lanjut Soepomo menjelaskan bahwa untuk menjamin kepentingan-kepentingan dari 300.000 orang kristen di Indonesia, pemerintah Belanda menghendaki supaya seluruh penduduk dari daerah-daerah yang di perintahkan secara langsung yang pada waktu itu 30.000.000 komunitas kristen saat itu tunduk pada unifikasi hukum Barat.
Dalam hubungan ini Macauli melukiskan kodifikasi bagi India pada tahun 1833, uniformity went you can have it’s divercity went you must have it’s but ia all caces: cartainty). Dengan demikian pem “Barat” an terhadap sistem hukum adat semakin menjadi keharusan dengan asumsi bahwa Timur selalu meniru istitusi-institusi sosial dari Barat. Berikut ini pendapat Mr. Cowan: ”suatu hal yang sewajarnya bahwa unifikasi harus didasarkan kepada hukum Barat karena menurut anggapannya kita selalu mengetahui dunia Timur, menerima institut-institut sosial baru dari Barat, belum pernah terjadi sebelumnya, sedang hukum perdata harus mengikuti institut-institut sosial
B. Periode Pasca Kemerdekaan
1. Era Soekarno
Indonesia merdeka pada tanggal 17 agustus 1945 namun kemerdekaan di bidang lainnya seperti ekonomi politik dan pengaruh asing lainnya masih menjadi persoalan yang tidak mudah untuk lepas secara menyeluruh hal ini sebagai mana di tegaskan oleh Bung Karno dalam pidatonya dalam Konfrensi Asia Tenggara di Washington:
“Semenjak Kemerdekaan politik di Indonesia menjadi suatu kenyataan maka timbullah masalah lain yang sama penting dan sukarnya, yakni masalah pembinaan masyarakat indonesia yang sampai beberapa tahun yang lalu hampir seluruhnya dikendalikan oleh kekuasaan asing dalam kehidupan ekonomi sosial dan politiknya”... dengan tamatnya masa kolonial itu kami dihadapkan kepada masalah mengubah dan pembarui indonesia, yang berarti: meruntuhkan tata terttib masyarakat yang lampau dan menciptakan ukuran-ukuran baru berdasarkan kebutuhan-kebutuhan nasional dari bangsa Indonesia, disesuaikan dengan syarat-syarat hidup modern”.
Rezim Soekarno politik pembangunan hukum termasuk menentukan sistem hukum ala Indonesia dengan memperhatikan kebutuhan internasionalisme modern, tetap menyandarkan pada sistem konstitusi yang mengalami beberapa kali penggantian (UUD 1945) UU Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Undang-Undang Dasar Sementara.
2. Era Soeharto (1966-1998)
 Rezim Soeharto yang memiliki nuansa pembangunan ekonomi yang lebih terbuka khusus nya investasi besar-besaran bermitra dengan dunia sistem kapitalisme Barat. Sebagai bukti atas itu pemerintah mengundangkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Pemerintah mengklaim sebuah karya bangsa dengan di berlakukanya KUHAP produk Indonesia, walaupun sebenar nya lebih tepat sebagai “Copy” dari KUHAP Belanda. Ketidak populeran dan kurang membumi nya sistem hukum pribumi  dalam hal ini hukum adat dan hukum Islam di sebabkan berbagai faktor, di antara nya:
  1. Tidak ada nya jaminan kepastian hukum;
  2. Nilai-nilai moral yang di sampaikan hukum adat, maupun islam daya mengikat nya lemah;
  3. Berbeda-beda nya aliran-aliran (mazhab) pemahaman hukum islam;
  4. Kebutuhan perangkat hukum positif  yang terjamin kepastian dan penerapan nya (legally enforceable);
  5. Kebutuhan pembangunan yang melibatkan investor asing yang sudah berhukum pada sistem  hukum positif (sekuler)
Era Soeharto adalah era pembangunan, khusus nya mengedepankan pembangunan fisik tanpa mengedepankan pertimbangan moral dan etika. Salah satu kebutuhan untuk melakukan bisnis adalah kepastian atau certainty. Legal transplan atau pencangkokan hukum merupakan salah satu metodde untuk mensosialisasikan pola-pola yang diadopsi dari luar seperti Amerika.
  Pasca Soeharto ( 1998-sekarang)
 Dalam era pembangunan pasca Soeharto di warnai suatu suasana transisi dari era otoriter dan era reformatif. Suatu langkah yang fenomenal pada zaman Habiebie telah di undangkan lebuh dari tiga puluh Undang-undang dalam kurung waktu kurang dari dua tahun, termasuk memerdekakan Timor-Timur. Pada periode tersebut bermunculan instrument-instrumen hukum yang berasal dari sistem hukum Amerika, sebagai contoh gugata class action, penyelesaian sengketa alternatif dan arbitrase dan munculnya berbagai lembaga quasi yudisial, seperti komisi bentukan pemerintah.
Bagaimana nasibnya hukum adat juga termasuk hukum Islam yang sebelum zaman kolonial merupakan sistem hukum yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Indonesia. Pemandangan menunjukkan bahwa kedua sistem tersebut semakin tercabut dari akar budaya masyarakat dan tidak berdaya menahan derasnya keperkasaan sistem hukum Barat.
C. Hukum Islam dan Pemeluknya di Indonesia
Pembahasan hukum Islam perlu mendapatkan pembahasan secara memadai. Hal ini menjadi penting mengingat mayoritas penduduk Indonesia memeluk agama Islam, sistem hukum yang dewasa ini berlaku didominasi sistem civil law. Selain itu, eksistensi hukum adat masih memiliki nuansa yang signifikan.
Komposisi antar ketiga elemen tersebut di Indonesia sangat tampak dalam kurikulum fakultas hukum seluruh Indonesia. Tidak dapat di pungkiri sistem hukum warisan kolonial menempati porsi yang dominan, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Subtansi hukum Islam dan hukum adat tidak lebih sebagai mata kuliah komplementer. Dengan kata lain, realitas hukum dan realitas empiris komunitas yang di aturnya terdapat kesenjangan yang serius. Bahkan, pemuka-pemuka Islam di Indonesia banyak yang mempelajari dan mendalami Islam atau pengetahuan lainnya dari Negara non-Muslim, seperti Amerika, Eropa termasuk di Belanda yang telah menjajah kita. Bukan tidak mungkin, proses brain washing dan culture adjustmen dialami para pemuka, pemimpin umat islam dengan mindset barat.
            Umat Islam berhukum pada sistem hukum non-Islam serta mengambil sikap yang bervariasi terhadap sistem hukum positif di Indonesia:
1.   Ummat Islam berhukum pada sistem Hukum Barat (BW, KUHP, KUHAP dan hukum positif lainnya diluar itu).
2.   Ummat Islam berhukum pada sistem hukum Islam (selektif)
3.  Ummat Islam berhukum pada sebagian hukum Islam dan sebagian hukum Barat serta hukum Adat.
 D. Benturan Antar Sistem Hukum
 Dalam konteks pluralitas masyarakat Indonesia, sangat di mungkinkan coalition of norm atau benturaan norma sebagai berikut:
1.  Kontrasi antara hukum Islam dengan hukum positif.
2.  Kontraksi antara hukum Islam dengan adat atau urf.
3.  Kontraksi antara hukum positif dengan hukum adat.
Sebagai contoh terjadinya kontradiksi anatar hukum Islam dengan hukum positif bahwa jika seseorang yang terikat pernikahan melakukan zina, menurut syariat Islam harus dirajam atau dilempar dengan batu sampai mati dan apabila pelaku zina belum terikat pernikahan di hukum dengan cambuk seratus kali. Penerapan hukum tersebut tidak bisa dibenarkan menurut hukum positif. Contoh lain perbedaan konstruksi hukum mengenai zina antara konsep Islam dengan KUHP sebagai hukum positif. Zina menurut hukum Islam pelakunya tidak mensyaratkan terikat oleh perkawinan sedangkan KUHP sebaliknya yakni salah satu pelaku atau keduanya terikat perkawinan.
Apabila kita merujuk kepada Al-urf / Al-Adat / Al-Ta’ammul, sebagai salah satu metode dalam penetapan hukum, persoalan adat di Indonesia cukup menarik untuk dikaji. Apakah semua hukum adat dapat diadopsi menjadi hukum syara` atau kaidah lain. Sikap Islam terhadap adat, adalah jelas bahwa adat kebiasaan yang benar (al-adat al shahihah) yang dapat diadopsi ke dalam hukum Islam.
E. Marjinalisasi Hukum Islam
Perbedaan yang mencolok antara perkembangan hukum Islam dan hukum Barat adalah terletak pada “positivisme”. Dalam hukum Barat, ajaran ketuhanan dan ajaran hukum kodrat telah lama ditinggalkan bahkan tidak memiliki kepastian hukum.
Dalam Islam terbuka ruang atau peluang untuk melakukan pembaruan hukum sesuai dengan kebutuhan waktu dan tempat, tapi harus tetap berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist. Apa dasarnya, kita dapat merujuk pada percakapan Nabi Saw. dengan Muadz bin Jabal ketika akan ditugasi sebagai gubernur Yaman. Sang gubernur menjawab “saya akan melakukan Ijtihad.” Istilah Ijtihad apabila di sejajarkan dengan pola ajaran hukum Barat, kurang lebih dengan istilah “akal budi” untuk menemukan hukum-hukum Tuhan. Hukum Islam jelas memiliki perbedaan dengan hukum Barat, diantaranya Hukum Islam berdasarkan pada wahyu Tuhan yang disampaikan pada utusan-Nya dan terkodifikasi baik Al-qur’an maupun kompilasi Hadis. Disisi lain, teori hukum kodrat tidak memiliki kodifikasi, hukum tersebut hanya sekedar konsepsi hukum yang abstrak, universal, yang penafsiran dan pemahamannya ada pada naruni masing-masing.
 Hal ini tidak hanya dialami oleh Indonesia, Mesir sebagai pusat peradaban  Muslim modern pun sedang menghadapi krisis serupa. Yusuf Qardhawi mengungkapkan kekhawatirannya:
“Sungguh undang-undang ini tidak akan pernah masuk dan diberlakukan seandainya penjajah tidak memasukkan dan mensosialisasikannya secara paksa “ketazaman tombak” nya. Masina.
 Penasehat hukum pemerintah Mesir berkebangsaan Italia berkata: “syabah, kepala pendidikan sejarah di Sivini, gemetaran tubuhnya karena membayangkan bagaimana umat ini dipaksakan untuk memberlakukan undang-undang yang datang dari luar..
Keadaan serupa sesungguhnya juga terjadi di Indonesia , bahka di Negara Islam lainnya. Mengapa hal ini terjadi, Barat memiliki mesin hukum yang namanya “positivisme” sebagai man made law atau hukum buatan manusia yang telah berhasil diberlakukan dengan sistem hukumnya yang ditopang oleh struktur hukum (legal structure) seperti institusi-institusi hukum, instrument-instrument hukum secara substansial dalam berbagai perundang-undangan termasuk budaya hukum (legal culture) yang mereka bawa sesuai dengan prinsip dan nilai-nilai dasar yang mereka bangun.
Ada dua penyikapan terhadap pembaruan hukum islam, Pertama, sebagian golongan ingin memperlakukan Islam agar fleksibel mengikuti zaman, seperti “adonan roti” yang lunak dan bisa dibentuk apa saja. Islam beku seperti batu. Kedua, sebagian lagi menghendaki Islam. Bahkan mereka tidak mau memakai dasar Alqur’an, hadis, ijma’ dan qiyas.
 F. Demoralisasi dan Inefektivitas Hukum Positif
 Pendewaan terhadap hukum positif yang kering dengan muatan religi, moral, dan akhlak akan menimbulkan penderitaan dan kesengsaraan masyarakat. Dengan ruh kapitalisme, dan sekularisme, pertimbangan moral semakin dianggap tidak relevan. Sistem hukum positif Barat menjadi sistem tunggal memarjinalkan eksistensi sistem hukum lainnya.
Hal lain yang krusial adalah efektivitas hukum agama yang sandarannya dikembalikan keimanan setiap individu, bahkan nilai-nilai dan pesan moral agama hanya sebatas urusan ritual religius yang bersifat vertical. Hal ini diperparah dengan ketidakefektifan hukum positif di Indonesia mengakibatkan keadaan semakin terpuruknya supermasi moral.
 G. Tinjauan Sistem Hukum Mesir
Pemahaman dasar untuk mengenali sistem hukum Mesir bertitik tolak dari sejarah yang melatar belakangi existing law saat ini bahwa Mesir pernah diduduki oleh berbagai peradaban, yaitu Yunani, Romawi, Prancis, Inggris, dan hukum Islam. Sebagai konsekuensi dari realitas sejarah, sumber hukum utama di Mesir adalah Kode Napoleon (Napoleonic Code), Romawi Law, dan hukum Islam.
Struktur dan sistem kenegaraan menganut demokrasi konstitusional berdasarkan prinsip pemisahan kekuasaan-kekuasaan legislative, eksekutif, dan yudikatif. Konstitusi Mesir tahun 1971 diamandemenkan pada tahun 1980 dengan referendum tanggal 22 mai 1980 yang memiliki nafas penghormatan terhadap kebebasan individu dan rule of law. Kekuasaan yudikatif memiliki independensi dan tidak menjadi subordinat lembaga lainnya, para hakim mengabdikan dirinya sampai usia 64 tahun dan dijamin keamanan dan keselamatannya oleh Negara.
Mesir menempatkan urutan produk hukum dan perundang-undangannya sebagai berikut, yaitu: Constitution, parliament legislation, presidential decree, Prime Ministerial decree, ministerial decision and acts of governors and head of governmental bodies and public corporations (konstitusi, legislasi parlemen, keputusan presiden, keputusan perdana menteri, keputusan  menetri dan peraturan gubernur, kepala lembaga pemerintahan dan korporasi publik).
Sejak pemerintahan Khedive Ismail pada paruh pertama abad ke-19, telah mengalami proses westernisasi dengan cepat dengan mengadopsi kode hukum modern (modern codes of law), seperti hukum Napoleon Prancis, dan pengabdosian hukum Romawi, dengan beberapa kekecualian dalam bidang perkawinan, warisan dan perceraian tunduk pad hukum substatif Islam. Adapun struktur sistem pengadilannya terpisah menjadi dua, yaitu The ordinary court of law dan administrative law atau peradilan umum dan peradilan tata usaha Negara.
Sistem Common Law di Mesir
Sistem common law di Mesir terdiri empat lapisan yaitu summary court, court of first degree, court of appeal dan supreme court (court de cassation).
 1. Summary Court
Mempunyai yuridiksi untuk memutuskan perkara mengenai misdemeanor, minor offences, civil and commercial cases yang nilainya tidak melebihi 5.000 poundsterling. Juga status personal usia di bawah umur dan persengketaan perburuan yang timbul antara pekerja dan majikan.
 2. Pengadilan Tingkat Pertama (court of first degree)
Pengadilan ini mempunyai yuridiksi untuk memutuskan perkara yang nilainya melebihi 5.000 poundsterling menyangkut status personal, memiliki hak untuk melakukan banding ke court of appeal.
3.      Pengadilan Tingkat Banding (Court of appeal)
Pengadilan tingkat banding berada di kota-kota besar di Mesir, yurisdiksinya meliputi penyelaian kasus banding dari mulai perkara sipil, komersial, status personal yang diajukan pengadilan tingkat pertama. Bobot kasus yang diproses juga menyangkut hukuman berat, hukuman mati atau penjara 20sampai 25 tahun.
 4. Supreme Court (court de cassation)
Pengadilan tingkat kasasi atau mahkamah agung menyelesaikan perkara dari pengadilan tingkat banding untuk memberikan final judgement terhadap kasus yang berasal dari pengadilan banding.
H. Kelemahan Umat Islam
M. Natsir mengidentifikasi kelemahan umat Islam kedalam empat macam:
1. Tidak ada Inventarisasi. Umat Islam seperti orang kaya yang tidak pandai memegang buku Inventarisasi gudag. Umat Islam memiliki potensi tapi tidak mampu memobilisasikannya untuk keperluan umat
2. Hobi bermusuhan. Umat Islam sangat demam punya lawan. Kalau ada musuh mereka bersatu bila musuh tidak ada lagi mereka kehilangan musuh, maka mereka mencari musuh dikalangan diri sendiri.
3. Tidak menghargai diri. Umat Islam tidak menghargai diri dan yang menjadi  milik sendiri.
4. Rakus pada dunia dan takut risiko. Umat Islam sangat rakus pada dunia dan dalam waktu yang sama sangat takut pada risiko, takut mati.
I.  Hukum Islam dan Hukum Sipil (Civil Law)
Setelah menguraikan sumber-sumber hukum Islam beserta metode penetapan hukum baru yang belum ada pengaturannya dalam Alqur’an maupun Al-Sunah, dapat disimpulkan bahwa hukum Islam memiliki banyak kesamaan dengan sistem kode sipil, diantaranya:
a. Civil Law yang berasal dari Corpus Juris Civilis terdiri dari empat buku (terkodifikasi).
b. Kaidah dan asas hukum dibuat oleh para pakar hukum terkemuka ;(glossator, comentor)
c.  Sebagian merupakan keputusan kaisar.

 Dalam hukum Islam, ternyata memiliki beberapa kesamaaan dalam beberapa hal :
  1. Hukum Islam merupakaan hukum yang terkodifikasi ; ( mushaf usman)
  2. Hukum Islam yang dibuat yang diluar al-quran dan al-sunnah dibuat oleh law maker yang terkemuka (mujtahid)
  3. Hukum Islam mengakui eksistensi adat (urf) yang sesuai syara’
  4. Ijma para sahabat merupakan hukum berasal dari penguasa (khalifah)
Sedangkan sejumlah perbedan antara kedua sistem tersebut adalah :
a. Sumbernya
Hukum Romawi merupakan hukum yang murni merupakan buatan manusia, sedangkan hukum Islam masih terjaga kemurniannya sebagai wahyu Allah.
 b. Penyebarannya
Hukum Romawi menyebar ke seluruh dunia berawal dari universitas Bologna di Italia, dan setelah itu menebar ke seluruh eropa dan seluruh bekas jajahannya (melalui imperealisme); hukum islam penyebarannya melalui perniagaaannya oleh para pedagang.
 c. Metode
Islam menyebar melalui perdagangan, hukum sipil diterapkan dan disebarkan melalui kolonialisme.          
J. Hukum Islam dan Tertib Social (Sosial Order)
Betapa tidak berdayanya pilar hukum positif dalam melakukan kriminalisasi terhadap dunia mistik primitive sekaligus dunia maya super modern yang kita namakan cyber rime. Dua perbuatan menyimpang yang secara substansinya sama, tetapi merupakan keluaran hasil olah rasa dan olah pikir manusia yang berbeda. Dalam model untuk membangun masyarakat agar tidak menjurus dan terjerumus pada dunia kriminal atau berkubang dengan dosa. Berikut ini pemikir Islam terkemuka dari Mesir Yusuf Qordhawi menjelaskan :
‘Islam bukanlah hukum dan perundang-undangan belaka, tetapi Islam adalah akidah yang menafsirkan kehidupan, ibadah yang mendidik jiwa, akhlak yang membersihkan persepsi, nilai-nilai yang mengangkat martabat manusia dan etika yang memperindah kehidupan.
Ayat-ayat yang secara substansial merupakan norma hukum jumlahnya tidak sampai sepersepuluh dari al-quran. Sebelum sampai pada keputusan untuk penggunaan norma-norma hukumnya, Islam menyiapkan perangkat lainnya, karena ia bukan sebuah sistem yang kering seperti kandungan hukum yang ada, tetapi jauh lebih dari itu merupakan syari’at, dakwah, pengarahan (taujih) pembinaan (tarbiyah), sekaligus ancaman (tarhib). Dengan penanaman benih-benih nilai keimanan pada setiap hati manusia akan mencetak manusia yang baru, yang memberinya tujuan, menganugrahinya dorongan dan rambu-rambu, memberinya balasan atas seluruh amalnya, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Lebih jauh Yusuf Qardhawi menegaskan bahwa :
“Penjatuhan sanksi hukum hanya ditujukan kepada individu-indvidu yang melanggar ketentuan-NYA da sudah barang tentu prosentasi golongan ini tidak sampai separuh dari komunitas masyarakat, meraka hanya dalm jumlah kecil dan tidak termasuk dalam basis sosial “
K. Revitalisasi Nilai-Nilai Agama
Adanya kemandulan fungsi hukum positif, revitalisasi penanaman nilai-nilai agama, akan semakin penting. Apakah arti sebuah bangsa yang religius apabila nilai-nilai agama hanya bergema sebatas dinding tempat ibadah, rumah ibadah secara ritual tanpa mampu menunjukkan kontribusi positif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara konstektual. Suburnya praktik korupsi dan ketidak profesionalan me-manage Negara mengindekasikan fenomena yang lebih burukdari Negara sekuler sekalipun. Negara-negara eropa jauh lebih bersih dan tertib dari praktik-praktik kotor aparat Negara, padahal kata-kata agama, tuhan, moral dan alam ghaib sudah lagi bukan merupakan pembicaraan yang popular.
L. Reformulasi Hukum Islam
Berbicara hubungan dan masyarakat akan menjadi penting dalam “memasyarakatkan hukum“ dan “menghukumi masyarakat”. Dalam diskursus ilmu hukum baik dalam hukum positif maupun hukum Islam para ahli hukum terbelah menjadi dua kutub, yaitu pertama, hukum harus tetap atau bersifat permanen. Masyarakatlah yang harus berprilaku menyesuaikan dengan apa yang telah digariskan dan dikehendaki oleh hukum. Dalam hal ini hukum bersifat normative, kaku atau rigid dan menafikan dinamika perkembangan masyarakat. Sedangkan kedua, hukum haruslah kreatif melakukan model-model atau pilihan rasional untuk memperoleh efek hukum yang diterapkan. Fenomena dan realitas sosial berubah bahkan yang tetap atau permanent itu adalah perubahan itu sendiri. Pemahaman kedua ini telah diintrodusir oleh Rescoe Pound (1870-1964) yang juga pernah menjabat sebagai Dekan Fakultas Hukum Harvard Law School di Amerika .
Dalam tataran praktik, hukum berproses, berinteraksi dengan faktor atau variable lainnya sehingga tidaklah mungkin hanya satu paham saja secara mutlak, baik paham normative atau legal positivisme. Sungguh tepat apa yang disampaikan oleh steven vago bahwa “laws maintain the statusquo but also provide for necessary changes”. Bagaimana hanya dengan hukum Islam di Indonesia, menurut H.Ahmad Imam Mawardi  bahwa :
“Dalam kontek Indonesia, pemikiran hukum Islam sepertinya lebih banyak di dominasi oleh aliran yang anti perubahan, at least pada masa sebelum tahun 1989. Perubahan yang yang dimaksud adalah gantungan kepada teks fiqih klasik yang begitu kuat dan sempitnya peluang meniptakan syarah interpretative ketimbang syarrah normative, serta minimnya socio-relegios response terhadap kasus-kasus hukum yang banyak terjadi menjadi bukti ketidak berdayaan pemilihan hukum Islam”
Lebih jauh beliau mengajukan sejumlah pilihan dan langkah-langkah yang harus seger dilakukan oleh para ahli hukum Islam di Indonesia. Bahkan, secara tegas dinyatakan reformasi hukum Islam merupakan suatu keharusan dalam rangka perbaikan hukum Islam yang mengarah kepada terwujudnya kemaslahatan umum.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar