Laman

28 Okt 2012

Menyoal Pro Kontra Penutupan Rumah Ibadah di Banda Aceh

Oleh :Muhammad Syarif,S.HI,M.H*

Aceh daerah yang berjulukan serambi mekah, akhir-akhir ini dinodai oleh kaum misionaris. Pasca Tsunami ribuan juta mata tertuju pada Aceh. Aksi bantuan kemanusiaan yang diberikan oleh Organisasi Dunia baik yang berbasis Islam maupun non Islam, ternyata memiliki dampak psikologi yang besar. Awal-awalnya memang rakyat Aceh tidak menaruh kecurigaan kepada Kalangan Non Muslim terutama dalam aksi kemanusiaan, akan tetapi lama-kelamaan tercium juga. Bayak fakta ditemukan ada misi tertentu dibalik program kemanusian.
Kita patut bersyukur bahwa masih ada Ormas Islam yang risau terhadap Aksi Misionaris, Sebut saja Front Pembela Islam Aceh (FPI Aceh), Perhimpunan Ulama Dayah (HUDA), Ikatan Siswa Kader Dakwah (ISKADA), Remaja Masjid Raya Baiturraham Banda Aceh, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI Cabang Banda Aceh), Komite Penguatan Aqidah dan Peningkatan Amalan Islam (KPA-PAI), Forum Masyarakat Penduli Kota (FMPK).
 Masyarakat perlu memberikan apresiasi kepada Pemerintah Kota Banda Aceh yang sangat berani melakukan penutupan 16 rumah ibadah yang tidak memilik Izin. Tindakan tersebut dinilai oleh sebagaian umat muslim di Aceh adalah tindakan yang mulia dan ini sejalan dengan prinsip demokrasi. Dimana dalam setiap aktifitas apapun harus patuh pada rambu-rambu yang telah disepakati bersama. Terkait pendirian Rumah Ibadah ada aturan SKB Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama. Dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Nergeri (Mendagri) dan Menteri Agama (Menag) Nomor 8-9 Tahun 2006, dan diperkuat dengan Peraturan Gubernur Nomor 25 tahun 2007 tentang pendirian rumah ibadah di Aceh yang yang dijadikan sandaran hukum Undang-undang 44 Tahun 1999 tentang Keistimewaan Aceh dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dua Undang-Undang ini menjadi Lex specialis dalam rangka pemberlakuan hukum Islam/Agama di Aceh.
Lebih lanjut Peraturan Gubernur Aceh Nomor 25 Tahun 2007 tentang Pedoman Pendirian Rumah Ibadah. Sebuah rumah ibadah dapat memperoleh ijin jika mendapat persetujuan dari 120 orang warga sekitar dengan jumlah jemaat lebih dari 150 orang, mendapat pengesahan dari lurah, dan ada surat rekomendasi dari kantor Kementerian Agama setempat.
13 lembaga yang tergabung dalam keanggotaaan Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat (PAKEM) yakni, dari unsur Pemerintah Kota Banda Aceh, Kejaksaan (kajati dan Kajari Kota Banda Aceh), Kepolisian (Polda dan Polresta Banda Aceh), TNI (Kodan dan Kodim BS), Kementerian Agama (Provinsi dan Kota), MPU (Aceh dan Banda Aceh) dan lainnya menyepakati kebikajan penutupan aktivitas ibadah pada rumah-rumah ibadah Illegal (Gereja dan Vihara) yang dirasakan sudah menggangu ketentraman warga. Hal ini terungkap saat pertemuan ke 13 lembaga tersebut pada rapat koordinasi, di ruang rapat Wakil Walikota Banda Aceh.
 Sekda Kota Banda Aceh, Drs. T. Saifuddin TA, M.Si saat memimpin rapat mengatakan, persolan operasional rumah ibadah illegal dirasakan sudah sangat meresahkan warga kota, terutama warga yang tinggal di sekitar tempat ibadah Illiegal tersebut. “Mereka memanfaatkan toko-toko tempat usaha sebagai lokasi rumah ibadah, dan terkesan sembunyi-sembunyi karena berkedok kursus-kursus seperti Les-les mata pelajaran. Kebanyakan dari mereka menggunakan lantai III toko” papar Sekda.
Dikatakannya lagi, Keputusan rapat PAKEM ini diyakini bisa menjawab keinginan mayoritas masyarakat kota yang merasa terganggu dengan aktifitas Illegal tersebut. Bahkan Lanjut Sekda, FPI (Front Pembela Islam) beberapa waktu yang lalu berdemo di Balikota juga menginginkan persoalan ini bisa di atasi sesegera mungkin guna menghindari aksi massa yang dikhawatirkan akan menggangu harmonisasi kerukunan ummat beragama yang selama ini dirasakan sangat baik di Banda Aceh. “Pada dasarnya kita di Aceh sangat toleran terhadap pemeluk agama lain. Kita akan panggil pengelola rumah ibadah illegal maslaha ini secara bersama, rencananya akan kita panggil Senin nanti dan juga akan dihadiri Wakil Walikota” ujar Sekda.
Adalah sangat keliru dan ngawur jika kita membaca statmen politisi senayan:  Pemerintah Pusat tidak boleh membiarkan permasalahan penutupan gereja dan vihara di Banda Aceh, Nanggroe Aceh Darussalam. "Kasus itu pintu masuk disintegrasi bangsa. Ini upaya sistematis untuk terjadinya disintegrasi bangsa. Kalau itu terjadi, pemerintah pusat sangat bertanggung jawab," kata Lily Wahid, politisi Partai Kebangkitan Bangsa di Gedung Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta (24/10).
Pernyataan Lily Wahid mengundang reaksi banyak pihak di Aceh. Inilah contoh prilaku politisi yang tidak memahami persoalan Aceh. Cetus syarif. Sejak kemerdekaan hingga sekarang masyarakat Aceh sangat toleransi terhadap antar umat beragama. Bahkan Gereja dan Vihara terletak dipusat Kota. Bukankah ini bentuk dari toleransi antar umat beragama. Mana ada di dunia ini yang penduduk minoritas di dilindungi oleh Negara selain di Aceh?
Pernyataan Sang Politisi senayan juga mendapat kritikan dari Wakil Walikota Banda Aceh. "Tindakan kita murni untuk bertujuan melindungi kaum minoritas agar dapat lebih nyaman dan tenang dalam beribadah," katan Wakil Walikota kepada Bisnis Aceh Kamis, 25 Oktober 2012. Lebih lanjut Illiza sangat menyesalkan pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan oleh para politisi senayan yang menuding Pemko bertindak diskriminatif terhadap pemeluk agama minoritas di Banda Aceh."Yang kita tutup itu bukan gereja, bukan vihara, melainkan bangunan yang dijadikan rumah ibadah dan vihara, catat itu baik-baik," tegasnya. Menurutnya, bangunan yang selama ini dijadikan vihara dan gereja oleh pemeluk agama minoritas di Banda Aceh tidak sesuai dengan aturan dan ketentuan yang ada dalam hal pendirian rumah ibadah.
Bangunan yang mereka dirikan itu tidak sesuai dengan SKB 2 Menteri dan juga Pergub tentang pendirian rumah ibadah," cetus Illiza. Sehingga, lanjutnya penutupan bangunan yang dijadikan rumah ibadah itu justru untuk melindungi pemeluk minoritas dari anarkisme masyarakat. "Justru tindakan ini untuk melindungi, dan yang kita tutup itu bangunan yang dijadikan rumah ibadah, Pemko tidak ada menutup rumah ibadah yang legal dan sesuai ketentuan".
 Oleh karenanya, kita berharap kepada para politisi senayan untuk tidak mengeluarkan statement yang jusru akan membuat situasi kenyamanan dan ketertiban toleransi ummat beragama di Banda Aceh justru terusik. Sebaiknya para politisi senayan dan penggiat HAM itu datang ke Aceh, melihat sendiri situasi disini, jangan hanya baca koran dan kemudian mengeluarkan statmen yang sifatnya ngawur.
 
*Penulis adalah Divisi Hukum & Pemerintahan Aceh Research Institute (ARI)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar