Laman

21 Okt 2012

Eksistensi MPU (Analisis UU No.11 Tahun 2006)

Oleh : Muhammad Syarif 
 
Status Otonomi Khusus untuk Daerah Aceh sebagaimana yang telah dituangkan di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) telah memberikan kekhususan dan pengaturan yang berbeda terhadap pengaturan pemerintahan jika ditinjau dari sistem ketatanegaraan, salah satunya adalah eksistensi, peran dan fungsi Majelis MPU dan kedudukannya sebagai lembaga yang bermitra bersama Pemerintah Aceh dalam perumusan berbagai bentuk kebijakan.
Di dalam Pasal 139 ayat (1) UUPA, ditegaskan bahwa peran “MPU berfungsi untuk menetapkan fatwa yang dapat menjadi salah satu pertimbangan terhadap kebijakan pemerintahan daerah dalam bidang pemerintahan, pembangunan, pembinaan masyarakat dan ekonomi”[1].
Keberadaan MPU juga telah diamanatkan di dalam UU No. 44 Tahun 1999 Tentang Keistimewaan Aceh, disebutkan bahwa Daerah membentuk sebuah badan yang anggotanya terdiri atas para ulama. Dan Badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat independen yang berfungsi memberikan pertimbangan terhadap kebijakan Daerah, termasuk bidang pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan serta tatanan ekonomi yang Islami[2] Saat inipuan Pemerintah Aceh telah mengeluarkan Qanun No. 2 Tahun 2009 yang mengatur organisasi MPU.
Dengan demikian dapat dilihat bahwa dari sisi aturan hukum, MPU merupakan lembaga yang secara yuridis sah keberadaanya dan dapat menjalankan tugasnya berdasarkan dengan aturan yang ada, dan MPU tidak dapat disamakan dengan organisasi yang ada baik ormas atau lembaga kemasyarakat lainnya. Namun yang perlu dilihat di dalam konteks ketatanegaraan di tingkat pemerintahan daerah, khusunya pemerintahan Aceh di dalam kerangka otonomi khusus, yaitu menyangkut dengan keberadaan MPU di dalam perumusan berbagai bentuk kebijakan baik qanun ataupun fatwa, baik menyangkut dengan syriat islam dan lainnya, dan hubungan kelembagaan yang dibangun baik dengan masyarkat serta legislative dan eksekutif, hal ini penting untuk melihat kinerja dari lembaga ini di tataran publik
Jika dikatakan MPU sebagai mitra, dapat dikatakan bahwa MPU sebagai lembaga yang sejajar, maka, sebagai lembaga yang sejajar atau mitra, masing-masing kelembagaan akan memiliki penilaian yang berbeda dan kekuatan posisi tawar yang berbeda dalam memahami substansi persoalan serta di dalam melakukan argumentasi baik secara yuridis,  filosofi dan sosiologis terhadap suatu kebijakan yang akan dilahirkan. Hal ini akan membawa konsekwensi dimana eksekutif dan legislatif  dapat memakai pertimbangan dari MPU dan dapat saja menolak pertimbangan yang diajukan oleh MPU. Dalam hal ini, dapat dianggap bahwa usulan “Pertimbangan” bisa dan/atau tidak mengikat pihak eksekutif dan legislatif di dalam merumuskan dan menerapkan aspek kebijakan yang akan dilahirkan.
Namun jika dilihat dari sisi ketatanegaraan dan aspek kelembagaan, hadirnya lembaga MPU sebagai mitra yang sejajar diantara eksekutif dan legislatif merupakan langkah maju dimana Aceh sudah mengakomodir lembaga yang sangat penting untuk menciptakan norma-norma hukum dan kebijakan sesuai dengan nilai-nilai keislaman, yang dilakukan dengan mengandeng MPU.
Hal ini sesuatu yang berbeda yang dikenal dengan pembagian kekuasaan (distribution of Power), atau  yang disampaikan oleh  John Lock yang membagi kekuasaan menjadi eksektif, legislative, dan yudikatif, dan konsep Pemisahan Kekuasaan (separation of power)  dengan teori trias politica yang pernah dikemukakan oleh Montesquieu. Pada dasarnya kedua konsep ini ditujukan untuk menghindari terjadinya pemusatan kekuasaan, sehingga adanya check and balance dalam hubungan kelembagaan, untuk tidak terjadinya pemusatan kekuasaan kepada satu lembaga.
MPU memiliki peran sesuai dengan yang dimandatkan dalam UUPA untuk memberikan masukan-masukan kepada Pemerintah Aceh dalam merumuskan kebijakan. Dengan demikian fungsi check and balance terhadap kebijakan yang dilahirkan oleh Pemerintah Aceh tidak hanya dilakukan oleh tiga lembaga, namun juga dilakukan oleh MPU dalam kedudukannya sebagai mitra Pemerintah Aceh, dalam hal ini dapat dikatakan peran MPU sudah menjalankan fungsi pembuatan kebijakan (Policy Making Function), karena MPU dikatakan sebagai mitra Pemerintah Aceh, dan Parlemen Aceh dan juga Parlemen Kabupaten/Kota didalam perumusan kebijakan, dan MPU sudah melakukan fungsi control terhadap berbagai kebijakan  yang dilahirkan oleh Pemerintah Aceh.
Jika dilihat lebih jauh lagi kiprah dan peran ulama terutama MPU Aceh dalam memberikan pertimbangan terhadap kebijakan bagi Pemerintah Aceh telah lama dilakukan, misalnya saja, pada tahun 2001 MPU berperan aktif memberikan masukan terhadap Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001, MPU merumuskan Rancangan Qanun Tentang Baitul Mal, Rancangan Qanun Mahkahah Syari’ah, dan Qanun-Qanun pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh, seperti Qanun tentang maisir, khalwat dan khamar. Pada tahun 2006 MPU mengeluarkan berbagai fatwa yaitu, mengeluarkan taushiyah tentang kewajiban mensuksesukan Pilkada, Menetapkan Fatwa tentang Kewajiban Pemerintah untuk melaksanakan pencatatan dan administrasi kependudukan dan menyusus Rancangan Qanun MPU yang baru, sesuai dengan tuntutan UUPA dan pemekakaran Kabupaten/Kota dalam Provinsi NAD[3]
Di dalam Qanun No. 2 Tahun 2009 disebutkan MPU Aceh berfungsi  (a) Mengeluarkan fatwa; (b) memberikan pertimbangan dan saran kepada Pemerintah Aceh, DPRA dan masyarakat; (d) Menentukan kebijakan daerah dari aspek Syari'at Islam; (e) Memfasilitasi pengkaderan ulama[4].
Disisi yang lain, MPU dapat mengikutsertakan tenaga ahli dalam bidang keilmuan terkait. Hal ini Terkait dengan fungsi MPU memberi fatwa dan pertimbangan dalam bidang pemerintahan, pembangunan, pembinaan masyarakat dan Ekonomi, MPU juga dapat membentuk LP POM guna meneliti kandungan kehalalan suatu produk.
Dengan tugas dan fungsinya begitu besar tersebut, MPU perlu memikirkan aspek-aspek pengembangan organisasi, pengembangan kapasitas yang menyangkut dengan aspek pemerintahan dan pembangunan hukum di Aceh, sehingga nantinya baik dari sisi aspek sumber daya manusianya, pengkaderan dan juga kelembagaannya, MPU dapat bekerja secara optimal di dalam memberikan masukan dan pertimbangan-pertimbangan bagi terhadap berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Aceh agar dapat dilakukan sesuai dengan prinsip keadilan dan pemenuhan kepastian hukum di Aceh. sehingga peran Ulama yang merupakan bahagian penting dari MPU dan untuk terbangunnya masyarakat Aceh yang adil, dan jauh dari sikap pihak penguasa baik eksekutif dan legislatif dalam bentuk penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dapat dihindari dengan adanya kontrol yang kuat dari MPU terhadap kebijakan yang dilahirkan oleh Pihak eksekuif dan legislative.  Artinya peran-peran komunikasi yang efektif dalam merumuskan kebijakan yang membutuhkan pertimbangan dari MPU harus dilakukan baik diminta maupun tidak diminta. Jika saja ada sesuatu kebijakan yang bergeser dari prinsip keadilan dan norma yang berlaku di Aceh, walaupun tidak diminta MPU tetap harus memberikan pertimbangannya, disinilah masyarakat dapat menilai peran dan kinerja MPU Aceh.
Ada beberapa hal yang menurut penulis menjadi kendala di dalam MPU hari ini, dimana kendala-kendala tersebut jika tidak diatasi dengan baik oleh MPU dan Pemerintah Aceh akan mempengaruhi kinerja dari MPU di dalam melaksanakan tugasnya, beberapa hal dibawah ini patut menjadi perhatian bagi pemerintah Aceh di dalam melakukan pembenahan terhadap MPU dan bahka organisasi-organisasi lainnya, yaitu:
Pertama, adalah aspek anggaran, Di dalam sebuah organisasi yang dituntut bekerja maksimal di dalam melayani kepentingan publik MPU berperan besar. Sebagaimana yang diketahui bahwa UUPA mengamanatkan membentuk MPU baik ditingkat Provinsi maupun di Kabupaten/Kota, namun pembebanan anggaran yang tidak begitu seimbang antara Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota sudah terjadi dan menjadi suatu hal memalukan di tataran kebijakan Pemerintahan baik di Provinsi dan di daerah, misalnya seperti yang terjadi di Aceh Barat Puluhan Pengurus Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Kabupaten Aceh Barat sejak lima bulan terakhir belum terima gaji. Jerih payah mereka yang harus dibayar terhitung sejak Juni - Oktober 2009. Tgk Khairul Azhar selaku anggota Dewan Paripurna Ulama (DPU) Kabupaten Aceh Barat, kepada Serambi, Selasa (27/10) mengatakan, akibat belum cairnya jerih payah menyebabkan kegiatan yang sedang dijalankan terbengkalai. Mengingat dalam tugas yang dijalankan tersebut, khususnya penyusunan buku agama guna menjadi pedoman pelaksanaan oleh masyarakat, kini tak berjalan maksimal[5].
Kejadian-kejadian seperti yang terjadi di Aceh Barat tentunya bukanlah sekali dua kali dan tidak hanya terjadi di tingkat MPU saja, akrab di dengar bahwa terjadinya keterlambatan pembayaran gaji, program dan kegiatan tidak jalan dan hal-hal yang dapat mengganggu kinerja  jalannya roda pemerintahan di Aceh.

Kedua adalah sumber daya manusia, sumber daya manusia berperan penting bagi MPU bagi ulama Aceh, sebagaimana diketahui adalah, ulama bereperan besar di tubuh MPU, dan diamanat di dalam UUPA bahwa anggota dari MPU terdiri dari ulama-ulama. Memang di tataran keagamaan, Aceh yang berdasarkan pada syari’at Islam menghendaki perumusan kebijakan yang berlandaskan pada hukum syariaiah Islam, namun di tataran Negara justru hal ini menemukan kendala, misalnya saja ketika perumusan mengenai Qanun Jinayah, yang hingga hari ini masih menimbulkan kontroveri, dimana Gubernur Aceh tidak menghendaki Qanun Jinayah disahkan karena tidak melalui proses persetujuan bersama. Hal ini tentunya berdampai kepada bagaimana peran MPU dituntut untuk memberikan pertimbangan dan masukan kepada pihak eksekutif mengenai Qanun tersebut, yang notabene adalah bahagian dari pelaksanaan syari’ah Islam di Aceh. tentunya disini MPU perlu juga memahami konteks ketatanegaraan dan aturan-aturan perumusan sebuah kebijakan atau aturan hukum seperti Qanun.
 Jika dilihat bahwa di dalam ketentuan perundang-undangan, Di dalam ketentuan Pasal 232 ayat (1) UUPA disebutkan bahwa Qanun Aceh disahkan oleh Gubernur setelah mendapat persetujuan bersama dengan DPRA. Dan di dalam Pasal 234 disebutkan Dalam hal rancangan qanun yang telah disetujui bersama oleh DPRA dan Gubernur atau DPRK dan bupati/walikota tidak disahkan oleh Gubernur atau bupati/walikota dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak rancangan qanun disetujui, rancangan qanun tersebut sah menjadi qanun dan wajib diundangkan dengan menempatkannya dalam Lembaran Daerah Aceh atau Lembaran Daerah kabupaten/kota. Pasal 36 No 3 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pembentukan Qanun menyebutkan bahwa Rancangan qanun yang telah disetujui bersama oleh DPRA/DPRK dan Gubernur/bupati/walikota disampaikan oleh pimpinan DPRA/DPRK kepada Gubernur/bupati/walikota untuk disahkan menjadi qanun.
Dapat dilihat, dari ketentuan yang ada di dalam peraturan perundang-undangan yang disebutkan diatas, terdapat dua proses yang harus dilalui di dalam proses pembuatan kebijakan atau peraturan perundang-undangan atau Qanun , yaitu tahapan dimana perlu adanya persetujuan bersama antara DPRA dan Gubernur sebagai eksekutif di dalam rapat paripurna. Dan tahapan dimana mensahkan Qanun tersebut. Namun pada kenyataannya, Pemerintah Aceh mengatakan bahwa Qanun Jinayah belum disetujui bersama oleh eksekutif, jadi ada proses yang tidak dilalui disini, dengan demikian Qanun Jinayah belum bisa berlaku 30 hari.
Hal ini tentunya menuntut pemikiran dari MPU bagaimana menyikapi problematika hukumdan hubungan kelembagaan di dalam perumusan kebijakan diantara legislative dan eksekutif
Ketiga adalah pembangunan organisasi sendiri. Pengembangan organisasi yang lebih baik saat ini menjadi tuntutan di tubuh MPU,. hal ini terkait dengan bagaimana MPU dapat membangun hubungan dan komunikasi politik yang baik dengan mitranya yaitu legislative dan eksekutif. Di dalam hubungannya sebagai mitra yang sejajar, tentunya yang dipentingkan adalah bukan suara-suara personal, namun adalah suara-suara yang mengatas namakan organisasi. Pengembangan Organisasi merupakan program yang berusaha meningkatkan efektivitas keorganisasian dengan mengintegrasikan keinginan individu akan pertumbuhan dan perkembangan dengan tujuan keorganisasian. Pengembangan organisasi sebagai suatu disiplin perubahan perencanaan yang menekankan pada penerapan ilmu pengetahuan dan praktek keperilakuan untuk membantu organisasi-organisasi mencapai efektivitas yang lebih besar.
Yang keempat yang lebih penting adalah hubungan kelembagaan di dalam perumusan kebijakan, jika dilihat, MPU berkedudukan sebagai sebuah lembaga mitra antara eksekutif dan legislative dan dapat memberikan masukan dan pertimbangan terhadap berbagai bentuk kebijakan yang akan dilakukan oleh Pemerintah Aceh, tentunya, aspek pemberian pertimbangan ini jika memang diminta, dan dapat saja pertimbangan yang diberikan oleh MPU tidak akan mengikat lembaga legislative dan eksekutif di dalam perumusan kebijakan. namun MPU akan menjadi sumber referensi yang cukup bagi perumusan kebijakan yang terkait dengan syaria’ah Islam di Aceh. dan Qanun-Qanun mengenai Syariah Islam, sebagaimana diketahui peran MPU di dalam perumusan kebijakan yang berkenaan dengan Syari’ah Islam cukup banyak, misalnya terlibat di dalam perumusan Qanun Jinayah, Qanun Masir, Judi dan Khalwat. hal ini merupakan bentuk eksistensi lembaga ini di dalam perumusan kebijakan di Aceh. tetapi di tataran hubungannya dengan lembaga legislative dan eksekutif peran MPU,  dapat dilihat sebagai Dewan Pertimbangan.  Dewan Pertimbangan memberikan masukan kepada Presiden baik diminta maupun tidak terhadap berbagai bentuk kebijakan Negara. Dan jika dilihat dengan konteks keberadaan MPU tentunya peran lembaga ini sebatas memberikan pertimbangan terhadap kebijakan Pemerintah, dan pertimbangan tersebut dapat dikesampingkan oleh legislative dan eksekutif.
Dewan Pertimbangan Presiden adalah lembaga pemerintah yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2006 tentang[6]
Hal-hal inilah yang perlu mendapat perhatian dari MPU sebagai sebuah lembaga yang dituntut aktif di dalam memberikan pertimbangan kepada lemabag legislative dan eksekutif. memang, sebuah pertimbangan tidak secara serta merta dapat diterapkan dan dirumuskan di dalam perumusan kebijakan, namun setidaknya hal ini akan memberikan ruang control kepada public terhadap kebijakan-kebijakan yang akan dikeluarkan dan akan berdampak kepada publik di Ace











[1]  Pasal 139 ayat (1) UU No 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh
[2]  Pasal 9 ayat (1) dan (2) UU No 44 Tahun 1999
[3]   International Developmen Law Organization (IDLO) dalam publikasinya tentang Majelis Permusyawaratan Ulama Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang dapat diakses di www.idlo.int.bandaacehawareness.HTM, mengemukakan peran MPU dan fungsi MPU Aceh dalam perumusan kebijakan yang sudah lama dilakukan dengan bermitra dengan Pemerintah Aceh, salah satunya adalah dalam hal perumusan berbagai Rancangan Qanun tentang pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh.
[4]   Pasal Qanun No. 2 Tahun 2009  Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh
[5]    http://www.serambinews.com/news/pengurus-mpu-aceh-barat-belum-terima-gaji
[6]   Pasal 1 ayat (1) PP No 10 Tahun 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar