21 Okt 2018

Refleksi HSN ke-4; “santri Aceh harus miliki mimpi besar”

Oleh: Muhammad Syarif, SHI.,M.H*

Panggung Peringatan Hari Santri Nasional (HSN) sesungguhnya wujud dari pengakuan negara atas eksistensi kaum kiya (Tokoh Agama) atau sebutan lain dalam memperjuangkan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sejarah mencatat para santri telah mewakafkan hidupnya dalam memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia dari kolonialisme.

Resolusi jihad yang dipelopori oleh KH. Hasyim As`ari yang merupakan tokoh pendiri Nahdatul Ulama (NU), berhasil membangkitkan semangat jihad santri nusantara dalam mengusir penjajahan Belanda. 22 Oktober 1945 merupakan Ikhtiar dari gerakan jihad akbar santri. Revolusi ini  pula membakar para santri arek-arek surabaya melawan tentara kolonial Belanda  NICA yang dipimpin oleh AWS. Mallaby dalam peperangan yang besar selama tiga hari berturut (27-29 oktober 1945), yang pada akhirnya Malllaby tewas.


Gerakan Resolusi jihad ini pula mengilhami dan menyemangati Tentara Nasional Indonesia bersatu padu dengan para santri guna mengusir penjajahan. Itu artinya TNI dan Rakyat (baca santri) kala itu menyatu. Saat ini kita tentu tidak menarasikan nostalgia akan eksistensi peran santri masa lalu dalam ruang hampa. Akan tetapi menjadikan momentum resolusi jihad sebagai gerakan membangun narasi mimpi besar santri Aceh.

Dalam konteks Aceh potensi sumber daya santri sangat besar, lebih kurang 7000 santri di Aceh teregister pada Dinas Pendidikan Dayah Aceh. Angka ini tentu bukan hanya kalkulasi dalam ruang hampa. Jika dikapitalisasi dalam makna yang positif dalam kontek politik, ekonomi, sosial budaya dan pendidikan. Maka kalkulasi ini menjadi senjata pamungkas guna “meraih kekuasan”.

Akan tetapi memang harus diakui, kalkulasi santri yang besar belum mampu mewarnai perubahan pundamental tatanan kehidupan masyarat Aceh yang berjulukan serambi mekkah. Sejatinya santri Aceh harus memiliki empat prinsip utama dalam membangun mimpi besarnya, antara lain:

Pertama; Santri  harus memiliki sifat pelopor kebaikan (saafiqul khair). Dimanapun ia berada, santri harus menjadi pemantik pelopor kebaikan. Tuturkata, tindakan dan karakter sebagai pendakwah harus benar-benar dijalankan dengan baik. Semangat berbuat kebajikan harus dominan. Kurangi dosis saling mengklaim kebenaran apalagi menganggap diri paling benar dan hebat.

Kedua: Santri harus berperan sebagai penerus ulama (naasibul `ulama). Santri merupakan kader para ulama masa depan Aceh. Dengan kapasitas keilmuannya harus mewarnai seluruh sendi kehidupan bernegara. Disinilah butuh standarisasi dan pengakuan akan ijazah alumni dayah. Tidak mungkin kompetensi santri diakui jika ijazah yang dikeluarkan oleh Dayah sebagai lembaga yang mencetak kader ulama belum  memiliki legal standing. Oleh karenanya Dinas teknis dalam hal ini Dinas Pendidikan Dayah mendorong agar dayah menerapkan kurikulum/silabus yang telah disusun oleh para Pimpinan Dayah yang kini menjadi konsensus bersama. Sayangnya dokumen itu hanya menjadi kitab yang tersusun rapi pada arsip dan lemari yang terpajang pada Dinas Pendidikan Dayah Aceh dan Dinas Pendidikan Dayah Kabupaten/Kota.

Ketiga: Santri harus benar-benar meninggalkan kemaksiatan. Dimana dengan kapasistas ilmu yang diterimanya selama modok atau bermukim di dayah/pondok pesantren, harus mampu menjadi insan yang tawadhuk, santun dan berbudi luhur. Santri harus benar-benar menjadi pendakwah yang baik.

Keempat: Setiap tindakan yang dilakukannnya harus mendapat ridha Allah. Apabila keridhaan Ilahi telah diperolehnya maka akan ada keberkahan dalam segenap aktifitasnya.

Santri Aceh wajib miliki mimpi besar
Meraih mimpi besar itu, tentu bukanlah sesuatu yang mustahil. Jika ada keinginan, maka tentu ada jalannya. Untuk itulah butuh sinergisitas lintas stakeholders. Landasan idiologis yang tertanam pada santri aceh harus benar-benar dimamfaatkan dengan baik. Jangan adalagi diksi agama dan politik dibenturkan, karena itu warisan kolonial. Kaum santri wajib terjun dalam bidang politik tentu harus disiapkan amunisi yang matang. Jangan apriori dengan politik, karena merebut kekuasaan dalam iklim demokrasi lewat instrumen politik.

Gagasan melakukan konsolidasi kebatinan antara santri atau alumni santri dayah se-Aceh harus diinisiasi oleh Ikatan Sarjana Alumni Dayah Aceh (DPP ISAD-Aceh) yang menjadi organisasi pemikir kedepan. DPP ISAD Aceh harus menjadi organisasi soft skill yang mampu mendorong berbagai kebijakan pemerintah Aceh dan Kabupaten/Kota guna peningkatan sumber daya manusia yang berbasis religius. Apalagi personil ISAD Aceh yang baru-baru dilantik oleh Kepala Dinas Pendidikan Dayah Aceh diisi oleh orang-orang yang profesional dibidangnya. ISAD adalah organisasi paling tepat dalam mendorong cara berpikir santri menuju post modern.

Tidak boleh ada lagi anggapan politik itu kotor, diksi yang dibangun kedepan oleh santri atau Alumni santri Dayah “wajib kuasai semua lini” diantaranya; birokrat, pengusaha, politikus, banker, cendikiawan, TNI/Polri. Kekuasaan itu harus diraih tentu sesuai mekanisme konstitusi. Karenanya santri Aceh tidak boleh lagi merasa paling hebat, akan tetapi harus terbuka dan elegan dalam menerima perubahan untuk kemajuan.

Pendalaman kitab kuning harus benar-benar menjadi tradisi santri dalam setiap halaqahnya. Debat ilmiah dan menulis gagasannya harus benar-benar menjadi vitamin baru bagi santri zaman now, jika tidak, kita cendrung menjadi lebih hebat dari orang lain. Santri juga harus diasah ketrampilan menulis. Tentu proses kearah itu butuh komitmen bersama antara Disdik Dayah dan Pimpinan Dayah agar tidak terjadi benturan. Jangan lagi menganggap. Santri itu hanya belajar ilmu agama an sich. Santri juga harus memiliki berbagai ketrampilan sesuai telentanya dan kebutuhan zaman.

Ketrampilan yang dimilik santri sesuai bakat yang ada,nantinya menjadi modal besar dalam membangun peradaban Aceh yang bermartabat. Krue semangat. Selamat memperingati Haris Santri Nasional ke-4. Jayalah santri, jayalah Indonesia.

*Penulis adalah Kabid SDM dan Manajemen Dinas Pendidikan Dayah Kota Banda Aceh

Tidak ada komentar: